Salah satu hal yang membuat peristiwa 9/11 spektakuler adalah penggunaan pesawat terbang sebagai senjata penyerangan dan gedung yang dijadikan target sasaran. Khalid Sheik Muhammad dipercaya sebagai sosok yang pertama kali menawarkan ide brilian ini kepada Syekh Usamah bin Ladin.
Seluruh sasaran 9/11 adalah tempat penting dan strategis bagi AS, bahkan simbol kedigdayaan mereka. Ketiga gedung yang menjadi sasaran masing-masing diberi kode sandi untuk memudahkan operasi. Pentagon dijuluki sebagai The Faculty of Fine Arts. Sementara itu World Trade Center atau yang dikenal juga dengan nama Twin Towers atau Menara Kembar mendapat kode sandi The Faculty of Town Planning. Gedung terakhir atau Capitol Hill The Conggres mendapat kode sandi The Faculty of Law.
Uniknya lagi, pesawat-pesawat yang digunakan sebagai amunisi dahsyat dalam peristiwa 9/11 adalah pesawat-pesawat kebanggaan Amerika, yakni American Airlines dan United America. Jadi, dengan pesawat kebangaan Amerika sendiri, menabrak gedung-gedung penting dan strategis milik Amerika sendiri, dan terjadi di jantung kota Amerika. Dahsyat!
American Airlines Flight 11
Pesawat pertama yang digunakan adalah American Airlines dengan nomor penerbangan 11. Pesawat ini dikemudikan oleh Muhammad Atta dengan sasaran menara utara WTC.
Pesawat American Airlines ini rencananya berangkat dari bandara Logan, Boston tepat pukul 07.45 AM dengan tujuan Los Angeles. Di bandara Logan, Boston, para pelaku aksi sudah siap untuk melaksanakan tugas, mereka adalah : Muhammad Atta, Abdul Aziz Al Umary, Sattam Al Suqami, serta Waa’il dan Walid Al Shehry.
Para pelaku aksi ini menurut salah seorang awak bernama Amy Sweeney menempati kursi dengan nomer : 2A, 2B, 9A, dan 9B. Dari tiket dan credit card info tertulis nama Mohamad Atta al-Sayed.
Dalam pesawat ini, Muhammad Atta yang menjadi pilot sempat terekam sedang berbicara lewat sistem air traffic control (pengendali lalu lintas udara). Muhammad Atta menyampaikan pesan kepada para penumpang. Berikut pesannya :
“Kita punya sejumlah pesawat. Tetap tenang dan kalian akan baik-baik saja. Kita akan kembali ke bandara, jangan ada yang bergerak. Segalanya akan baik-baik saja. Jika ada yang bergerak, kalian akan membahayakan diri kalian sendiri dan pesawat. Tetap tenang Tolong jangan ada yang bergerak. Kita akan kembali ke bandara, jangan membuat gerakan bodoh.”
American Airlines Flight 11 menabrak WTC menara utara pada jam 8.46 a.m dan runtuh jam 9.59 a.m.
United Airlines Flight 175
Pesawat United Airlines dengan nomer penerbangan 175 adalah pesawat kedua yang digunakan untuk menabrak gedung WTC, tepatnya menara selatan. Pesawat ini rencananya berangkan tepat pukul 07.58 juga dari Bandara Logan, Boston, menuju Los Angeles. Dalam pesawat ini, Marwan Al Shehi akan bertindak sebagai pilot dibantu oleh teman satu timnya, yaitu : Fayez Banihammad, Mohand Al Shehri, Hamza Al Ghamdi, dan Ahmad Al Gahmdi.
Marwan Al Shehi, yang bertindak sebagai pilot berlatih pesawat bersama Muhammad Atta di sekolah pilot Huffman Aviation. Marwan merupakan pilot termuda diantara keempat lainnya, yakni baru berusia 23 tahun. Marwan dan Atta menempuh ratusan jam terbang dengan menggunakan simulator Boeing 727. Mereka mendapatkan lisensi menerbangkan pesawat pada bulan Desember 2000.
Pesawat-pesawat yang menghantam WTC adalah pesawat jenis Boeing yang berbobot 200 ton. Pada peristiwa 11 September, United Airlines Flight 175 berkecepatan sekitar 590mph (865,33f/s), yang berarti 45 kali kecepatan melesatnya sebuah peluru.
