PARIS (Arrahmah.id) – Prancis akan menarik pasukannya dari Burkina Faso dalam waktu satu bulan setelah penguasa militer negara Afrika Barat itu memintanya untuk pergi, kata kementerian luar negeri Prancis, dalam sebuah langkah yang akan semakin mengurangi kehadirannya di wilayah yang menghadapi kekerasan yang semakin meningkat dari kelompok-kelompok bersenjata.
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Rabu (25/1/2023), kementerian Prancis mengatakan telah menerima pemberitahuan pada hari sebelumnya bahwa perjanjian tahun 2018 tentang status pasukan Prancis di negara itu telah dihentikan, lansir Al Jazeera.
“Sesuai dengan ketentuan perjanjian, pengakhiran ini berlaku satu bulan setelah diterimanya pemberitahuan tertulis. Kami akan mematuhi ketentuan perjanjian ini dengan memenuhi permintaan ini.”
Prancis mempertahankan sekitar 200 hingga 400 pasukan khusus di bekas jajahannya.
Pada Senin, Ouagadougou mengatakan bahwa mereka telah memutuskan untuk mengakhiri perjanjian militer yang mengizinkan pasukan Prancis untuk memerangi kelompok-kelompok bersenjata di wilayahnya karena pemerintah ingin negara itu mempertahankan diri.
Televisi nasional Burkina Faso melaporkan pada Sabtu bahwa pemerintah telah menangguhkan perjanjian militer 2018 dengan Paris pada 18 Januari, memberikan waktu satu bulan bagi Prancis untuk menarik pasukannya.
Protes terhadap kehadiran militer Prancis telah melonjak di Burkina Faso, sebagian terkait dengan persepsi bahwa Prancis tidak melakukan cukup banyak hal untuk mengatasi kekerasan yang telah menyebar dalam beberapa tahun terakhir dari negara tetangganya, Mali, yang penguasa militernya meminta pasukan Prancis untuk pergi tahun lalu dan mengerahkan kontraktor keamanan swasta Rusia sebagai gantinya.
Burkina Faso adalah salah satu negara termiskin dan paling bergejolak di Afrika. Ribuan tentara, polisi, dan warga sipil telah terbunuh dan sekitar dua juta orang telah meninggalkan rumah mereka sejak para pejuang yang terkait dengan al-Qaeda dan ISIS meluncurkan serangan dari negara tetangganya, Mali, pada 2015.
Lebih dari sepertiga wilayah negara ini berada di luar kendali pemerintah, dan rasa frustrasi di kalangan militer atas jumlah korban yang terus meningkat memicu dua kudeta tahun lalu.
Sumber-sumber pertahanan dan diplomatik Prancis mengatakan bahwa pasukan khusus tersebut dapat dipindahkan ke Niger, di mana kontingen besar pasukan Prancis dan Eropa kini berbasis. Paris juga memiliki kehadiran militer yang besar di Chad. (haninmazaya/arrahmah.id)