IDLIB (Arrahmah.id) — Kelompok Salafi yang memprotes kebijakan kelompok perlawanan Suriah Ha’iah Tahrir Syam (HTS) yang mengizinkan pembukaan kembali sebuah bioskop di Idlib. Mereka menuduh hal itu menjauhkan Islam dan justru menyerupai perilaku orang Barat.
Dilansir Al Monitor (12/11/2022), HTS yang menguasai Idlib baru-baru ini membuka kembali bioskop ke kota Idlib sebagai upaya untuk memanjakan penduduknya sekaligus menghilangkan citra negatif teroris yang disematkan Barat.
Sebelumnya, bioskop Al-Zahra ditutup selama lebih dari 20 tahun karena perang dan tuntutan warga.
Bioskop itu sekarang berganti nama menjadi Royal Palace dan dibuka sepekan sekali untuk menonton film secara gratis. Film-film yang ditayangkan seputar film hiburan, budaya, keluarga dan anak-anak.
Amer al-Rayes, seorang penduduk Idlib, mengatakan kepada Al-Monitor, “Orang tua datang ke bioskop untuk menghidupkan kembali kenangan lama. Sekitar 40 tahun yang lalu, kami datang ke teater ini untuk menonton film, tetapi dengan munculnya televisi, bioskop kehilangan popularitasnya dan terpaksa ditutup. Sekarang setelah dibuka kembali, saya datang bersama keluarga untuk menghidupkan kembali kenangan saya dan memberi tahu anak cucu saya tentang keindahan bioskop.”
Penduduk Idlib lainnya, Reem al-Ali mengatakan kepada Al-Monitor, “Generasi baru tidak mengenal bioskop. Beberapa orang datang untuk menemukan apa itu sinema. Ini adalah pertama kalinya saya mengunjungi bioskop. Ketika revolusi meletus di Suriah, saya berusia 15 tahun, dan saya belum pernah ke bioskop sebelumnya. Orang tua saya telah memberi tahu saya banyak tentang hal itu. ”
Sejarah perfilman di provinsi Idlib dimulai pada tahun 1942, ketika Abdel Hamid Qawsra mendirikan bioskop pertama di atap sebuah kafe di kawasan Bazar, yang dikenal sebagai Kafe Hamshaddo.
Belakangan, dua bioskop dibuka di Idlib. Bioskop pertama disebut Al-Hamra, yang diresmikan setelah kemerdekaan Suriah 1946. Pada tahun 1966, Al-Hamra hancur dalam kebakaran, dan kemudian direnovasi pada tahun 1972 dengan nama Bioskop Ugarit, sebelum ditutup tidak lama kemudian.
Teater film kedua didirikan pada tahun 1950-an dengan nama Fouad Cinema. Di tahun-tahun berikutnya, namanya diubah menjadi Cinema Al-Zahra, sebelum ditutup oleh pemilik aslinya pada tahun 2000.
Pada awal 2022, pekerjaan restorasi dimulai di Cinema Al-Zahra setelah seorang investor dari Idlib menyewanya dan menamakannya Royal Palace.
Abbas Sharifa, peneliti dalam kelompok jihad di Pusat Studi Jusoor yang berbasis di Istanbul, mengatakan kepada Al-Monitor, “HTS sedang mencoba untuk melonggarkan pembatasannya terhadap kebebasan pribadi sejak menghapus [pada tahun 2021] aparat polisi agamanya, yang dikenal sebagai hisbah. Sejak saat itu, kelompok tersebut […] berusaha untuk berinvestasi di sektor intelektual dan rekreasi, seperti [membuka] kafe, aula pernikahan, dan bioskop, karena menyadari bahwa mereka tidak dapat memaksakan ideologinya di daerah tersebut, mengingat beragam populasi yang tinggal di sana.”
Namun, langkah HTS telah berulang kali memicu kecaman luas dari kelompok Salafi yang menentang pembukaan bioskop dan toko yang menjual tembakau dan sisha.
Ahmed Sado, seorang jurnalis dari Idlib, mengatakan kepada Al-Monitor, “HTS berpacu dengan waktu untuk mendapatkan penerimaan regional dan internasional. Karena itu, pihaknya memperbolehkan pembukaan resort dan tempat hiburan, yang terakhir adalah pembukaan Bioskop Al-Zahra. Tapi gerakan ini menuai kritik dari gerakan Salafi yang menentang.” (hanoum/arrahmah.id)