JAKARTA (Arrahmah.com) – Pemerintah terus mendesak agar Research in Motion (RIM) membuka akses khususnya terhadap tersangka korupsi, pencucian uang dan orang-orang yang diduga menjadi pelaku kejahatan lainnya.
“Kami akan minta dibukakan akses terhadap orang-orang yang dicurigai melakukan kejahatan. Bila RIM setuju, maka kita akan tandatangani kesepakatan,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring usai rapat kerja dengan Komisi I di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Kamis (15/9/2011).
Tifatul mengungkapkan lima dari enam tuntutan pemerintah telah dilaksanakan oleh RIM. Namun, satu yang belum dilaksanakan oleh RIM adalah membuka data center di Indonesia.
“Yang sudah dilaksanakan adalah membuka cabang di Indonesia, membuka layanan purnajual, memblok konten negatif, menyerap tenaga kerja Indonesia serta bekerjasama dengan pengembang lokal untuk menggunakan piranti lunak dan komponen lokal,” ujarnya.
Tifatul menjelaskan bahwa RIM belum dan tidak memberikan alasan mengapa hingga kini tidak membuka data center di Indonesia. Dia berharap, RIM segera membuka data center di Indonesia. Sebab bila tidak, maka RIM bisa dikenai sanksi.
Lebih lanjut ia menambahkan, sejauh ini, belum ada payung hukum untuk melakukan penyadapan terhadap orang-orang yang dicurigai melalui jaringan BlackBerry.
“Kalau dengan operator lain sudah. Yang jelas, BlackBerry maupun BlackBerry Messenger (BBM) tidak bersih dari penyadapan. Ada teknologi yang bisa digunakan untuk menyadap,” tukasnya.
Tifatul mengungkapkan bahwa operator mengetahui bahwa ada beberapa pelanggannya yang dicurigai melakukan kejahatan sedang disadap. Bahkan, operator yang membukakan pintu agar penyadapan bisa dilakukan.
“Sedangkan RIM belum membukakan akses meski ada teknologi untuk menyadap BlackBerry,” tandasnya.
Sejauh ini institusi yang berhak melakukan penyadapan adalah Polri, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Narkotika Nasional.
Sementara terkait akan dikenakannya pajak barang mewah bagi produk-produk Blackberry, Tifatul menganggap hal itu baru sekadar wacana.
“Itu baru ide. Tapi menurut saya bukan RIM saja yang rugi. Meski minat orang untuk membeli tidak turun, konsumen yang pertama terkena dampak,” tuturnya.
Terkait berita pembangunan pabrik RIM di Malaysia, Tifatul juga menyatakan bahwa RIM tidak berencana membangun pabriknya di Malaysia. Hal itu diketahuinya dari Dubes Kanada, yang hadir pada open house yang digelarnya lebaran lalu.
“Dubes Kanada menyatakan tidak ada rencana membangun pabrik di Malaysia. Berita pembangunan pabrik itu tidak jelas sumbernya, tapi sudah diributkan,” tandasnya.
Tifatul menegaskan pada dasarnya tidak menjadi masalah apakah RIM akan membangun pabriknya di Indonesia atau tidak. Sebab, itu bukan urusan Indonesia. Terlebih, tidak ada aturan yang memaksa RIM membuka pabriknya di Indonesia. Namun bila mengambil tindakan tetapi tidak bicara dengan Indonesia terlebih dahulu, tentu pihak RIM tahu konsekuensinya. (ans/arrahmah.com)