ANKARA (Arrahmah.id) – Presiden Recep Tayyip Erdogan pada Jumat (25/11/2022) berjanji untuk melindungi perbatasan selatan Turki dengan “zona aman” di Suriah setelah Ankara melancarkan rentetan serangan udara terhadap pemberontak Kurdi.
Erdogan telah lama berusaha untuk membangun “zona aman” dengan kedalaman 30 kilometer (19 mil) di dalam wilayah Suriah dan berulang kali mengancam tahun ini untuk memulai operasi militer baru guna mencapai tujuan tersebut.
Militer Turki telah melakukan tiga serangan terhadap pemberontak Kurdi dan militan ISIS sejak 2016 dan telah merebut wilayah di Suriah utara, yang dikuasai oleh proksi Suriah yang didukung Ankara.
“Dengan (zona) keamanan yang kami dirikan di sisi lain perbatasan kami, kami juga melindungi hak-hak jutaan perempuan dan anak-anak,” kata Erdogan dalam pidato yang disiarkan televisi untuk memperingati Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
“Insya Allah akan kami selesaikan (zona) sepanjang perbatasan dari barat ke timur ini secepatnya,” tambahnya.
Menyusul pengeboman di Istanbul pada 13 November yang menewaskan enam orang dan melukai 81 lainnya, Turki melancarkan serangkaian serangan udara di beberapa bagian Irak dan Suriah pada Ahad (20/11), menargetkan kelompok Kurdi.
Turki menyalahkan pemboman itu pada milisi YPG Kurdi Suriah dan Partai Pekerja Kurdistan (PKK). PKK ditetapkan sebagai kelompok teroris oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Kelompok Kurdi membantah terlibat dalam serangan Istanbul.
Turki mengatakan milisi YPG Kurdi bersekutu dengan PKK, yang telah melancarkan pemberontakan melawan negara Turki sejak 1984.
Menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia yang berbasis di Inggris, Turki melancarkan serangan pada Jumat (25/11) di Hasakeh di timur laut Suriah, yang dipegang oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung AS, yang sekarang menjadi tentara de facto Kurdi.
Erdogan menginginkan “zona aman” untuk memasukkan kota perbatasan Kurdi Suriah Kobane, juga dikenal sebagai Ayn al-Arab, yang direbut oleh pasukan YPG Kurdi dari jihadis pada tahun 2015 dengan dukungan Amerika Serikat.
Rusia dan Amerika Serikat, bagaimanapun, menyerukan de-eskalasi. (zarahamala/arrahmah.id)