GAZA (Arrahmah.id) — Kelompok perlawanan Palestina Hamas baru-baru ini kembali menangkap dua pria karena menembakkan roket ke Israel. Hamas menangkap mereka pada hari Ahad (6/11/2022) setelah mereka menembakkan empat roket ke Israel pada hari Kamis (3/11).
Roket ditembakkan hanya beberapa jam setelah kepala Partai Likud Benjamin Netanyahu memenangkan pemilihan Knesset 1 November lalu dan hanya beberapa hari setelah pasukan Israel membunuh seorang pemimpin Jihad Islam di Nablus, di Samaria.
Salah satu sumber di Gaza mengatakan pada AFP bahwa serangan itu melanggar gencatan senjata dan memicu serangan balasan oleh Israel.
Oleh karena itu, Hamas mencoba untuk menghindari konflik bersenjata berkepanjangan. Mereka dinilai sedang mencoba menemukan solusi praktis untuk menghadapi kesulitannya ketika berhadapan dengan militer Israel yang jauh lebih kuat.
“Jelas bahwa Hamas sekarang tidak tertarik melakukan konflik senjata dengan Israel,” ujar Ido Zelkovitz, kepala program Studi Timur Tengah di Max Stern Yezreel Valley College, kepada JNS (9/11).
Dia menambahkan bahwa salah satu prioritas utama Hamas adalah kesepakatan yang akan membuat para tahanannya dibebaskan oleh Israel.
“Kesepakatan seperti itu akan menjadi kemenangan politik dan memberikan dorongan kemenangan dalam persaingannya dengan Otoritas Palestina,” kata Zelkovitz, yang juga seorang peneliti di Chaikin Chair for Geostrategy di University of Haifa.
Kobi Michael, seorang peneliti senior di Institut Studi Keamanan Nasional Israel (INSS) di Universitas Tel Aviv, setuju, dengan mengatakan tidak mengherankan apabila Hamas tidak tertarik untuk konflik bersenjata saat ini.
“Hamas ingin memanfaatkan ketenangan untuk terus meningkatkan realitas ekonomi dan standar hidup di Jalur Gaza,” kata Michael.
“Hamas juga ingin membangun kembali kapasitas militernya yang rusak secara dramatis selama ‘Operasi Penjaga Tembok,’” perang udara dengan Israel pada Mei 2021, tambahnya.
Selain itu, lanjut Michael, “Hamas tertarik untuk menggunakan kesempatan ini dan terus melemahkan Jihad Islam, musuh politik utamanya [di Gaza].”
Meir Litvak, seorang ahli Hamas di Universitas Tel Aviv, menulis sebuah artikel jurnal yang memberikan contoh bagaimana ideologi jihad dan kesyahidan Hamas diimbangi dengan keinginannya untuk kemenangan taktis.
“Seperti kebanyakan gerakan Islam lainnya, Hamas telah menurunkan elemen mesianis Islam ke tingkat sekunder, karena mereka lebih tertarik untuk mendirikan negara Islam di sini dan sekarang,” tulisnya dalam “’Martyrdom is Life’: Jihad dan Martyrdom in the Ideology of Hamas,” diterbitkan dalam Studies in Conflict & Terrorism pada 2010.
“Satu-satunya pengecualian adalah makna eskatologis yang diberikan oleh Hamas kepada jihad melawan orang-orang Yahudi, yang diklaim sebagai prasyarat untuk memenuhi janji Tuhan untuk menegakkan pemerintahan-Nya atas bumi,” jelas Litvak.
Sebagai contoh, lanjutnya, pemimpin Hamas saat itu Khaled Mashaal mengatakan pada 2008 bahwa kesepakatannya untuk gencatan senjata singkat dalam permusuhan dengan Israel tidak dimaksudkan untuk menandakan perubahan dari “fase perlawanan dan pertempuran ke fase tenang.”
Sebaliknya, menurut “konsep manajemen konflik ini Hamas, gencetan senjata singkat adalah sarana taktis. Ini adalah langkah dalam perlawanan dan tidak terlepas darinya,” tulis Litvak.
Gerakan Ikhwanul Muslimin memang dikenal cenderung menghindari jihad tanpa henti dan lebih memilih strategi yang sabar untuk membangun dukungan akar rumput melalui layanan sosial dan lembaga pendidikan mereka.
Sementara tujuan akhir dari menciptakan kekhilafahan di seluruh dunia tidak berbeda dari kelompok jihad lainnya seperti Islamic State (ISIS), mereka lebih memilih untuk memainkan permainan panjang daripada memaksakan serangan terus-menerus tanpa menahan diri terlepas dari kekuatan musuh mereka. (hanoum/arrahmah.id)