In syaa Allah kita akan mulai membahas salah satu tulisan dari ulama yang rabbani, yang mungkin sudah tidak asing bagi kita. Yang mana beliau adalah murid dari ulama yang masyhur, yang terkenal juga, beliau adalah Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullahu ta’ala.
Sebelum memasuki tulisan beliau, mari membahas sedikit dari biografi beliau. Mungkin banyak dari kita yang sering mendengar tentang Ibnul Qayyim, tapi tak mengenal nama aslinya dan di mana beliau dilahirkan, nama aslinya adalah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub rahimahullah, kunyahnya, Abu Abdillah. Abu Abdillah dikenal dengan julukan syamsuddin, dan juga dikenal dengan Ibnu Qayyim al Jauziyah, dan jangan tertukar dengan Ibnul Jauziy.
Qayyim dalam bahasa Arab artinya kepala sekolah, atau kita kenal dengan mudir. Al Jauziyah adalah nama sekolah atau nama madrasah (di Damaskus) yang didirikan oleh anak dari Ibnul Jauziy. Dari sini kita mengetahui bahwasanya ayahnya Ibnul Qayyim adalah seorang mudir dari madrasah Al Jauziyah. Jadi Ibnul Jauziy lahir sebelum Ibnul Qayyim lahir.
Dilahirkan 7 Safar tahun 691 H, dan wafat pada 13 Rajab 751 H.
Kita akan membahas risalatul Ibnul Qayyim, surat Ibnul Qayyim kepada salah satu saudaranya atau sahabatnya. Lihat bagaimana keberkahan yang Allah berikan kepada Ibnul Qayyim rahimahullah, yang pada dasarnya risalah ini beliau tuliskan untuk salah satu temannya bernama Alauddin. Dikarenakan keberkahan yang Allah berikan, surat ini bukan hanya untuk Alauddin, tapi untuk seluruh kaum Muslimin. Itulah keberkahan.
Kita tidak tahu di mana Allah letakkan keberkahan kita, kapan itu berkahnya, kita tidak tahu, maka perbanyaklah amalan saleh, perbanyak berbuat baik, karena kita tidak tahu di mana keberkahan dari Allah.
Misalnya, Ibnu Al Jurumiyyah, tidak ada tulisan beliau yang terkenal kecuali kitab Al Jurumiyyah, padahal beliau seorang ulama. Kitabnya kecil, karena keikhlasan beliau dalam menulis, Allah angkat kitab tersebut sebagai kitab dasar dalam ilmu nahwu, padahal ratusan ulama menulis kitab dasar dalam ilmu nahwu.
Ada juga Al Baiquniyah, adalah manzumah dalam ilmu mustholah hadist. Penulisnya ulama khilaf, siapa nama penulisnya, ada yang bilang Toha, ada yang bilang Umar, perselisihan para ulama tentang nama penulisnya itu menunjukkan bahwa penulisnya tidak terkenal, penulisnya berasal dari Eropa. Tidak ada kitab dari beliau yang terkenal kecuali Al Baiquniyah, berisi 34 bait, dan itu ada yang disanggah oleh para ulama, walaupun ada sanggahan dari para ulama dari bait-bait syair ini, dikarenakan keikhlasan dari beliau, Allah angkat manzumah ini dari segala manzumah-manzumah lainnya, dijadikan ilmu dasar dari mustholah hadist. Bagaimana Allah meletakkan keberkahan untuk sebuah tulisan, maka jangan pernah bosan untuk berbuat baik, jangan pernah bosan menasehati teman-teman atau orang lain, bisa jadi dari satu kata bisa merubah kehidupan seseorang.
Imam Az Zahabi rahimahullahuta’ala beliau mulai semangat menuntut ilmu setelah ada seseorang yang berkata kepada beliau, “tulisanmu ini seperti tulisan para ulama hadist”. Dan dari situ beliau bersemangat untuk menuntut ilmu hadist, dan menjadi ulama yang sangat besar. Kitab Siyar A’lam An Nubala adalah hasil karya beliau, berpuluh-puluh jilid, berawal dari perkataan seseorang.
