Oleh Ummu Alifah
Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK
Apa yang terpikirkan di dalam benak ketika di satu wilayah pedalaman terjadi kasus kematian beruntun dan tidak diketahui penyebab pastinya? Tentu menyesakkan.
Sebagaimana diberitakan media kompas.com (15/9/2022), misteri kematian beruntun dari 6 warga Baduy Kabupaten Lebak, Banten akhirnya diketahui karena paparan penyakit tuberkulosis. Lebih menghenyakkan ketika petugas kesehatan yang diterjunkan ke wilayah tersebut melaporkan bahwa selain tuberkulosis, ditemukan pula kasus penyakit lain yang mewabah. Mulai dari rubela, malaria, campak, hingga stunting.
Kejadian lain yang tak kalah memilukan terjadi di Kampung Haur Seah, Cipicung, Banyuresmi, Garut. Sebuah rumah semi permanen bahkan dalam kondisi reyot dibongkar paksa oleh sekelompok tukang bangunan suruhan dari seorang rentenir. Pembongkaran tersebut dilakukan karena kasus utang piutang seorang warga sebanyak 1,3 juta yang tak juga bisa diselesaikan. Semakin memilukan ketika yang bersangkutan mengaku bahwa uang tersebut dipinjam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka sekeluarga. (detik.com, 17/9/2022)
Rakyat Sengsara, Penguasa Abai
Fakta-fakta pilu dan menyedot arus kesedihan dalam dada berputar bak slide kusam di negeri bergelar gemah ripah loh jinawi ini. Rakyat Ibu Pertiwi sedang diguncang lara, sengsara tanpa tahu bagaimana hendak menyelesaikan semua. Kekayaan alam melimpah nyatanya tak mampu mencukupi semua kebutuhan warga.
Apa yang disampaikan oleh seorang ahli di bidang kesehatan masyarakat mungkin bisa menjadi titik cerah sebagai awal jawaban dari serentetan tanya kisah-kisah pilu yang terjadi. Dilaporkan bahwa separuh dari penduduk Indonesia terjangkit kondisi menyedihkan berupa kelaparan tersembunyi (hidden hunger). Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia IPB, Drajat Murtianto menyebut bahwa hidden hunger ini ditampakkan dari kualitas pangan masyarakat yang masih terkategori buruk (mediaindonesia, 18/9/2022). Zat gizi mikro seperti iodium, zat besi, asam folat, seng, dan nutrisi mikro lain yang terdapat dalam pangan hewani, sayur, dan buah kian tak terbeli. Hal tersebut mengakibatkan kondisi kekurangan gizi yang tidak tampak namun berhubungan erat dengan status imunitas, kecerdasan sampai tingkat produktivitas kerja masyarakat.
Pantas saja banyak di antara warga yang rentan terhadap penyakit. Kasus yang menimpa warga pedalaman Baduy Banten menjadi satu buktinya. Hal tersebut sebagai dampak dari penyebaran wabah penyakit yang tak terdeteksi secara dini. Ditambah minimnya edukasi yang didapat oleh mereka terkait pola hidup sehat dan kecukupan pangan serta zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Mungkin ada yang berpikir, “Oh itu sih karena warga di sana yang mengisolasi diri mereka dari dunia luar, mengakibatkan edukasi dari tim kesehatan pemerintah daerah menjadi tak berjalan lancar.” Sungguh hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan. Karena sesungguhnya hal tersebut adalah tugas pemerintah mulai dari pusat hingga daerah yang terdekat dengan masyarakat. Salah satunya untuk mengurusi kesejahteraan, edukasi dalam menjalani pola dan perilaku hidup sehat dan lainnya. Jangan pernah menjadikan alasan budaya mengisolasi diri dari warga adat menjadikan pemerintah abai dari mengurusi mereka. Bukankah mereka pun adalah bagian dari rakyat, dimana tumpah darahnya wajib diperhatikan sesempurna mungkin?
