ISLAMABAD (Arrahmah.id) — Akibat krisis yang melanda Pakistan, negara ini mengalami mati lampu dalam skala besar (blackout) pada Senin (23/1/2023), termasuk ibukota negara.
Menurut otoritas Pakistan, seperti dilansir Times of India (24/1/2023), hal ini disebabkan oleh lonjakan tegangan yang terjadi. Ini merupakan kegagalan jaringan besar kedua dalam tiga bulan, dan menambah catatan pemadaman yang dialami hampir negara berpenduduk 220 juta itu.
Analis pun menyebutkan bahwa Pakistan sudah tidak mampu membiayai negaranya. Secara detail dia menyalahkan situasi ini akibat kekurangan sumber daya untuk menggerakan pembangkit milik negara itu seperti minyak dan gas. Sektor ini memiliki utang yang sangat besar sehingga tidak mampu berinvestasi dalam infrastruktur dan saluran listrik.
“Kami telah menambah kapasitas, tetapi kami melakukannya tanpa meningkatkan infrastruktur transmisi,” kata Fahad Rauf, kepala penelitian di pialang Karachi Ismail Iqbal Industries, kepada Reuters (24/1).
Hal ini sendiri menambah parah derita krisis di Negara itu. Selain utang yang membengkak, Pakistan juga mengalami situasi krisis devisa.
Pada 6 Januari, Bank Negara Pakistan dilaporkan hanya memiliki devisa sebesar US$ 4,34 miliar (Rp 64 triliun). Ini hanya akan mencukupi kebutuhan impor selama tiga minggu kedepan.
“Penurunan devisa tersebut disebabkan pelunasan pinjaman komersial sebesar US$ 1 miliar kepada dua bank yang berbasis di Uni Emirat Arab,” tulis Financial Post.
Pengiriman uang dari negara itu juga mencatat pelemahan. Pada periode Juli-Desember 2022 pengiriman tercatat sebesar US$ 14,1 miliar, lebih rendah US$ 1,7 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Untuk nilai mata uang rupee, terjadi degradasi nilai mata uang terhadap dollar AS. Data Trading Economics menyebut selama empat minggu terakhir, mata uang rupee Pakistan melemah 2,21% terhadap dollar AS
Sementara itu, di sektor industri, juga terjadi penurunan dengan sektor manufaktur besar mencatatkan turun 7,75%. Pertanian di Pakistan juga berada dalam keadaan genting, karena kebijakan pemerintah yang buruk, kurangnya investasi, dan kurangnya otomatisasi.
Dengan situasi ini, Pakistan pun terdorong dalam inflasi hingga 31% secara year-on-year (yoy). Semua faktor ini telah meningkatkan kesulitan sehari-hari Pakistan, utamanya terkait sumber makanan dan energi.
Selain pangan dan energi, obat-obatan juga menjadi salah satu hal yang menipis dalam 6 bulan terakhir di negara itu. Pakistan bahkan kehabisan obat umum untuk demam dan nyeri, Panadol, pada September 2022 ketika dilanda banjir parah dan wabah demam berdarah.
Bahkan obat-obatan yang digunakan untuk pengobatan diabetes, serta suplemen Vitamin C juga telah mengalami kekurangan pasokan.
Untuk mengatasi situasi ini, Islamabad pun sedang berusaha meminta dukungan keuangan dari negara-negara seperti China dan Arab Saudi serta Dana Moneter Internasional (IMF). IMF sendiri sejauh ini akan merilis dana senilai US$ 6 miliar untuk membantu Negeri Ali Jinnah itu.
“Untuk mendukung Pakistan, Arab Saudi telah menyatakan kesediaannya untuk menyetor lagi US$ 2 miliar ke Bank Negara Pakistan, setelah melakukan ‘studi’. Bantuan serupa juga diharapkan dari China,” tambah laporan Financial Post itu.
Selain itu, pemerintah negara itu juga mengambil langkah untuk menjual gedung lama Kedutaan Pakistan di Washington DC yang diperkirakan bernilai US$ 5-6 juta.
“Kedutaan Besar Pakistan di Amerika Serikat telah menerima anggukan dari kantor luar negeri untuk menjual gedung lamanya, yang terbengkalai selama 15 tahun terakhir,” mengutip kantor berita ARY. (hanoum/arrahmah.id)