Dengan kecepatan pesawat seperti itu dan 15 % struktur kerangka baja gedung WTC menara selatan dirobek, maka keruntuhan menjadi sesuatu yang sangat memungkinkan. Pesawat United Airlines Flight 175 menabrak WTC menara selatan pukul 9.03 a.m. dan runtuh pada pukul 10.28 a.m.
United Airlines Flight 77
Ini adalah pesawat ketiga, yakni United Airlines dengan nomer penerbangkan 77. Pesawat ini berangkat dari Bandara Dallas, dekat Washington D.C. Pesawat direncanakan berangkat pukul 08.10 AM menuju Los Angeles, untuk kemudian ditabrakkan ke gedung pertahanan Amerika Serikat, Pentagon.
Pesawat ini dikemudikan oleh Hani Hanjour dan beranggotakan : Khalid Al Mihdar, Majed Moqed, Nawaf al Hazmi, dan Salem al Hazmi. Secara teori dan praktek, pesawat yang dikemudikan oleh Hani Hanjour adalah yang paling sulit dalam melakukan manuver untuk menyelesaikan aksinya. Pasca serangan 11 September telah dilakukan beberapa sumulasi dan eksperimen untuk membuktikan apakah pesawat United Airlines Flight 77 yang dikemudikan oleh Hani Hanjour ini memang mampu melakukan manuver dahsyat yang disebut dengan G-Force. Setelah simulasi dan eksperimen selesai dilakukan, maka mereka berkesimpulan, manuver itu mungkin dilakukan dan Hani Hanjour telah membuktikannya.
Pesawat United Airlines dengan nomer penerbangan 77 akhirnya berhasil menabrak gedung pertahanan dan keamanan Amerika, yakni Pentagon sekitar pukul 9.37 a.m.
United Airlines Flight 93
Pesawat terakhir yang digunakan dalam peristiwa menakjubkan 11 September 2001 adalah United Airlines dengan nomer penerbangan 93. Pesawat ini dikemudikan oleh Ziad Jarrah, teman dekat Muhammad Atta, baik di Jerman maupun di Afghanistan.
Dalam pesawat yang akhirnya kandas, qadarallah di Pennsylvania, Ziad Jarrah berperan sebagai pilot dibantu oleh Ahmad Al Haznawi, Ahmad Al Nami, dan Said Al Ghamdi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ramzy bin Shaibah, operator dan penghubung peristiwa 911, sedianya pesawat akan ditabrakkan ke gedung Capitol Hill.
Dalam tim ini Ziad Jarrah hanya dibantu 3 pemuda pemberani lainnya, dan mereka menggunakan ikat kepala warna merah dan bersenjatakan pisau. Stasiun berita ABC tanpa sengaja mendapatkan radio transmisi dengan suara yang diidentifikasi sebagai Ziad Jarrah yang mengumumkan :
“Hai, di sini kapten. Kami ingin anda semua tetap duduk. Ada bom di pesawat. Dan kita akan kembali ke bandara. Dan mereka mendapatkan permintaan kami, jadi tetap tenang.”
Sebenarnya pesan di atas ditujukan Ziad Jarrah hanya untuk para penumpang United Airlines dengan nomer penerbangan 93. Namun, qadarullah pesan ini tertangkap oleh stasiun berita ABC. Suara Ziad Jarrah juga terdengar lewat cockpit voice recorder (perekam suara kokpit).
Pengumuman oleh pilot, Ziad Jarrah kepada para penumpang pesawat United Airlines Flight 93 dilakukan sekitar pukul 9.39 a.m. Sempat terjadi perebutan pesawat antara para penumpang dan para pelaku aksi 11 September. Akhirnya sang pilot, Ziad Jarrah memutuskan untuk segera menabrakkan pesawat, meski belum mencapai sasaran yang dituju, Washington D.C yang masih berjarak 200 km lagi. Dia menjungkirbalikkan pesawat dan mulai menghujamkan ke bawah United Airlines 93 dengan kecepatan 580 mil per jam (933 km/jam) ke sebuah tambang terbuka di pinggiran hutan dekat Shanksville, Pennsylvania pada pukul 10.03.
Bisakah Mereka Menerbangkan Pesawat ?