Terlebih ketika abainya pemerintah terhadap hidden hunger bukan hanya terjadi di satu dua wilayah tertentu, tapi merata di seluruh negeri. Bahkan dikatakan sampai separuhnya! Dari sini bisa terlihat betapa abainya penguasa dalam memerhatikan salah satu urusan vital, yakni masalah kesejahteraan rakyat. Berupa edukasi, kecukupan pangan dan zat gizi juga akses terhadap kesehatan.
Tak jauh berbeda dengan kasus pembongkaran paksa rumah reyot di Banyuresmi Garut. Insiden memilukan ini pun semakin mempertegas betapa penguasa telah abai dengan kesengsaraan rakyatnya. Tak sedikit para kepala keluarga di Indonesia yang kesulitan mendapat pekerjaan layak. Sementara semua kebutuhan pokok wajib ditebus dengan lembar rupiah yang tebal. Kebutuhan pangan dan pakaian pun akhirnya dipenuhi tanpa melihat aspek kelayakan. Jangan harap masyarakat bawah memerhatikan kecukupan nutrisi terlebih zat gizi mikro, bisa menyelesaikan keroncongan di perut anggota keluarga pun sudah untung. Jangan tanya bagaimana mereka bisa menetap di rumah yang layak. Mampu mengontrak di ruangan sepetak yang cukup untuk menghindarkan diri dan keluarga dari sengatan mentari, guyuran hujan dan dinginnya suasana malam pun sudah merupakan kondisi yang luar biasa menggembirakan. Apalagi jika mampu tinggal di rumah yang memang dimiliki sendiri, tanpa harus memikirkan uang sewa setiap bulan atau tahunnya. Urusan sanitasi dan kelayakan kerap tak menjadi pertimbangan. Kemampuan mengakses kebutuhan asasi berupa tempat tinggal telah menjadi barang mewah bagi kalangan wong cilik. Sementara untuk kebutuhan sehari-hari kerap dipenuhi dengan gali lubang tutup lubang. Bahkan tak sedikit yang terjebak pada jerat rentenir.
Sengsaranya Hidup di Alam Kapitalis Sekuler
Kemalangan tak terperi yang dirasakan rakyat sungguh dikarenakan negeri ini menganut prinsip hidup yang jauh dari tuntunan agama. Syariat Islam yang sempurna dan menyejahterakan dibuang jauh dalam persoalan kehidupan, berpolitik dan bernegara. Prinsip hidup sekulerlah yang diambil. Perkara ibadah mahdah mungkin masih diadopsi. Itu pun hanya dipeluk secara personal tanpa ada peran negara dalam mewujudkannya. Adapun persoalan kehidupan, berpolitik dan bernegara kiblat yang diikuti adalah pandangan Barat. Betapa sangat sekulernya.
Maka jangan harap rasa belas kasih dalam dada para penguasa memenuhi rongga dada mereka melihat malangnya kehidupan yang dihadapi rakyat. Yang ada pandangan mereka terbutakan, telinga mereka tuli dari jerit tangis masyarakat. Semua kebijakan yang dikeluarkan lebih memihak pada korporat dan asing. Rakyat hanya mendapat perhatian sisa. Itu pun masih juga ditambah dengan narasi bahwa mereka harus mandiri memikirkan urusan masing-masing. Negara telah kerepotan dengan semua subsidi urusan rakyat yang memberatkan APBN.
Pengurusan kesejahteraan rakyat, pengelolaan kekayaan negeri, pengaturan urusan kehidupan, semua diambil dari sistem Kapitalisme. Sistem ini menjadikan negara hanya ada di posisi sebagai pembuat regulasi dan memfasilitasi antara kebutuhan rakyat dengan korporat. Kebutuhan akan pangan, sandang dan papan difasilitasi oleh negara dengan memberi kesempatan seluas-luasnya pada para pemodal untuk menyediakannya, tentu dengan prinsip pure bisnis. Regulasi yang mempermudah para kapitalis beruang tebal meraup untung melimpah dari kebutuhan asasi rakyat, negaralah yang menerbitkannya.
