RIYADH (Arrahmah.id) – Putera Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) didapuk menjadi Perdana Menteri Arab Saudi pada pekan ini. Aktivis hak asasi manusia (HAM) menilai bahwa pengangkatan MBS sebagai Perdana Menteri bertujuan agar ia bisa mendapat kekebalan hukum.
Gelar itu juga diduga dapat memperkuat posisi MBS secara signifikan di mata Internasional. Mohammed sendiri telah memegang kekuasaan yang sangat besar di kerajaan di tengah kondisi kesehatan Raja Salman yang menurun.
Apalagi penunjukan sebagai PM juga dilakukan menjelang tenggat waktu pertimbangkan kekebalan hukum terkait sejumlah tuntutan yang terjadi di pengadilan Amerika Serikat (AS), di mana tenggat itu harus diputuskan oleh Presiden AS, Joe Biden.
Sejauh ini, Mohammed bin Salman telah menajdi sasaran sejumlah tuntutan hukum, di antaranya adalah pembunuhan jurnalis Arab Saudi Jamal Khashoggi pada 2018 silam. Pembunuhan tersebut diketahui terjadi di konsulat kerajaan Arab Saudi di Istanbul.
Pengacara Mohammed bin Salman mengklaim kekebalan hukum memang semestinya didapat oleh kliennya. Sebab Mohammed bin Salman berada di puncak pemerintahan Arab Saudi.
Direktur eksekutif LSM yang didirikan Khashoggi, Democracy for the Arab World Now (DAWN) Sarah Leah Whitson mengatakan bahwa itu adalah upaya terakhir untuk memunculkan gelar baru baginya.
“Dengan kata lain gelar ‘cara mencuci kejahatan’,” kata Sarah seperti dilansir AFP.
Pada bulan Juli, sekelompok LSM juga mengajukan pengaduan di Prancis yang menuduh bahwa Pangeran Mohammed adalah kaki tangan penyiksaan dan penghilangan paksa Khashoggi. Mereka mengatakan tuduhan itu bisa dituntut di Prancis, yang mengakui yurisdiksi universal.
“Pangeran Mohammed tidak memiliki kekebalan dari penuntutan karena sebagai putera mahkota dia bukan kepala negara”, tegas kelompok LSM tersebut. (rafa/arrahmah.id)