Jakarta (Arrahmah.com) – Sebuah tulisan tentang pengumumam Idul Fitri 1432 Hijriyyah di Saudi Arabia yang dimuat di blog kompas (Kompasiana) edisi Kamis, 1 September 2011 M, cukup menggelitik perhatian sebagian pembaca. Seorang penulis dengan memakai inisial ‘Jiddan’ menurunkan judul seru, ‘Saudi Arabia: 1 Syawal Adalah Rabu 31 Agustus 2011‘. Seperti judulnya, isi tulisan itu juga mengagetkan. Berikut petikannya.“Pengumuman mengejutkan dari badan astronomi setempat yang sebelumnya memberi kabar kepada pemerintah Saudi bahwa mereka telah melihat hilal sehingga kemudian pemerintah memutuskan Idul Fitri jatuh pada Selasa 30 Agustus 2011, namun ternyata kemungkinan yang dilihat pada tanggal 29 Agustus tersebut bukanlah bulan tapi benda angkasa lain yang kemudian diyakini sebuah fenomena planet Saturnus yang beberapa tahun yang lalupun pernah terjadi fenomena semacam itu yaitu fenomena merkurius.”
“Kesalahanfahaman atas sebuah keputusan1 syawal kemarin dimungkinkan karena pemerintah mengacu dari berita yang disampaikan badan astronomi yang ditunjuk untuk mengamati hilal awal bulan syawal, dan kenyataanya yang mereka lihat bukanlah hilal tapi benda angkasa lain yang diperkirakan adalah planet saturnus dan kesalahan ini kabarnya telah diumumkan baik via media cetak maupun elektronik , pemerintah Saudi sendiri konon telah membayar kafarat untuk masalah ini kurang lebih sebesar 1 milyar real.”
Tulisan itu menyertakan dua buah foto yang diambil dari sebuah blog di Saudi, Emiliat, untuk meyakinkan kebenaran isi tulisannya. Hari raya Idul Fitri 1432 H di Indonesia dan Arab Saudi serta seluruh bagian dunia lainnya bagaimanapun juga telah berlalu, baik kaum muslimin merayakannya pada hari Selasa (30 Agustus) maupun Rabu (31 Agustus). Dengan begitu, perdebatan apapun setelah itu tidak akan merubah kenyataan yang telah terjadi. Dari aspek ini, perdebatan seputar penetapan 1 Syawal 1432 H tidak banyak manfaatnya.
Hanya saja di sini kita hendak menguji kejujuran dan obyektifitas berita yang ditulis dalam Kompasiana di atas. Ada beberapa hal penting yang perlu diketahui oleh para pembaca sehubungan dengan berita dalam tulisan di Kompasiana tersebut:
Pertama, Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah (2): 185) dan hadits-hadits shahih menegaskan bahwa dasar penetapan awal dan akhir shaum Ramadhan adalah ru’yatul hilal (melihat bulan sabit), bukan perhitungan ilmu hisab (ilmu falak atau astronomi). Dalam hal ini, pemerintah Arab Saudi melalui mentri urusan wakaf, dakwah, dan irsyad dan majelis ulama senior telah melakukan ru’yatul hilal pada hari Senin, 29 Agustus, di berbagai tepat di wilayah Saudi. Pada hari yang sama, para pakar falak (astronomi) Saudi juga melakukan ru’yah hilal.
Hasilnya, hilal terlihat oleh para saksi mata yaitu para ulama (dosen/ulama dari berbagai universitas Islam, ulama utusan Departemen urusan wakaf, anggota Majelis ulama senior, dan utusan masyarakat) dan beberapa lembaga astronomi (jam’iyah falakiyah) di daerah pengamatan hilal di Arab Saudi wilayah Tengah. Para saksi lalu memberikan kesaksian dan disumpah di beberapa mahkamah syari’ah (pengadilan agama). Berdasar keterangan para saksi yang telah memenuhi syarat tersebut, maka departemen urusan wakaf, dakwah, dan irsyad menetapkan hari Idul Fitri 1432 H jatuh pada hari Selasa, 30 Agustus 2011.