Jadi begitulah keberkahan Allah di mana dan kapan kita tidak tahu, jadi jangan pernah bosan berbuat baik dan berkata baik kepada orang lain. Salah satunya adalah risalah ini, risalah Ibnul Qayyim yang beliau tujukan kepada salah satu temannya dan kemudian bermanfaat untuk seluruh kaum Muslimin.
Imam Ibnul Qayyim memulai tulisannya dengan basmalah dikarenakan 4 hal:
1. Mengikuti Al Qur’an di mana setiap surat dari Qur’an dimulai dengan basmallah kecuali surat At Taubah.
2. Mengikuti sunnah Nabi dan sunnah para Anbiya ketika menulis surat kepada raja, contohnya kepada Heraklius, yang lain contohnya Nabi Sulaiman kepada Ratu Balqis.
3. Untuk mencari keberkahan, untuk meminta pertolongan dari Allah subhanahu wata’ala. Bismillahirrahmanirrahim.
4. Mengikuti kebiasaan para ulama sebelumnya.
“Allah adalah tempat meminta, tempat berharap, terijabahnya sebuah doa, semoga Allah subhanahu wata’ala, memberi kebaikan kepada saudara Alauddin di dunia dan akhirat. Dan semoga Allah menjadikan dia bermanfaat untuk orang lain.”
Di sini Ibnul Qayyim berdoa kepada Allah semoga Allah memberikan kebaikan kepada saudaranya Alauddin di dunia dan akhirat, kata-kata al yahsan, al yahsina mengandung makna keumuman, mencakup seluruh kebaikan, seluruh macam-macam kebaikan, apakah itu di dunia maupun akhirat. Seperti sebuah doa “robbana atina fid dunya….”
Ketika seseorang mendoakan kepada saudaranya, temannya, keluarganya, semoga Allah memberikan kebaikan kepada mereka, itu sudah mencakup seluruh kebaikan untuknya. Kebaikan seperti apa? Seluruh macam kebaikan. Karena ihsan dalam ayat tersebut mengandung makna keumuman, tidak khusus satu macam kebaikan.
Di sini kita dapat mengambil faidah bagaimana perasaan seseorang ketika didoakan oleh temannya, oleh gurunya? Pasti dia akan merasakan sesuatu yang menyenangkan, dan husnudzan kepada Allah semoga Allah mengabulkan doa temannya untuk dia.
Itu akan memberi pengaruh besar untuk orang yang didoakan. Mendengar saja kita senang, apalagi jika benar-benar Allah kabulkan. Apalagi yang mendoakan adalah orang-orang saleh.
Dari satu baris saja, banyak faidah yang diambil, makanya guru-guru kami, para penuntut ilmu, sering mengajak kita untuk memiliki pola pikir yang tidak kecil, tapi besar.
Seseorang menjadi bermanfaat untuk orang lain, atau seseorang tidak dapat bermanfaat untuk orang lain, kecuali dia dapat mengambil manfaat dari dirinya sendiri untuk dirinya sendiri.
Seseorang memiliki ilmu, namun ilmunya akan bermanfaat jika dia mengamalkannya. Karena bermanfaat untuk orang lain itu diawali bagaimana kita mengambil manfaat dari diri sendiri.
Jika kita ingin mengajak orang lain untuk berbuat kebaikan, maka harus dimulai dari diri kita sendiri.
“Dan semoga Allah menjadikan dia berkah di mana pun dia berada, karena sesungguhnya keberkahan seseorang itu berupa dia mengajarkan kebaikan di mana pun dia berada. Dan dia memberi nasihat kepada siapa saja yang berkumpul bersamanya.”