Pertanyaan di atas sering dilontarkan untuk menyangsikan kemampuan ke-19 pemuda pemberani tersebut dalam menerbangkan pesawat. Padahal, mereka telah mempersiapkan seluruh hal yang berkaitan dengan serangan 11 September secara matang, termasuk menerbangkan pesawat.
Profesionalitas Al Qaeda
Tidak bisa disangsikan, Al Qaeda adalah organisasi jihad yang profesional. Hal ini diakui baik oleh kawan maupun lawan. Selain pelatihan-pelatihan yang teratur dan spesial, Al Qaeda juga memberikan kemampuan-kemampuan tingkat tinggi dalam bidang intelijen kepada para pengikutnya.
Para penyidik Jerman mengatakan bahwa mereka mempunyai bukti bahwa Muhammad Atta telah dilatih di kamp-kamp Al Qaeda sejak akhir tahun 1999 hingga awal 2000. Pemilihan waktu pelatihan di Afghanistan dijelaskan terjadi pada tanggal 23 Agustus 2003 oleh seorang penyidik senior. Penyidik tersebut, Klaus Ulrich Kersten, direktur badan antikriminal negara Jerman, Bundeskriminalamt, memberikan konfirmasi pertama bahwa Atta dan kedua pilot lainnya telah berada di Afganistan dan telah mengikuti masa-masa awal pelatihan. Kersten berkata dalam sebuah wawancara di kantor pusatnya di Wiesbaden, Jerman, bahwa Atta berada di Afghanistan dari akhir 1999 hingga awal 2000. Akhir-akhir ini (Oktober 2006) telah dikonfirmasi oleh penemuan rekaman video yang menunjukkan Atta di Afganistan sedang membaca surat wasiatnya pada tanggal 18 Januari 2000.
Selain itu, Atta juga dilatih untuk mengubah paspor. Segera setelah kembali ke Jerman, Atta, al-Shehhi, dan Jarrah melaporkan bahwa paspor mereka dicuri, kemungkinan untuk menghapus visa kunjungan mereka ke Afghanistan.
Selama kunjungan mereka ke Filipina, mereka tinggal di sebuah hotel resor terkenal, makan malam di restoran yang khusus menghidangkan makanan Timur Tengah dan setidaknya mengunjungi satu sekolah penerbangan setempat.
Atta dan kawan-kawan secara profesional juga mengubah penampilan mereka. dengan mencukur jenggot mereka dan menghindarkan diri untuk tidak dikenal radikal. Mulai tahun 2000, CIA menempatkan Atta di bawah pengawasan di Jerman. Dia dibuntuti para agen CIA, dan diamati ketika membeli bahan kimia dalam jumlah besar.
Berlatih Menerbangkan Pesawat
Pada bulan Maret 2000, Muhammad Atta masih berada di Jerman. Untuk keperluan serangan 11 September, dia mengontak 31 sekolah penerbangan di Amerika Serikat yang berbeda untuk mendiskusikan latihan menerbangkan pesawat.
Beliau kemudian terbang ke Praha, tinggal semalam, dan kemudian memasuki Amerika pada tanggal 3 Juni. Muhammad Atta dan kawan-kawan yang lain telah datang lebih awal kemudian membuka rekening bank dan melanjutkan untuk mengamati sekolah-sekolah penerbangan.
Pada bulan Juli, Muhammad Atta dan Marwan al-Shehhi mendaftarkan diri ke Huffman Aviation di Venice, Florida. Muhammad Atta mengaku sebagai keturunan bangsawan Saudi dan memperkenalkan al-Shehhi sebagai bodyguard-nya.
Keduanya mendapatkan sertifikatnya dari FAA pada bulan November. Pada tanggal 5 November, Muhammad Atta membeli video penerbangan untuk model Boeing 747-200 dan Boeing 757-200 dari Toko Sporty’s Pilot di Batavia, Ohio.
Pada tanggal 11 Desember, Atta membeli video penerbangan tambahan untuk model Airbus A 320 dan Boeing 767-300ER dari toko yang sama di Ohio. Pada tanggal 21 Desember, Atta dan Marwan menerima lisensi pilot mereka. Pada tanggal 26 dan 27, Atta dan Marwan meninggalkan Piper Cherokee yang diparkir di landasan Bandara Internasional Miami. Pada tanggal 29, Atta dan Marwan pergi ke Bandara Opa-Locka dan berlatih menerbangkan Boeing 727 secara simulasi.
