LONDON (Arrahmah.id) – Sekelompok besar pengungsi Suriah berkumpul di Turki dalam upaya untuk membentuk konvoi dan memasuki Eropa melalui Yunani, The Guardian melaporkan pada Rabu (21/9/2022).
Sekitar 100.000 dari lebih dari 3,5 juta warga Suriah di Turki diperkirakan akan bergabung dengan apa yang disebut “Caravan of Light”, menurut penyelenggara.
Rencana untuk membentuk konvoi telah tercetus selama beberapa minggu melalui aplikasi perpesanan Telegram. Peserta disarankan untuk membawa barang-barang penting untuk perjalanan, seperti tenda, kantong tidur, dan makanan kaleng.
Penyelenggara konvoi mengumumkan bahwa titik awal gerakan ini adalah Edirne di timur laut Turki. Dari sana, para pengungsi berharap dapat membangun momentum yang cukup untuk memungkinkan mereka menyeberangi perbatasan ke Yunani tanpa hambatan.
Faktor utama di balik pembentukan gerakan ini adalah meningkatnya kemarahan di antara para pengungsi atas cara mereka diperlakukan di Turki. Penyelenggara mengkritik “rasisme yang menjijikkan” yang telah menyebabkan serangan mematikan terhadap warga Suriah.
Faris Mohammed Al-Ali, seorang warga Suriah berusia 18 tahun, tewas di Turki dalam dugaan serangan rasis bulan ini, sementara Leyla Mohammed (70), adalah korban serangan pada bulan Mei yang memicu kemarahan di seluruh dunia.
“Pengungsi Suriah telah melarikan diri dari konflik berdarah, penyiksaan, penghilangan paksa dan pelanggaran menjijikkan lainnya untuk mencari keselamatan di Turki. Sangat mengerikan bahwa mereka sekarang menghadapi serangan lebih lanjut,” kata Sara Hashash dari kelompok hak asasi manusia, Syria Campaign.
Khairu, seorang warga Suriah berusia 22 tahun yang telah tinggal di Turki sejak 2018, mengatakan kepada The Guardian: “Tidak ada masa depan bagi saya dan setiap warga Suriah di sini.” Dia takut akan terjadi pembunuhan mendadak atau deportasi. Khairu menambahkan bahwa dia hanya ingin “hidup tanpa rasa takut akan hari esok, karena ketakutan akan hari esok adalah kematian yang sangat lambat.”
Namun, ada kekhawatiran di antara beberapa anggota kelompok Telegram yang berisi 100.000 orang ini bahwa deportasi ke Suriah dapat digunakan sebagai hukuman jika para pengungsi tertangkap ketika mencoba menyeberang ke Yunani.
Taha Elghazi, seorang aktivis pengungsi Suriah terkemuka di Turki, mengatakan dia memahami kekhawatiran di antara warga Suriah yang tinggal di negara itu tentang rasisme dan kesengsaraan ekonomi, tetapi memperingatkan bahwa konvoi tersebut kemungkinan akan gagal dalam tujuannya.
Tindakan keras otoritas Turki di sepanjang perbatasan dengan Yunani, serta langkah-langkah Uni Eropa baru-baru ini untuk memperketat keamanan, “Kemungkinan besar akan ada perlakuan brutal terhadap pengungsi dalam perjalanan ini, pendekatannya tidak jelas. Ini dapat membahayakan mereka”, katanya.
Para pemimpin konvoi telah mendesak PBB untuk mengambil tindakan untuk melindungi pengungsi Suriah dari semua bentuk pelecehan fisik, psikologis dan politik, dan meminta Uni Eropa membuka pintu mereka untuk konvoi ini atau menemukan solusi segera.
Yuko Narushima, juru bicara UNHCR, badan pengungsi PBB, mengatakan kepada The Guardian: “Kami prihatin dengan keselamatan dan kesejahteraan mereka yang memutuskan untuk mengambil bagian dalam gerakan ini, yang — berdasarkan pengalaman sebelumnya dengan gerakan terorganisir serupa di sekitar dunia — mungkin akan berisiko dan berbahaya.”(ZarahAmala/Arrahmah.id)