Beliau membawakan ayat dari Qur’an, “dan Allah telah menjadikanku berkah di mana pun kamu berada.”
Dari kalimat ini kita dapat mengambil faidah, bahwasanya seluruh amalan baik dan ketaatan yang dilakukan oleh seorang hamba, itu murni taufiq dari Allah ta’ala. Yang menjadikan dia berkah adalah karena taufiq Allah, bukan dari usaha kita.
Di situ kita mengakui betapa besar nikmat yang Allah berikan kepada kita, dan nikmat terbesar salah satunya adalah taufiq dari Allah untuk melakukan amalan baik dan ketaatan. Hadirnya kita di majelis ini itu bukan usaha kita, itu murni taufiq dari Allah.
Imam Ibnul Qayyim mengatakan: “Taufiq adalah Allah tidak menyerahkan urusan kita kepada kita.”
Kalau Allah menyerahkan segala urusan kepada diri kita sendiri dan Allah tidak membantunya, maka sungguh kita tidak akan bisa.
Makanya dalam dzikir pagi kita membaca, yang artinya: “Dengan rahmatMu aku meminta pertolongan, perbaikilah segala urusanku, dan janganlah bebankan seluruh urusanku kepadaku walaupun sekejap mata saja.”
Betapa bergantungnya kita kepada Allah.
Ibnul Qayyim menjelaskan ayat ini, menjelaskan perkataan Nabi Isa alahisalam, “menjadi pengajar kebaikan, berdakwah kepada Allah, mengingatkan manusia tentang Allah, dan mengajak orang-orang untuk melakukan ketaatan, dan inilah bentuk keberkahan seseorang.”
Jadi keberkahan yang ada pada diri seseorang adalah bagaimana dia menjadi penyeru kebaikan dan berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala. Apakah kita sudah mengajak orang lain untuk berbuat baik? Apakah kita sudah mengajak orang lain untuk bertauhid? Di mana pun kita berada.
Dan di dalam doa Ibnul Qayyim kepada temannya, kemudian beliau menjelaskan tentang keberkahan seseorang dan menjelaskan apa bentuk keberkahan seseorang, yaitu menjadi pengajar kebaikan, berdakwah kepada Allah dan seterusnya.
Ini menunjukkan bahwasanya, untuk terkabulnya sebuah doa, butuh melakukan sebab-sebab terkabulnya doa tersebut. Jika ingin bermanfaat, maka hendaklah dia mengajak orang lain untuk melakukan kebaikan.
Jadi doa harus disertai dengan sebab. Dan itulah makna dari tawakkal. Tawakkal adalah bergantungnya hati kepada Allah dalam mengambil sebuah maslahat dan menolak sebuah mudharat dengan melakukan sebab-sebab.
Barang siapa tidak melakukan sebab-sebab, maka dia tidak bertawakkal kepada Allah.
Nabi Musa alaihi salam, Allah peringati beliau ketika beliau mengatakan: “yang paling alim di dunia ini adalah aku.” Dan Allah mengatakan ada hamba lain yang lebih alim, di surat Al Kahfi. Allah perintahkan untuk belajar kepada hamba tersebut. Apa yang nabi Musa lakukan? Nabi Musa melakukan sebab-sebab, melakukan rihlah dalam menuntut ilmu.
Nabi Musa saja melakukan sebab untuk mendapatkan ilmu, ilmu itu didapatkan dengan melakukan sebab yaitu belajar. Tapi tetap hati kita harus bergantung kepada Allah. Jadi ketika ingin mendapatkan sesuatu, doa saja tidak cukup, harus melakukan sebab. Melakukan sebab itu bentuk ibadah kita kepada Allah.
Kemudian beliau (Ibnul Qayyim) berkata: “Dan barangsiapa yang tidak seperti ini (tidak bersifat seperti ini), maka tidak ada keberkahan pada dirinya.”