Tidak berbeda dengan kebutuhan kolektif. Akses kesehatan, pendidikan dan keamanan tak luput dari pengaturan kapitalistik. Dimana semua hanya bisa diakses rakyat ketika mereka mampu membelinya. Tanpa uang jangan harap mereka bisa mengecapnya.
Tata aturan yang melingkupinya pun mengekor Sang Tuan Barat tanpa tedeng aling-aling. Resep privatisasi kepemilikan kekayaan alam dan aset-aset publik yang memiskinkan rakyat, penggelontoran utang riba yang menjerat kadaulatan, pasar bebas yang sangat tak menguntungkan rakyat dan seterusnya, diambil dengan penuh suka cita. Semua hanya menguntungkan pihak pemodal dan oligarki, sementara rakyat kian menjerit tak mampu mendapat kesejahteraan dan pengurusan yang semestinya menjadi haknya.
Pengaturan Hidup Islam yang Menyejahterakan
Sampai kapanpun problem hidden hunger, abainya penguasa terhadap penanganan wabah penyakit di tengah masyarakat, banyaknya para lelaki dewasa yang tak sanggup memenuhi kebutuhan anggota keluarganya akan terus ada selama sistem Kapitalisme sekuler terus dianut. Semua akan berbeda jika pengaturan kehidupan beralih pada sistem hidup yang berasal dari Zat Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Ia adalah sistem kehidupan Islam, yang pernah berjaya dan mampu memberikan pengurusan terbaik pada semua rakyat. Tata aturannya yang berasal dari Zat Yang Maha Adil, terbukti selama belasan abad lamanya mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan hakiki bagi semua individu rakyat tanpa kecuali.
Sistem tersebut pertama kali diterapkan oleh sosok manusia pilihan, Baginda Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Lantas dilanjutkan secara berkesinambungan oleh para Khalifah sesudahnya.
Prinsip akidah Islam yang mendasarinya menjadikan penguasa sebagai pengurus semua urusan rakyat akan bertanggung jawab penuh dalam menjalani amanahnya. Rasa takutnya akan pengadilan akhirat yang kelak akan menyeretnya pada jurang kehinaan di yaumil akhir demikian tergambar dalam benaknya, menjadikannya amat takut jika ada satu saja rakyat tak mampu mengecap haknya. Berupa kebutuhan pangan, sandang dan papan yang layak. Juga kebutuhan kolektif masyarakat seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan. Semua dalam tanggung jawabnya.
Betapa Baginda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, tak menutup mata pada semua urusan dan kebutuhan rakyatnya. Bahkan seorang pengemis tua buta dari kalangan Yahudi pun tak luput dari perhatiannya. Setiap hari Nabi sempatkan untuk mencukupi kebutuhan asasi berupa makannya.
Begitupun dengan teladan Umar bin Abdul Aziz yang enggan untuk memakai pakaian yang lebih baik kualitasnya jika rakyatnya belum merasakannya. Demikian juga teladan dari seorang Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq yang setiap pagi tak absen mendatangi rumah janda tua buta untuk membersihkan dan menjaga sanitasi di sana, semata bentuk kasih sayang seorang pemimpin yang tak tega mendapati warganya hidup dalam kesulitan dan kekumuhan.
Dalam sistem pemerintahan Islam, negara menjalankan politik semata dalam rangka riayatus su’unil ummat (mengurus urusan rakyat) berdasar syariat Islam yang sempurna (kaffah). Maka bentuk tanggung jawab yang sangat besar dari seorang penguasa ketika diangkat (baiat) pun menjadikan sorang Khalifah Umar bin Badul Aziz kerap berkata lirih seperti ini, “Ah, ah, aku memangku urusan urusan umat Muhammad saw., sedang pada hari kiamat aku akan dimintai tanggung jawab oleh fakir dan miskin, anak-anak dan para janda.”
Jelas sudah, hanya dalam sistem pemerintahan Islam sajalah, semua rakyat akan diurusi dengan sebaik mungkin dan penguasa tak akan abai sebagaimana yang biasa terjadi di sistem Kapitalisme sekuler. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.