(Arrahmah.id) – Imam Malik bin Anas lahir pada tahun 93 Hijriah (711 M) di desa bernama Zul-Marwa di Madinah. Ayah, kakek, dan kakek buyutnya adalah orang-orang terkenal di kalangan ulama hadis. Diriwayatkan bahwa kakek buyutnya adalah seorang sahabat yang berperang beberapa kali bersama Nabi Shalallahu alayhi wasallam.
Nama lengkap sang Imam adalah Abu Abdillah Malik Bin Anas bin Malik Bin Abi Amir Bin Amr Bin Harits Bin Gayman, Khutsail (dalam riwayat lain dengan jim; Jutsail) Bin Amr bin Harits (Dzu Asbah) Bin Auf Bin Malik Bin Zaid Bin Syaddad Bin Zur’ah (Himyar al-Ashgar). Sedangkan ibunya bernama Aliyah Binti Syarik Al-Azdiyah.
Menurut pendapat yang shahih, Imam Malik lahir bertepatan dengan hari wafatnya Anas Bin Malik, khadim dari Rasulullah Shalallahu alayhi wasallam. Imam Malik bergelar Syaikh al-Islam, Hujjah al-Ummat dan Imam Daar al-Hijrah (Imam Negeri Hijrah). (Adz-Dzahabi, Siyar a’lam an-Nubala Juz VIII, hal 48).
Imam Malik dibesarkan dalam keluarga yang mencintai ilmu, tetapi ia sendiri tidak begitu bersemangat untuk belajar. Imam Malik kecil biasa menghabiskan waktu bermain-main. Ia sangat menyukai merpati. Suatu hari, ketika Imam Malik yang kala itu berusia sekitar 10 tahun, dipanggil oleh ayahnya dan diajukan sebuah pertanyaan untuk menguji kecerdasannya tetapi dia tidak dapat memberikan jawaban yang tepat. Ayahnya lalu mengatakan padanya bahwa ia akan tetap tidak berilmu seumur hidupnya jika dia tidak mengubah gaya hidupnya. Kritik tajam ini mengguncang harga diri Imam Malik saat itu, dan dengan motivasi yang sangat kuat dari ibunya, ia berbalik menjadi bersemangat dalam belajar.
Imam Malik kemudian benar-benar melepaskan diri dari hampir semua hal dan mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk mempelajari agama. Dia belajar dan menghafal Al-Qur’an di masa mudanya, dan dia membacakan kepada Imam ul-Qurra, Nafi` ibn Abdur-Rahman (yang bacaannya menjadi fondasi seluruh Umat Muslim saat ini).
Diriwayatkan bahwa Imam Malik memiliki 900 guru, termasuk Imam Sihab Az Zuhri, Abdur Rahman bin Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar As Siddique, Amir Ibnu Abdullah bin Zubayr bin Awwam, dan Nafi Ibnu Abi Nu’aym, yang merupakan budak yang dibebaskan dari Sahabat terkenal Abdullah bin Umar. Imam Sufiyan Ibnu Uhaina meriwayatkan bahwa Imam Malik mulai mengajar sejak usia 17 tahun, dan pada usia dini itu ia telah menjadi seorang ulama yang sangat handal. Ia mulai mengeluarkan fatwa setelah 70 ulama menegaskan kelayakannya untuk tujuan tersebut. Ia juga mengumpulkan lebih dari 100.000 Hadits yang ditulis oleh tangannya.
Dengan berlalunya waktu, Imam Malik menjadi yang paling terkenal saat itu, dan ketenarannya mencapai puncaknya selama masa hidupnya, tidak seperti tiga Imam besar Islam lainnya, yang popularitasnya meningkat secara bertahap dan terus meningkat hanya setelah kematian mereka. Salah satu alasan utama di balik ini adalah lokasinya. Imam Malik tidak pernah berkelana ke luar Madinah kecuali untuk pergi haji – dia sangat mencintai tanah Nabi Shalallahu alayhi wasallam.
Karena alasan ini, ia memiliki kesempatan untuk bertemu dengan hampir setiap ulama besar pada masanya termasuk Abu Hanifah, Abu Yusuf, Lais bin Saad, dan masih banyak lagi. Untuk alasan yang sama, dia memiliki murid dari setiap penjuru dunia Muslim, dan di antara muridnya, yang paling terkenal adalah Imam Syafii, Imam Sufyan At-Thawri, Ibnu Jaraji, dan Abdullah ibn Mubarak. Ada riwayat yang menunjukkan bahwa sekitar 1300 ulama saat itu adalah murid langsung Imam Malik.
Terlepas dari popularitas dan penerimaannya terhadap semua orang, dia adalah orang yang sangat rendah hati. Dia mengabdikan hidupnya untuk pengetahuan dan dalam ibadah yang tulus kepada Allah. Dia tidak memiliki rumah. Menurut satu versi, Imam Malik adalah penyewa di rumah yang dulunya milik sahabat besar Abdullah Bin Masud. Fakta lain yang menarik tentang sang Imam adalah bahwa ia biasa berdandan dengan sangat baik, karena ia berpandangan bahwa mengenakan pakaian yang indah akan meningkatkan penampilan seseorang.
Imam Malik juga biasa menjaga disiplin yang ketat di kelasnya. Setiap orang diperlakukan sama, dan tidak ada pengaturan tempat duduk khusus untuk tokoh berpengaruh di kelasnya, termasuk Khalifah sendiri.