Tolak ukur keberkahan pada diri seseorang dilihat pada seberapa bermanfaat dia untuk orang lain, sampai-sampai Ibnul Qayyim mengatakan kalimat di atas.
“Dan keberkahan bertemu dengannya dicabut.”
Maksudnya tidak ada keberkahan ketika kita bertemu dirinya. Jadi keberkahan tidak hanya dicabut dari dirinya, tapi juga orang-orang yang bertemu dengan dirinya.
“Dicabut keberkahan orang-orang yang berkumpul dengannya. Karena dia sesungguhnya membuang-buang waktu dalam segala keadaan dan merusak hatinya.”
Orang yang tidak mempunyai sifat bermanfaat kepada orang lain, dia tidak ada keberkahan di dalam dirinya, dan tidak ada keberkahan saat bertemu dengan dirinya.
Maka lihat juga diri kita, apakah kita bersifat kebaikan atau tidak, jangan sampai keberkahan dalam diri kita dicabut karena kita tidak bermanfaat kepada orang lain.
Kemudian beliau mengatakan: “Segala bentuk keburukan, segala bentuk penyakit yang ada pada diri seorang hamba, sebabnya adalah buang-buang waktu dan rusaknya hati.”
Dua sebab itu yang menjadi sebab terbesar segala keburukan ada pada diri seorang hamba.
“Dan hal tersebut menyebabkan dia tidak mendapatkan bagian dari Allah.”
Dia tidak akan mendapatkan pahala dari Allah dan turun derajatnya di sisi Allah.
Bagaimana bahayanya tercabutnya keberkahan dari diri seseorang, dikarenakan dua sebab, buang-buang waktu dan rusaknya hati.
Imam Syafi’i berkata:
1. Jiwamu apabila tidak kamu sibukkan dengan ketaatan, maka jiwamu akan menyibukkan dirimu dengan kemaksiatan.
- Waktu itu bagaikan pedang, apabila tidak gunakan waktumu dengan baik, maka dia yang akan menebasmu.
Dari dua perkataan beliau ini kembali kepada rusaknya hati, perkataan kedua adalah buang-buang waktu, dan beliau berkata secara bersamaan. Pertama pembahasan tentang rusaknya hati, dan kedua tentang buang-buang waktu.
Maka dari itu, Ibnul Qayyim berkata: “Dikarenakan hal itu, beberapa guru kami berkata, memberi wasiat kepada kami, ‘hati-hati jangan sampai kalian berteman dengan orang-orang yang membuang-buang waktu kita dan merusak hati‘.”
Di sini pembahasan tentang bagaimana kita memilih teman, agar keberkahan dalam diri kita tidak tercabut.
“Apabila waktu telah terbuang-buang dan apabila hati telah rusak, urusan seorang hamba jadi berantakan.”
“Dan apabila waktu telah terbuang-buang dan hati telah rusak maka dia termasuk yang Allah katakan dalam firmannya: ‘Dan janganlah kalian menaati orang-orang yang kami lalaikan hatinya dari dzikir kepada kami dan mengikuti hawa nafsunya, dan segala urusannya menjadi berantakan’ (Al Kahfi).”
Orang-orang yang lalai dari dzikir dan mengikuti hawa nafsunya maka mereka adalah orang-orang yang membuang-buang waktu dan merusak hati, karena apa? Karena mereka lupa kepada Allah sehingga Allah membuat mereka lupa akan diri mereka sendiri (terdapat dalam Al Hasyr).
Ketika seseorang sudah melupakan Allah, tidak perhatian tentang agamanya, Allah buat urusannya berantakan, bahkan Allah buat diri mereka lupa akan diri mereka sendiri.
Hakikatnya ketika seseorang berbuat maksiat, maka dia sedang lalai dari dzikir kepada Allah.
(haninmazaya/arrahmah.id)
*Disarikan dari kajian yang diisi oleh Ustadz Syafiq Said hafidzahullah