(Arrahmah.id) – Catatan tentang Tentara Salib yang bertobat yang melakukan perjalanan di abad pertengahan, atau Muslim Inggris dalam dinas angkatan laut Utsmaniyah yang mengunjungi tanah suci di abad ketujuh belas dan kedelapan belas cukup berlimpah. Namun, catatan terperinci tentang perjalanan ibadah haji pertama kali oleh seorang Muslim Inggris harus menunggu hingga era Edwardian, ketika seniman Hedley Churchward menjadi ‘Tamu Allah’ pertama dari Inggris yang tercatat.
Kisah keislaman dan kehidupan Churchward setelah menjadi muslim diceritakan kembali oleh Abdulhakim Murad, seorang dosen dari Universitas Cambridge jurusan Studi Islam.
Hedley Churchward yang lahir pada 1862 di Aldershot adalah keturunan keluarga paling terkemuka di Inggris. Keluarganya memiliki rumah kuno yang usianya lebih dari 700 tahun dan merupakan rumah kedua tertua di seantero Inggris. Ayahnya menjalankan bisnis yang sukses di Aldershot, dan diterima dengan baik di kalangan resimen, memungkinkan Churchward muda untuk bertemu Ratu Victoria dan Baroness Burdett-Coutts.
Selayaknya anak kaum bangsawan pada saat itu yang umumnya menyukai seni, Churchward menyukai seni lukis dan telah menampakkan bakat sejak dini. Churchward berhasil menjadi seorang pelukis yang diakui, yang berspesialisasi melukis adegan teater. Ia menjadi seorang pelukis masyhur di West End London pada 1880-an, dan telah bekerja sama dengan beberapa selebriti terkenal seperti Tennyson, Millais, Lord Leighton, dan Lily Langtry.
Ketika berkunjung ke Spanyol, Chuchward sangat terkesan dengan kemegahan arsitektur Muslim Spanyol. Ia kemudian tergoda untuk melintasi Selat Gibraltar menuju Maroko. Di sini, di dunia yang belum tersentuh oleh pengaruh Barat, ia langsung jatuh cinta pada gaya hidup islami masyarakatnya yang ramah dan penuh kelembutan. Setelah beberapa kunjungan, dia dengan mantap mengumumkan kepada keluarganya bahwa dia telah menjadi seorang Muslim dan berganti nama menjadi Mahmoud Mubarak.
Mubarak lalu pergi ke Kairo, di mana dia belajar selama beberapa tahun di Al-Azhar. Keilmuannya berkembang pesat, hingga memungkinkan dia untuk memberikan khutbah Jumat di sebuah masjid kecil, dan bahkan membuatnya diangkat menjadi seorang dosen dalam bidang Sirah di Akademi Qadi – bukan sebuah prestasi kecil bagi seorang mualaf.
Membutuhkan pekerjaan yang lebih menguntungkan, Mubarak kemudian berlayar ke Afrika Selatan, di mana gaya lukisannya yang elegan membuat Cecil Rhodes, Perdana Menteri Cape Colony pada saat itu terkesan yang kemudian memberinya hadiah berupa berlian merah muda yang langka. Bahkan Presiden Paul Kruger mengizinkannya untuk mendirikan masjid pertama di kota Witwatersrand.
Sekembalinya ke Kairo, Mubarak menikahi putri seorang hakim di Al-Azhar, dan melanjutkan kuliah bahasa Arabnya. Namun, masih ada yang menganjal dalam pikiran Mubarak, ia merasa belum menjadi muslim seutuhnya, ia bertekad harus melaksanakan ibadah haji untuk menyempurnakan keislamannya.
Seperti yang kemudian dia catat: “Suatu malam, ketika saya berjalan di sepanjang Piramida yang menjulang di matahari terbenam, dan melihat cakrawala Kairo yang bergerigi di belakang senja Afrika yang indah, saya memutuskan untuk melakukan apa yang ingin saya lakukan sejak saya menjadi seorang Muslim. – Saya akan pergi mengunjungi Ka’bah di Makkah.”
Sebagai orang Inggris, dia menyadari bahwa ambisi ini mungkin tidak bisa dipenuhi, ada kemungkinan bahwa otoritas Khalifah di Jeddah tidak mempercayai ketulusan klaimnya sebagai seorang Muslim, dan menolaknya begitu saja. Karena itu ia mengajukan surat rekomendasi kepada para Ulama senior.
