PESHAWAR (Arrahmah.id) — Pengadilan Tinggi Pakistan membebaskan seorang pemerkosa setelah menikahi korbannya dalam sebuah penyelesaian yang ditengahi oleh dewan tetua di baratlaut negara itu.
Dilansir CBS (29/12/2022), keputusan tersebut membuat marah para aktivis HAM, yang mengatakan keputusan itu melegitimasi kekerasan seksual terhadap perempuan di negara di mana mayoritas pemerkosaan tidak dilaporkan.
Dawlat Khan (25) dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada Mei 2022 oleh pengadilan rendah di Distrik Buner, Provinsi Khyber Pakhtunkhwa seusai memperkosa seorang wanita tuli.
Dia dibebaskan dari penjara pada Senin (26/12) setelah Pengadilan Tinggi Peshawar menerima penyelesaian di luar pengadilan yang disetujui oleh keluarga korban perkosaan.
“Pemerkosa dan korban berasal dari keluarga besar yang sama,” kata Amjad Ali, pengacara Khan, kepada AFP (28/12).
“Kedua keluarga sudah berbaikan setelah tercapai kesepakatan dengan bantuan jirga (dewan adat) setempat,” tambahnya.
Khan ditangkap setelah korbannya yang belum menikah melahirkan bayi awal tahun ini, dan tes paternitas membuktikan bahwa dia adalah ayah biologis dari anak tersebut.
Pemerkosaan terkenal sulit dituntut di Pakistan, di mana perempuan sering diperlakukan sebagai warga negara kelas dua.
Menurut Sel Bantuan Hukum Asma Jahangir, sebuah kelompok yang memberikan bantuan hukum kepada perempuan rentan, tingkat hukuman lebih rendah dari tiga persen kasus yang dibawa ke pengadilan.
Beberapa kasus dilaporkan karena stigma sosial yang terkait, sementara penyimpangan selama investigasi, praktik penuntutan yang buruk, dan penyelesaian di luar pengadilan juga berkontribusi terhadap tingkat hukuman yang buruk.
“Ini secara efektif adalah persetujuan pengadilan atas pemerkosaan dan memfasilitasi pemerkosa dan mentalitas pemerkosaan,” kata Imaan Zainab Mazari-Hazir, seorang pengacara dan aktivis hak asasi manusia, tentang keputusan pengadilan Peshawar.
“Itu bertentangan dengan prinsip dasar keadilan dan hukum negara yang tidak mengakui pengaturan seperti itu,” katanya kepada AFP.
Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan mengatakan terkejut dengan putusan itu.
“Pemerkosaan adalah pelanggaran yang tidak dapat diperparah yang tidak dapat diselesaikan melalui pernikahan ‘kompromi’ yang lemah,” cuit grup tersebut.
Di pedesaan Pakistan, dewan desa yang dikenal sebagai jirga atau panchayat dibentuk dari tetua setempat yang melewati sistem peradilan, meskipun keputusan mereka tidak memiliki nilai hukum. (hanoum/arrrahmah.id)