BANGLADESH (Arrahmah.id) — Pihak berwenang melaporkan, seorang anak laki-laki Rohingya tewas akibat tembakan mortir yang dilepaskan dari Myanmar ke kamp pengungsi di Bangladesh pada Jumat (16/9/2022).
Serangan tersebut merenggut nyawa seorang remaja berusia 15 tahun. Insiden itu turut mencederai sedikitnya enam orang. Pemerintah Bangladesh berencana mengajukan protes keras kepada Myanmar.
Penembakan tersebut menghantam tanah tak bertuan di sepanjang perbatasan Myanmar-Bangladesh. Komunitas lokal mengenalnya sebagai Titik Nol atau Zero Point. Hingga 4.000 orang Rohingya diperkirakan tinggal di lokasi itu.
“Kami hidup di sini dalam ketakutan terus-menerus. Kapan saja bencana apa pun bisa terjadi,” terang pemimpin kamp Rohingya di Titik Nol, Dil Mohammed, dikutip dari Reuters (17/9).
Kekerasan kembali melanda wilayah perbatasan baru-baru ini. Akibatnya, pemerintah Bangladesh pun telah memanggil Utusan Myanmar di Dhaka hingga tiga kali dalam beberapa pekan terakhir.
“[Bangladesh mengungkap] keprihatinan mendalam atas jatuhnya mortir di dalam wilayah Bangladesh, tembakan udara tanpa pandang bulu dari Myanmar di daerah perbatasan, dan pelanggaran wilayah udara dari Myanmar,” tulis pernyataan pemerintah Bangladesh.
Myanmar meluncurkan tindakan keras untuk memberantas Pasukan Arakan pada 2017. Kelompok bersenjata itu memperjuangkan penentuan nasib sendiri bagi etnis minoritas di Rakhine. Kelompok etnis Rohingya terperangkap dalam baku tembak tersebut.
PBB mengatakan, Myanmar melakukannya dengan niat genosida terhadap etnis Rohingya. Sehingga, Myanmar akhirnya menghadapi tuduhan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ).
Myanmar membantah segala tudingan-tudingan itu. Pihaknya mengaku hanya melancarkan kampanye militer sah terhadap gerilyawan yang menyerang pos-pos polisi di Rakhine.
“Rohingya melarikan diri dari pembunuhan massal, pemerkosaan dan pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis di Myanmar,” jelas LSM Save the Children pada 24 Agustus.
Operasi militer itu telah memaksa lebih dari 740.000 orang Rohingya meninggalkan Myanmar. Sebagian pengungsi mencari perlindungan di kamp-kamp yang tersebar di wilayah selatan Bangladesh. Lebih dari satu juta pengungsi kini menetap di negara tersebut.
Mereka mendapati kondisi hidup yang tidak layak di kamp-kamp pengungsi. Mayoritas pengungsi pun ditolak otoritas ketika meminta hak-hak seperti kewarganegaraan Bangladesh.
“Dua pertiga (66 persen) dari anak-anak yang disurvei dan hampir semua orang tua dan pengasuh (87 persen) mengatakan mereka tidak merasa lebih aman sekarang daripada ketika mereka baru tiba,” terang Save the Children.
“Temuan ini menunjukkan bahwa upaya komunitas internasional, meskipun signifikan, tidak memenuhi apa yang dibutuhkan untuk merespons kebutuhan pengungsi Rohingya secara memadai,” lanjutnya.
Bangladesh dan Myanmar meluncurkan skema repatriasi tiga bulan usai kampanye militer pada 2017. Namun, para pengungsi menolak untuk kembali lantaran takut akan penganiayaan. Mereka meminta jaminan keselamatan, hak kewarganegaraan, dan mata pencaharian.
Prospek pemulangan tersebut kembali mengadang kesulitan akibat kudeta militer Myanmar pada 2021. Rakhine juga telah menyaksikan eskalasi antara kelompok bersenjata dan militer Myanmar.
Sementara itu, pemerintah Bangladesh bersikap semakin tidak ramah terhadap pengungsi Rohingya. Sebab, negara itu tengah terhuyung-huyung oleh situasi ekonomi yang memburuk.
Otoritas bahkan mulai mendirikan pagar kawat berduri di sekitar kamp untuk membatasi pergerakan pengungsi. Mereka masih dilarang menerima pendidikan formal dan pekerjaan.
Warga juga melaporkan bahwa pelecehan, pemerasan, dan ancaman penahanan sudah menjadi hal biasa di kamp-kamp pengungsi.
“Bangladesh mengatakan bahwa mereka telah melakukan lebih dari cukup,” ujar seorang pengungsi di kamp Balukhali, Azra Khatun, dikutip dari Al Jazeera.
“Sudah waktunya bagi PBB dan komunitas global untuk menilai situasi dan mencoba menyelesaikan masalah segera,” tambahnya.. (hanoum/arrahmah.id)