BAGHDAD (Arrahmah.id) — Parlemen Irak memilih politisi Kurdi Abdul Latif Rashid sebagai presiden baru negara itu. Ini mengakhiri kebuntuan politik selama setahun yang berubah menjadi kekerasan selama musim panas.
Menurut sebuah pernyataan dari parlemen Irak Rashid memenangkan 162 dari 269 suara, mengalahkan Presiden petahana Barham Salim, yang hanya memperoleh 99 suara, seperti dikutip dari CNN (14/10/2022).
Rashid kemudian menunjuk Mohammed Shia al-Sudani sebagai perdana menteri, yang kini memiliki waktu satu bulan untuk membentuk pemerintahan.
Pemungutan suara itu menandai akhir dari kebuntuan politik terpanjang yang pernah dialami Irak sejak 2003, tahun di mana mantan pemimpin Saddam Hussein digulingkan oleh pasukan Amerika Serikat (AS).
Politisi Irak telah berjuang untuk membentuk pemerintahan sejak pemilihan umum pada Oktober 2021.
Kontes itu membuat partai pendeta Syiah Moqtada al-Sadr keluar sebagai pemenang, memenangkan lebih dari 70 kursi dan, bersama mereka, berpengaruh besar dalam menciptakan pemerintahan.
Bagaimanapun, upaya al-Sadr untuk membentuk koalisi yang berkuasa harus kandas di tengah oposisi dari blok pesaingnya. Ini diikuti kelumpuhan politik selama berbulan-bulan.
Pada bulan Juni, al-Sadr, seorang ulama yang sangat populer yang telah memposisikan dirinya melawan Iran dan Amerika Serikat, memerintahkan partainya untuk mundur dari parlemen, memicu kekhawatiran akan krisis konstitusional.
Ketika pemerintah berusaha untuk menunjuk perdana menteri baru pada bulan berikutnya, ratusan pendukung al-Sadr masuk ke Zona Hijau Baghdad, pusat pemerintahan dan distrik diplomatik yang dijaga ketat di negara itu, pada beberapa kesempatan.
Pada bulan Agustus, al-Sadr mengatakan dia pensiun dari politik. Loyalisnya meresponsnya dengan mengamuk di jalan-jalan Ibu Kota dalam unjuk kekuatan yang menewaskan 21 orang dan lebih dari 250 terluka.
Zona Hijau kembali diduduki, meskipun al-Sadr memerintahkan para pendukungnya untuk pulang 24 jam setelah pengumumannya.
Kekerasan sporadis terus mengganggu Zona Hijau. Sebelum sidang parlemen, sembilan roket mendarat di dalam dan di sekitar daerah yang dibentengi itu, melukai beberapa orang termasuk seorang anggota pasukan keamanan Irak.
Perdana Menteri Irak saat ini Mustafa al-Kadhimi mengutuk serangan itu, mengatakan mereka berusaha untuk menghalangi proses politik saat ini.
“Sementara kami mendukung penyelesaian hak konstitusional untuk mengakhiri krisis politik, kami menegaskan arahan kami kepada para pemimpin dinas keamanan untuk memastikan perlindungan penuh dan diperlukan untuk parlemen, dan kami dengan tegas menolak segala upaya untuk menghalangi proses demokrasi,” kata al-Kadhimi dalam sebuah postingan di Twitter. (hanoum/arrahmah.id)