Imam Malik adalah orang pertama yang menyusun kitab hadis shahih bernama “Al-Muwatta.” Isinya 1.720 Hadits. Buku itu disetujui oleh 70 ulama dan dengan demikian disebut Muwatta (Yang disetujui). Banyak komentar telah ditulis di buku itu. Imam Syafi’i, yang merupakan salah satu murid Malik selama sembilan tahun, berkata: “Imam Malik seperti bintang di kalangan ulama.” Imam Malik menghafal Al-Qur’an di masa mudanya dan belajar di bawah ulama terkenal seperti Hisham ibn Urwah, Ibn Shihab Al-Zuhri dan Imam Jafar Al Sadiq, keturunan Nabi Suci Shalallahu alayhi wasallam.
Ia menyusun dan melindungi ilmu Hadits selama lebih dari 70 tahun di Madinah dan meninggal pada usia 87 tahun. Ilmu fikihnya kemudian berkembang menjadi Mazhab Maliki, yang banyak dipakai di Maroko, Aljazair dan Spanyol.
Imam Malik menyusun Al-Muwatta dalam kurun waktu 40 tahun, dimulai dengan 10.000 riwayat hingga ia menguranginya menjadi jumlah saat ini. Imam Bukhari mengatakan bahwa rantai transmisi Hadits yang paling otentik disebut Silsalat Al Zahabi (rantai emas), yang hanya memiliki tiga mata rantai – “Malik dari Nafi dari Ibnu Umar dan kemudian dari Nabi Suci” Shalallahu alayhi wasallam. Ada 80 narasi dengan riwayat ini dalam buku ini. Imam Syafi’i menganggap Al-Muwatta sebagai kitab paling otentik di dunia setelah Al-Qur’an.
Imam Malik hanya menikah dengan satu istri dan dia memiliki tiga putra dan satu putri. Tidak ada anak laki-lakinya yang masuk ke ranah ilmu melainkan putrinya yang bernama Fathimah binti Malik yang menjadi seorang ulama wanita. Ia menghafal seluruh Muwatta dan biasa menghadiri kelas-kelas Imam Malik dari balik pintu. Setiap kali seorang murid Imam Malik melakukan kesalahan, ia biasa mengetuk pintu dan memberi tahu ayahnya tentang kesalahan itu.
Imam Malik memiliki hubungan yang sangat baik dengan para khalifah dan dia biasa menerima hadiah dari mereka dan mengunjungi istana mereka di Madinah. Namun, hubungan seperti itu tidak pernah menjadi penghalang baginya untuk memberikan fatwa Islam secara mandiri dan selalu menolak untuk memegang jabatan pemerintahan mana pun.
Imam Malik sangat kuat dalam membela Syariah dan tidak peduli dengan pendapat penguasa. Ia selalu menasihati para penguasa waktu dengan tulus dan tidak pernah memutarbalikkan aturan apa pun untuk menyenangkan mereka. Karena itu, pernah Gubernur Madinah menangkap dan mencambuknya di depan umum karena mengeluarkan putusan yang bertentangan dengan pendapat penguasa Khalifah Al Mansur. Ketika khalifah mengetahui hal itu, dia memecat gubernur dan meminta maaf kepada Imam Malik. Dia juga mengirim 3.000 dinar dan mengundang Imam Malik untuk tinggal di Baghdad tetapi dia menolak tawaran tersebut dengan mengatakan bahwa dia lebih suka tinggal di kota Nabi Suci Shalallahu alayhi wasallam.
Imam Malik juga mengeluarkan Fatwa bertentangan dengan kehendak Khalifah Harun Al-Rasyid yang karenanya ia dihukum berat. Namun suatu ketika, ketika khalifah datang ke Madinah dia memintanya untuk mengajarkan Hadis kepada para pembesarnya. Namun Imam menjawab bahwa kekayaan ilmu tidak sampai ke pintu orang lain.
Harun Al-Rasyid cukup bijak, ia mengutus anak-anaknya untuk belajar kepada Imam Malik. Hal ini mereka lakukan karena Imam Malik menolak untuk datang ke istana mengajar anak-anaknya. Bagi Malik, ilmu itu didatangi, bukan mendatangi. Murid itu laksana timba, dan ilmu itu seperti sumur. Jadi timba-lah yang harus mendatangi sumur.
Harun Al-Rasyid telah menyarankan agar kitab Imam Malik, Al-Muwatta, harus diletakkan di dalam Ka’bah Suci dan semua Muslim diperintahkan untuk mengikutinya dalam semua masalah fikih. Tapi Imam Malik menolak, dengan mengatakan “Tahan diri dari ini karena para sahabat Nabi Shalallahu alayhi wasallam sendiri memiliki pandangan yang berlawanan tentang beberapa perkara.”
Imam Malik wafat pada tahun 179 Hijriah (795 M) saat berusia 87 tahun. Amir Madinah Abdul Aziz Bin Muhammad Bin Ibrahim memimpin doa pemakamannya. Ia dimakamkan di Jannatul Baqi’. Berita kematiannya membuat seluruh umat berduka. Ketika Sufyan Bin Uyainah mendengar tentang wafatnya Imam Malik, dia berkata dengan berat hati bahwa tidak ada lagi orang kedua di muka bumi ini setelah Imam Malik. (zarahamala/arrahmah.id)