JENEWA (Arrahmah.id) — Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan Cina menghancurkan beragam situs Islam etnis Uighur di Xinjiang mulai dari masjid hingga kuburan umat Muslim.
Xinjiang merupakan wilayah otonomi di barat daya Cina yang menjari rumah bagi setidaknya 10 juta etnis Muslim Uighur dan minoritas lainnya yang selama ini diduga menjadi target persekusi pemerintahan Presiden Xi Jinping.
Dalam laporan terbaru berjudul “Penilaian HAM PBB tentang Hak Asasi Manusia di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR) Cina”, Komisi Tinggi HAM PBB atau OHCHR menyimpulkan ada pelanggaran HAM serius yang dilakukan Cina terhadap etnis Uighur dan minoritas lainnya di Xinjiang.
Berbagai pelanggaran itu terdiri dari penahanan sewenang-wenang, pembatasan reproduksi dan praktik keagamaan, hingga menghancurkan situs umat Muslim.
“Di samping meningkatnya pembatasan ekspresi praktik keagamaan Muslim adalah laporan berulang soal penghancuran situs keagamaan Islam, seperti masjid, tempat suci dan kuburan, terutama selama masa kampanye ‘Strike Hard’,” demikian bunyi laporan komisi tersebut yang dirilis pada Rabu (31/8/2022), lansir CNN.
Strike Hard adalah kebijakan Cina yang memperketat pengawasan terhadap Muslim Uighur di Xinjiang.
Komisi Tinggi HAM PBB menuturkan sekitar 20.000 dari 35.000 masjid di seluruh Cina berada di Xinjiang. Namun, banyak dari tempat ibadah itu telah dihancurkan pihak berwenang.
Kesimpulan itu didapat dari membandingkan hasil kunjungan tim khusus komisi ke Xinjiang dengan investigasi salah satu jurnalis dan citra satelit.
Namun, pemerintah Cina secara konsisten membantah tuduhan penghapusan atau perusakan situs keagamaan yang tak semestinya. Mereka justru mengatakan bahwa masjid-masjid dalam keadaan rusak dan sedang dibangun kembali untuk alasan keamanan.
Pemerintah juga mengklaim penguburan dan adat pemakaman dilindungi.
Selain itu, mereka menyatakan orang-orang dari kelompok etnis yang berbeda di beberapa tempat telah merelokasi kuburan atas kehendak mereka sendiri.
Analisis citra satelit menunjukkan bahwa banyak situs keagamaan tampaknya telah dihancurkan atau diubah. Salah satu contohnya adalah transformasi Kuil Imam Asim yang terletak di Xinjiang selatan.
Lokasi ini, termasuk makam imam, dan masjid, sebelumnya merupakan situs ziarah bagi etnis Uighur dan komunitas Muslim lain.
Pada Maret 2012 lalu, berdasarkan hasil citra satelit, tampak bangunan seperti kuil. Kemudian pada Desember 2017, bangunan terlihat hancur. Lalu pada Juni 2020, sisa-sisa bangunan tak terlihat lagi.
“Citra satelit Google Earth pada Desember 2017 hingga Juni 2020 menunjukkan kuil dihancurkan dan kuburan dulunya dikelilingi bendera peziarah, telah terhapus,” bunyi laporan OHCHR.
OHCHR sejauh ini tak bisa mencapai kesimpulan tegas sejauh mana penghancuran situs-situs keagamaan Muslim di Xinjiang. Komisi PBB itu beralasan mereka tidak mendapat akses dari pemerintah Cina untuk melakukan investigasi langsung ke lokasi.
Meski demikian, OHCHR tetap menegaskan bahwa laporan-laporan tersebut tetap sangat memprihatinkan.
Selain itu, Komisi Tinggi HAM PBB juga mengonfirmasi bahwa tuduhan penyiksaan terhadap warga di Xinjiang adalah kredibel. Mereka juga menyinggung soal kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan, demikian dikutip AFP.
Cina terus menjadi sorotan pelanggaran HAM setelah pada 2018 sejumlah organisasi pemerhati HAM internasional mengungkap laporan penahanan sewenang-wenang jutaan etnis Uighur di Xinjiang.
Selain penahanan, Cina juga diduga menerapkan kerja paksa massal terhadap etnis Uighur di kamp-kamp penahanan di Xinjiang.
Namun selama ini, Cina bersikeras membantah semua tuduhan pelanggaran HAM itu. Beijing berdalih bahwa mereka bukan menahan, tapi memasukkan orang-orang Uighur ke kamp-kamp pelatihan pendidikan vokasi.
Hal itu dilakukan Cina dengan alasan meredam ancaman radikalisme dan ekstremisme di kalangan kaum Uighur.
Merespons laporan terbaru PBB, Duta Besar Cina untuk PBB di New York, Zhang Jun, mengatakan negaranya telah berulang kali menyuarakan penentangan terhadap tuduhan tersebut.
Zhang mengatakan Bachellet seharusnya tidak ikut campur dalam urusan internal Cina.
“Kita semua tahu, dengan sangat baik, bahwa apa yang disebut masalah Xinjiang adalah kebohongan yang sepenuhnya dibuat-buat dari motivasi politik dan tujuannya jelas adalah untuk merusak stabilitas Cina dan untuk menghalangi pembangunan Cina,” kata Zhang kepada wartawan pada hari Rabu.
“Kami tidak berpikir itu akan menghasilkan kebaikan bagi siapa pun, tiu hanya merusak kerja sama antara PBB da negara anggota,” katanya.
Cina bahkan dilaporkan berulang kali berupaya membuat Bachelet dan timnya tidak mengungkap laporan terbaru ini. (hanoum/arrahmah.id)