XINJIANG (Arrahmah.id) – Seorang ayah dan anak Muslim Uighur yang tinggal di provinsi Xinjiang, Cina barat laut, harus menjalani hukuman penjara karena secara ilegal mempelajari agama Islam di rumah, kata seorang Uighur yang mengetahui situasi tersebut.
Memet Musa, seorang ulama berusia 50 tahun yang berasal dari desa Lenger, Kabupaten Keriye di prefektur Hotan, dan putranya Osman Memet yang berusia 20 tahun, dijatuhi hukuman penjara pada tahun 2018 karena ayahnya mengajarkan Al-Qur’an kepada putranya, kata sumber yang berasal dari Keriye, yang kini tinggal di pengasingan.
Musa dikenal karena kehati-hatiannya di depan umum dan tidak melewati batas yang dibuat oleh otoritas Cina dalam hal agama, kata sumber itu. Ketika Musa diminta oleh orang lain untuk mengajar Al-Qur’an, dia dengan sopan menolak dengan mengatakan bahwa dia adalah seorang guru yang buruk.
Tetapi dia mengajari putranya Al-Qur’an dan ajaran dasar Islam untuk memenuhi apa yang dia pandang sebagai perannya sebagai seorang ayah, kata orang Uighur di pengasingan, yang menolak disebutkan namanya karena takut akan pembalasan oleh pemerintah Cina.
Polisi Cina pada 2017 menangkap Osman karena membacakan surah, atau bagian dari Al-Qur’an di beberapa pemakaman di komunitas tersebut, kata sumber itu.
Selama interogasinya, Osman mengatakan kepada polisi bahwa ketika dia masih kecil, dia belajar membaca Al Qur’an dari ayahnya dan bukan dari orang yang dianggap oleh pihak berwenang sebagai tersangka, kata orang Uighur di pengasingan. Tapi polisi masih menganggap ajaran itu sebagai kejahatan, imbuhnya.
Pihak berwenang Cina telah menghukum sejumlah besar Muslim Uighur dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang selama lima tahun terakhir karena mengajarkan agama Islam di lingkup keluarga dan belajar dari tokoh agama setempat, yang dianggap “ilegal” oleh Otoritas Cina.
Otoritas kemudian memenjarakan mereka di kamp interniran, atau biasa disebut kamp “pendidikan ulang”, menurut dokumen pemerintah Cina yang bocor dan laporan tentang mantan tahanan dari berbagai negara.
Pihak berwenang juga telah menangkap dan memenjarakan pemuda Uighur lainnya karena menerima instruksi agama dari orang tua atau kakek-nenek mereka, menurut dokumen di File Polisi Xinjiang, yang pertama kali diterbitkan oleh Victims of Communism Memorial Foundation yang berbasis di Washington pada 24 Mei lalu.
File-file itu berisi informasi tentang orang Uighur yang ditahan di Xinjiang, meskipun Musa dan putranya tidak disebutkan dalam dokumen tersebut.
Pejabat pemerintah Cina di Keriye menolak menjawab pertanyaan RFA tentang pemenjaraan Memet Musa dan putranya.
Tetapi petugas di kantor polisi desa Lenger mengkonfirmasi informasi yang diberikan oleh sumber Uighur ketika dihubungi oleh RFA.
Seorang petugas mengatakan Musa sebagai salah satu tokoh agama yang ditangkap dari desa itu. Ia juga menambahkan bahwa dia dijatuhi hukuman bersama putranya.
“Saya mendengar tentang kasusnya [Musa] ketika kepala kantor polisi kami membicarakannya, tetapi saya tidak terlibat langsung di dalamnya,” kata petugas itu, dilansir RFA pada Kamis (8/9/2022).
Petugas kedua mengatakan Musa, yang memiliki tiga anak, pernah menjabat sebagai imam di masjid desa dan telah dijatuhi hukuman 10 tahun penjara, sementara putranya dijatuhi hukuman enam tahun penjara.
“Kejahatannya adalah dakwah ilegal,” kata polisi itu.
“Kejahatan putranya adalah belajar ilmu agama dari ayahnya,” katanya.
Baik Musa maupun Osman menjalani hukuman penjara mereka di sebuah penjara di Keriye, kata polisi itu.
Kriminalisasi pengajaran agama berbasis keluarga telah terjadi di Xinjiang sejak 2017, kata orang Uighur di pengasingan.
Tahun itu adalah ketika pihak berwenang Cina mulai secara sewenang-wenang menahan orang-orang Uighur dan orang-orang Muslim lainnya di jaringan luas ratusan kamp interniran dengan dalih memberikan pendidikan kejuruan untuk mencegah ekstremisme agama dan terorisme di wilayah tersebut.
Diyakini bahwa pihak berwenang telah menahan hingga 1,8 juta orang Uighur dan lainnya yang dituduh menyembunyikan pandangan “agama yang kuat” dan “tidak benar secara politis” di kamp-kamp tersebut.
Ada bukti yang dapat dipercaya bahwa beberapa tahanan telah menjadi sasaran kerja paksa, penyiksaan, kekerasan seksual, dan sterilisasi paksa dan aborsi. Pihak berwenang juga telah melakukan upaya untuk memberantas bahasa, budaya dan agama yang dianut etnis Uighur, yang mayoritas beragama Islam. (rafa/arrahmah.id)