Di hadapan Ketua Qadi Mesir, bersama dengan Syekh al-Islam Mehmet Jemaluddin Efendi (otoritas keagamaan tertinggi Kesultanan Utsmaniyah, yang kebetulan sedang berkunjung ke Kairo), dia menjalani ujian selama tiga jam.
Berhasil melewati ujian dengan gemilang, ia menerima ijazah berupa kaligrafi indah yang ditandatangani oleh para ulama yang hadir. Paspor agama ini akan digunakan untuk menolongnya mengatasi hambatan birokrasi yang menghadang.
Pada 1910, setelah satu tahun lebih berada di Afrika Selatan, sang calon haji mengemasi kopernya dan berangkat dari Johannesburg menuju Tanah Suci. Kapal uap pada masa itu lambat, dan Churchward menghadapi hambatan tambahan karena harus melakukan perjalanan melalui Bombay, di mana dia menghabiskan waktu berminggu-minggu dalam negosiasi yang membuat frustrasi dengan juru tulis pengiriman, pejabat, dan seorang Kristen Libanon yang merupakan duta besar Utsmaniyah.
Akhirnya dia menemukan sebuah kapal tua, SS Islamic, kapal ini dinakhodai oleh seorang Skotlandia yang pemarah dan dilengkapi dengan meriam untuk melawan ancaman bajak laut dalam perjalanan menuju Laut Merah.
Ketika kapal merapat sebentar di pelabuhan Suakin, Sudan, Churchward mampir ke Konsulat Inggris, yang dengan terang-terangan memberitahunya bahwa rencananya untuk mengunjungi Makkah gagal, ia tidak diizinkan memasuki Jeddah.
Namun Mubarak tetap melanjutkan perjalanannya sampai tiba dengan selamat di pelabuhan Jeddah. Dengan bekal “paspor” yang sudah disahkan oleh para ulama di Mesir dan para pejabat Ustmaniyah, Mubarak tidak menghadapi hambatan apapun. Bersama pembimbing hajinya, Mubarak lalu menuju kota suci Makkah dengan mengendarai kuda kecil keesokan harinya, pada malam hari.
Ia menulis, “sementara lampu-lampu Jeddah berpendar dalam matahari terbenam tropis, melawan bintang-bintang aku melihat permukaan batu, kami sepertinya berlari melewati semacam ngarai. Menyelamatkan kejatuhan kaki keledai kami, tidak ada yang terdengar, bahkan serigala pun tidak…Bang! Ledakan tiba-tiba terdengar dari suatu tempat yang tinggi di perbukitan yang gelap. Tidak salah lagi, itu adalah tembakan senapan. Kecerahan yang meningkat menunjukkan sebuah bangunan tua yang sangat indah, semacam menara beberapa ratus kaki di atas jalan. Dari jalan curam yang melayani bangunan itu, beberapa sosok mengenakan fez berlari ke bawah. Mereka mengenakan seragam dan memegang senjata di tangan mereka.”
Seorang perwira Utsmaniyah datang, dan dengan sopan menjelaskan bahwa anak buahnya telah berhasil mengusir sekelompok perampok. Pada masa itu, serangan orang-orang Arab gurun terhadap rombongan jamaah haji sangat umum terjadi, tetapi Churchward dan rombongannya terus maju, dalam kepercayaan penuh pada lindungan Allah. Dalam panasnya yang terik di sore hari, setelah beberapa kali berhenti di kedai kopi pinggir jalan, mereka melewati pilar-pilar batu yang menunjukkan gerbang dari tanah suci yang tidak boleh dimasuki oleh non-Muslim.
“Saat masuk ke sini pemandu saya memberi isyarat bahwa kita harus berdoa dengan benar. Sambil menyentuh dada dan dahinya, dia menggumamkan Fatihah dan mengatupkan kedua tangannya seolah-olah untuk menerima berkah Surga. Lalu dia berkata, “Huna al-Haram (Ini Tanah Suci).”
“Beberapa merpati liar, dan burung lainnya adalah spesimen fauna gurun pertama yang saya temui. Mereka tampak sangat jinak, dan terbang beberapa inci dari wajah kami. Beberapa duduk di atas batu yang keras dan membiarkan keledai-keledai itu mendekati mereka. Dengan sangat hati-hati, pemandu kami menggiring tunggangannya mengelilingi makhluk-makhluk kecil itu, karena tidak ada orang yang berani membunuh makhluk hidup di sini.”
Setelah lima bulan perjalanan dengan berbagai hambatan yang dihadapi, akhirnya Mahmoud Mubarak berhasil memenuhi panggilan Rabbnya, menjalankan ibadah di Tanah Suci. (zarahamala/arrahmah.id)