Abdul Aziz Al Umari juga sering kali berlatih (terbang) simulasi di Flight Safety Academy di Vero Beach, Florida bersama dengan Mohand al-Shehri dan Saeed Al-Ghamdi.
Waleed Al Shehry mendapatkan sertifikat pilotnya di Embry-Riddle Aeronautical University pada tahun 1997. Sedangkan Al Shehhi setelah kembali ke Jerman pada bulan Maret 2000, mulai belajar menerbangkan jet. Bahkan Ali Abdul Aziz Ali, salah seorang organisator keuangan penting serangan 9/11, secara khusus membeli pesawat Boeing 747 dengan program penerbangan simulator menggunakan kartu kredit al-Shehhi.
Fayez Banihammad mendapatkan SIM pilot setelah berlatih di Spartan Aeronautics School di Tulsa, Oklahoma.
Mohand sering berlatih simulator di FlightSafety Aviation School di Vero Beach, Florida bersama dengan Abdul Aziz Al Umari dan Saeed Al-Ghamdi.
Hani Hanjour khusus membayar $ 4.800 untuk belajar di CRM Flight Cockpit Resource Management di Scottsdale. Meskipun menerima nilai buruk dari instruktur Duncan Hastie dan keluar sekolah dengan rasa frustrasi, Hani Hanjour tetap tekun dan sabar untuk tetap berlatih menerbangkan pesawat.
Pada bulan Desember, dia kembali masuk ke CRM Flight Cockpit Resource management, walaupun kemudian keluar setelah berlatih beberapa minggu. Pada bulan Januari, dia kembali mengambil pelatihan terbang di Arizona Aviation, dimana Hanjour akhirnya mendapatkan nilai baik untuk pilot komersial.
Hanjour tinggal di sejumlah apartemen di Tempe, Mesa, dan Phoenix, dan mendaftarkan diri pada kelas penerbangan simulator di Sawyer School of Aviation dimana dia hanya berkunjung tiga atau empat kali. Hanjour akhirnya mendapatkan sertifikat pilot komersial dari FAA pada bulan April 1999, namun tidak bisa mendapatkan pekerjaan sebagai pilot sekembalinya dia ke Saudi Arabia.
Ziad Jarrah selalu ingin menjadi seorang pilot. Pada masa kanak-kanaknya, dia selalu ingin menerbangkan pesawat, namun keluarganya tidak mendukungnya. “Aku tidak menghendakinya menjadi seorang pilot,” kata ayahnya kepada Wall Street Journal seminggu setelah serangan. “Aku hanya punya satu putra dan aku takut dia akan mengalami kecelakaan.”
Selepas dari kampusnya, Jarrah mulai mencari sekolah penerbangan. Dia mengklaim bahwa ini dilakukannya untuk memenuhi impian masa kecilnya untuk menjadi seorang pilot. Setelah mencari di sejumlah negara, dia berkesimpulan bahwa tidak ada satu pun sekolah penerbangan di Eropa yang memenuhi standar, dan atas saran kawan masa kecilnya, dia bersiap untuk pindah ke Amerika Serikat.
Ziad Jarrah datang ke AS untuk pertama kali, yaitu ke Newark International Airport. Dia kemudian pergi ke Florida dan mendaftarkan diri di Pusat Pelatihan Penerbangan Florida di Venice full-time. Jarrah tidak mengisi aplikasi untuk mengubah statusnya dari visa turis ke visa mahasiswa, yang berarti dia melanggar status imigrasinya.
Jadi, mereka, para pilot dan sebagian pelaku aksi 11 September memang telah berlatih keras untuk bisa menerbangkan pesawat terbang. Bahkan mereka sudah mendapatkan lisensi untuk menerbangkan sebuah pesawat terbang. Ini tentu cukup untuk menjalankan misi serangan 11 September 2001. Apalagi tidak dibutuhkan pengalaman dan jam terbang yang tinggi untuk menabrakkan sebuah pesawat ke gedung-gedung tinggi, yang dibutuhkan adalah cukup keberanian.
Source : JihadMagz 3
http://www.arrahmah.com
filter your mind, get the truth