(Arrahmah.id) – Ibnu Al-Bawwab dianggap sebagai salah satu pendiri seni kaligrafi di dunia Islam, lahir pada paruh kedua abad ke-10 di Baghdad, nama aslinya terdengar seperti Ali bin Hilal bin Abdulaziz. Sejak ayahnya menjabat sebagai penjaga gerbang di istana, ia menjadi dikenal dengan julukan Ibnu Al-Bawwab, yang secara harfiah diterjemahkan sebagai “anak penjaga pintu”.
Meskipun ia menjadi terkenal sebagai kaligrafer, Ibnu Al-Bawwab juga terlibat dalam jenis kreativitas lain seperti tatahan, ilustrasi, penjilidan, tazhib (penyepuhan). Selain itu, ia memiliki tulisan tangan yang sangat bagus, ia mulai menulis ulang buku dan mencurahkan semua usahanya dalam bidang ini.
Sebelum menjadi seorang kaligrafer, Ibnu Al-Bawwab bekerja sebagai pelukis untuk dinding dan langit-langit rumah. Kemudian ia bekerja di tempat pembuatan segel. Ibnu Bawwab adalah pendiri sistem “enam tulisan tangan” Aklamal Sitta, yaitu tulisan tangan tradisional Arab, yang telah menyebar di dunia Islam.
Pada abad-abad awal sejarah Islam, bahasa Arab ditulis dengan tulisan tangan Kufi. Meskipun kaligrafer pertama yang menulis dengan kufi adalah Ibnu Muqla, akan tetapi Ibnu Al-Bawwab adalah orang pertama yang mengukir aksara arab menjadi bentuk yang lebih bulat. Ia dianggap sebagai master kaligrafi terbesar setelah Ibnu Muqla.
Faktor terbesar yang membuat Ibn Al-Bawwab mendapatkan reputasi seperti itu adalah penguasaan naskah yang sebelumnya ditemukan dan dikuasai oleh Ibnu Muqla. Telah diriwayatkan bahwa dia sedang mensimulasikan ambiguitas dan kompleksitas naskah Ibnu Muqla ketika Sultan pada saat itu memberinya misi mengklasifikasi bagian-bagian Al Qur’an yang sebelumnya ditulis oleh Ibnu Muqla. Bagian-bagian ini tersebar di antara kaligrafi lain di dalam perpustakaan kerajaan. Dia menemukan 29 ajzā (bagian), tapi sayangnya dia tidak menemukan bagian terakhir meski sudah mencari dengan sangat teliti.
Oleh karena itu, Sang Sultan memberinya misi untuk mensimulasikan bagian terakhir yang terlewatkan persis seperti yang ditulis oleh Ibnu Muqla pada bagian lainnya. Ibnu Al-Bawwab menghabiskan satu tahun untuk menulis bagian yang hilang, dan menyerahkannya kepada Sang Sultan yang dengan cermat memeriksa bagian ini dan tidak dapat membedakan antara yang asli dan yang disalin.
Selama hidupnya, Ibnu Al-Bawwab telah menulis ulang 64 mushaf Al Quran. Dari jumlah tersebut, hanya dua yang bertahan hingga hari ini. Salah satunya, tertanggal 391 H, disimpan di Perpustakaan Chester Beatty di Dublin, dan yang kedua, tertanggal 401 H, ada di Museum Seni Turki dan Islam di Istanbul.
Ibnu Al-Bawwab juga menulis “Qasidah-i raiyya”, yang didedikasikan untuk kaligrafi. Syair dianggap sebagai karya paling awal yang bertahan dalam dunia qasidah:
Wahai orang yang ingin mengukir huruf indah!
Jika Engkau telah memutuskan dengan tegas untuk melakukan ini, maka kembalilah kepada Rabbmu yang bisa membuat segalanya lebih mudah dan mintalah bantuan-Nya.
Persiapkan pena yang keras dan baik untuk menulis dengan indah.
Pastikan pena yang Engkau pilih tidak terlalu panjang ataupun terlalu pendek, terlalu tebal ataupun terlalu tipis. Biarkan panjangnya sedang dan ketebalannya sedang.
…
Ketika Engkau pertama kali mulai menulis, jangan malu jika tidak berhasil dengan indah.
Kalifgrafi adalah sesuatu yang rumit, tapi akan semakin mudah seiring berjalannya waktu, karena setiap kesulitan diikuti oleh kemudahan.
…
Cobalah untuk menulis hal-hal yang indah dan baik yang akan membuat orang mengingat Engkau dengan kata yang baik di dunia ini.
Mengejar nikmat dunia, jangan menulis apa yang tidak disukai oleh Allah SWT.
Sesungguhnya esok hari, ketika di Hari Pembalasan, seseorang akan diberikan Kitab Kisah Para Rasulnya, setiap jiwa akan menerima pahala atas apa yang telah dilakukannya.
Ibnu Al-Bawwab menghabiskan sebagian besar hidupnya di Bagdad, untuk beberapa waktu ia menjadi khatib di masjid Mansur. Dia meninggal pada 1022 dan dimakamkan di pemakaman Bab Al-Harb di sebelah makam Ahmad bin Hanbal.
Seperti halnya dengan banyak pakar lainnya, kontribusi Ibnu Al-Bawwab pada seni kaligrafi dihargai di kemudian hari, dan justru lebih terkenal setelah kematiannya. Mereka mengatakan bahwa prasasti yang dia buat dari tujuh puluh baris selama hidupnya bernilai dua dinar, dan setelah kematiannya dijual seharga 17 atau bahkan 25 dinar.
Gaya penulisan Ibnu Al-Bawwab dikembangkan oleh banyak generasi kaligrafer setelahnya hingga Yakut Al-Mustasimi. Sekolah kaligrafinya bertahan sampai penaklukan Mongol atas Baghdad. (zarahamala/arrahmah.id)