AMBON (Arrahmah.com) – Pengungsi memilih bertahan di pengungsian bukan semata-mata trauma pasca bentrok Ambon 9/11, tak ada jaminan keamanan dari aparat pemerintah dan aparat keamanan adalah salah satu alasan mereka memilih tetap tidur di Masjid-masjid pengungsian.
Di balik klaim situasi Ambon yang kondusif pasca bentrok 9/11, sampai sekarang belum ada jaminan keamanan dari aparat, baik pemerintah maupun keamanan. Karena itu warga Muslim yang tinggal di kampung perbatasan dengan kampung Kristen memilih bertahan di pengungsian.
“Tentu bukan kemauan mereka mengungsi, tapi karena situasi dan kondisi yang seperti ini. Dengan jaminan keamanan dari pemerintah yang tidak ada mereka harus mencari keamanan sendiri seperti ini,” jelas Aziz, ketua Himpunan Mahasiswa Islam Ambon, Senin (19/9/2011).
Aziz yang mengaku telah mendata seluruh pengungsi di berbagai lokasi mengungkapkan sampai saat ini aparat pemerintah hanya bisa memerintahkan pengungsi pulang ke kampungnya tanpa mampu memberikan jaminan keamanan.
“Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota sepertinya tidak mau memperhatikan mereka dengan alasan sudah aman, kemudian pengungsi harus dikembalikan ke daerahnya masing-masing,” ujarnya. “Dan sayangnya mereka (Pemprov dan Pemkot, red.) tidak berani datang sendiri ke sini dan mengatakan kepada pengungsi biar ada jaminan keamanan dari pemerintah secara langsung,” paparnya.
Hal senada diungkapkan oleh Wada Isa, salah seorang pengungsi yang memilih terlunta-lunta makan nasi dan mie instan tiap hari daripada harus pulang ke kampung halaman. Menurut nenek sepuh berusia 63 tahun tersebut situasi kampungnya, yakni Amaci (Air Mata Cina) yang tak jauh dari kampung Kristen sangat mencekam.
“Saya mengungsi karena masih takut, sebab desa saya berbatasan dengan desa Pohon Pule (kampung Kristen, red.) yang hanya dipisahkan sebuah sungai,” ujarnya pada Senin (19/9), sambil mengasuh Anandasari, cucunya yang berusia satu tahun.
Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa selama di prngungsian ia hanya menerima bantuan beras dan mie instan saja. Sementara bantuan untuk balita seperti cucunya belum pernah didapatkan.
Hal senada diungkapkan oleh Alwi, pengungsi di masjid Jami’ yang berasal dari desa Ponegoro Atas. Ia lebih memilih hidup di pengungsian untuk mengasuh balita berumur 1 tahun 7 bulan. “Saya mengungsi karena takut, sebab rumah saya berdekatan dengan gereja,” paparnya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di pengungsian, Alwi hanya mengonsumsi bantuan beras dan mie instan saja sementara bantuan untuk balita seperti susu belum pernah didapatkan.
Tidak hanya itu, Alwi yang berprofesi sebagai tukang becak mengatakan ia belum bisa beraktivitas banyak untuk mencari nafkah, karena masih merasa was-was terhadap serangan pihak Salibis. Praktis, ia hanya mengandalkan bantuan dan sumbangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kondisi para pengungsi di masjid Al-Fatah pun tak beda dengan pengungsi di tempat lainnya. Kehidupan sehari-hari para pengungsi Muslim korban konflik 9/11 itu sangat memprihatinkan karena minim bantuan.
Sementara itu, selain adanya larangan pendirian posko dengan dalih keamanan, di pengungsian masjid-masjid, Departemen Sosial hanya membantu enam karung beras, dua dus ikan dan mie instan.
“Kondisi Pengungsi di sini (Masjid Jami’) seperti yang terlihat, sejak awal konflik sentuhan bantuan dari pemerintah masih kurang. Bantuan lebih banyak diberikan oleh swadaya masyarakat. Yayasan ada juga yang bantu, dari bank,” jelasnya Aziz.
“Tapi dari dinas sosial sendiri sejak awal konflik hanya pernah memberikan bantuan enam karung beras, empat karton mie instan dan dua karton ikan sarden,” tambahnya.
Azis mengungkapkan, sejak pecahnya insiden hari Ahad (11/9) lalu, sebenarnya sudah banyak LSM ingin membuka posko tetapi dilarang pemerintah setempat, berdasarkan kesepakatan Pemprov dan Pemkot Ambon saat rapat koordinasi hari Senin (12/9).
“Menurut mereka terindikasi nanti persoalan ini menjadi panjang kemudian terlihat banyak pengungsi,” jelasnya.
Karena pemerintah melarang keras pendirian posko, maka pada hari Senin (12/9) itu pula HMI cabang Ambon mengambil inisiatif sendiri untuk mendata pengungsi di Masjid Al-Fatah, Masjid Jami’ dan di tempat lain. Anehnya, langkah HMI inipun dicurigai oleh Majelis Ulama Islam (MUI) Ambon.
“Setelah berjalan kami mendata kami dipanggil pihak Yayasan Al Fatah dan MUI menyangkut persoalan pengungsi. Kami katakan bahwa fokus kami hanya mendata tidak sampai ke tingkat lain seperti penyaluran dan sebagainya karena memang kami tidak memiliki dana,” terang Azis.
Terkait hal tersebut, Aziz mendesak agar pemerintah pusat untuk memperhatikan kesejahteraan para pengungsi. (voaI/arrahmah.com)