JAKARTA (Arrahmah.com) – Pembahasan RUU Intelijen Negara mengenai pemberian kewenangan penangkapan dan pemeriksaan oleh personel BIN berlangsung alot, pasalnya ide kewenangan menangkap oleh intelijen hanya akan membuka trauma masa lalu.
“Intelijen semestinya tidak boleh diizinkan melakukan penangkapan karena mereka bukan bagian dari penegakan hukum,” urai anggota Panja RUU Intelijen Negara DPR, Helmy Fauzi di Jakarta, Rabu (21/9/2011).
Dalam Rapat Panja RUU Intelijen, Selasa (2019) kemarin, perdebatan mengenai pasal yang menyangkut kewenangan BIN, salah satu pasal yang disoroti adalah pasal 32 yang berbunyi;
Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), Badan Intelijen Negara memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana dan pendalaman terhadap setiap orang yang terkait dengan kegiatan terorisme, separatisme, spionase, subversi, sabotase dan kegiatan yang mengancam keamanan, kedaulatan dan keselamatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum.
Lebih lanjut, Helmy mengungkapkan, penggunaan kata ‘pendalaman’ dalam pasal 32 RUU Intelijen Negara mesti dicermati. Dirinya mengkhawatirkan adanya upaya eufimisme bahasa dalam draf legal tersebut.
“Kata pendalaman adalah eufimisme untuk menyelundupkan tindakan represif. Kalau memang ingin menangkap ya tulis saja dalam draf pasal sehingga kita bisa mendiskusikannya,” beber anggota FPDI Perjuangan ini.
Dirinya berharap adanya praktik politik bahasa dalam penyusunan RUU Intelijen Negara. Sebab, di era Orde Baru, bahasa kerap digunakan untuk menyamarkan tindakan represif.
Helmy menegaskan bahwa di zaman Orde Baru kan ada istilah diamankan, dituntaskan dan diselesaikan yang artinya sama yakni penangkapan. Jadi lebih baik tidak ada lagi eufimisme bahasa dalam RUU Intelijen. (tbn/arrahmah.com)