Kedua, ada satu badan astronomi di Arab Saudi yang membuat pernyataan pada hari Selasa, 30 Agustus, bahwa hari idul fithri jatuh pada hari Rabu, 31 Agustus. Alasannya, menurut perhitungan ilmu falak yang cermat, hilal (bulan sabit) tidak mungkin bisa dilihat karena tidak memenuhi syarat. Badan astronomi tersebut adalah Jam’iyah Falakiyah Jedah yang diketuai oleh Ir. Majid Abu Zahirah. Pernyataannya dimuat oleh blog Emiliat dan situs islamtoday.net, lalu dikutip secara sepotong-sepotong oleh penulis ‘Jiddan’ di blog Kompasiana di atas. Badan astronomi Jedah menyatakan bahwa hilal tidak mungkin bisa dilihat dengan mata telanjang kecuali apabila memenuhi empat syarat:
- Umurnya saat tenggelam minimal 14 jam.
- Jaraknya dari matahari minimal 8 derajat di langit.
- Bulan terbenam lebih lambat dari terbenamnya matahari minimal 29 menit.
- Besarnya permukaan bulan yang bersinar minimal 1 derajat.
Badan astronomi Jedah menegaskan bahwa beberapa teleskop dan tempat pengamatan benda langit tidak bisa melihat bulan pada hari Senin petang tersebut. Maka badan astronomi Jedah menyimpulkan, apa yang dilihat oleh para saksi (ulama dan lembaga astronomi lainnya) tersebut bukanlah bulan sabit, melainkan planet Saturnus.
Kesimpulan badan astronomi Jedah tersebut bukanlah kesimpulan seluruh badan astronomi di Saudi. Sebab, terbukti badan-badan astronomi lainnya mampu melihat hilal dari Arab Saudi bagian tengah. Hal mana juga dikuatkan oleh para saksi mata dari kalangan ulama dan mayarakat. Ketidak mampuan badan astronomi Jedah yang tidak mampu melihat hilal di Saudi bagian barat bukanlah alasan yang kuat dan sah untuk menolak kesaksian seluruh badan astronomi lainnya yang melihat hilal di Saudi bagian tengah. Maka di sini berlaku kaedah syariat, al-itsbat muuqaddam ‘ala an-nafyi, penetapan didahulukan atas peniadaan. Orang yang tidak melihat hilal tidaklah bisa membatalkan kesaksian orang-orang lain yang bisa melihat hilal.
Ketiga, pendapat dan pengamatan badan astronomi Jedah tersebut telah bertolak belakang dengan hasil pengamatan badan-badan astronomi lainnya di Saudi. Artikel di blog Emiliat bukan saja memuat pernyataan resmi badan astronomi Jedah yang mengklaim hilal mustahil dilihat pada Senin petang. Di akhir artikel tersebut, blog Emiliat juga mengutip pernyataan seorang ulama besar Saudi, syaikh Nabil Al-Iwadhi; “Apa yang dikatakan tentang kesalahan hari raya iid itu tidak lain hanyalah perdebatan ilmiah di antara para pakar ilmu falak (astronom). Kesaksian para saksi yang adil bahwa mereka telah melihat hilal sudah merupakan bukti bagi kita atas kebenaran berbuka puasa (hari iid) kita, sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Berpuasalah kalian karena kalian telah melihatnya dan berbukalah kalian karena kalian telah melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sayangnya, untuk ‘tujuan tertentu’, tulisan syaikh Nabil Al-Iwadhi tersebut tidak disebutkan sama sekali dalam tulisan di Kompasiana di atas.
Keempat, Banyak pakar astronomi dan badan astronomi yang menegaskan hilal Syawal 1432 H sangat mungkin terlihat berdasar perhitungan ilmu falak (astronomi) yang cermat. Seorang pakar astronomi Saudi, Khalid Az-Zu’aq, mengkritik pernyataan aneh badan astronomi Jedah tersebut. Di laman alarabiya.net, edisi Rabu 31 Agustus, ia menulis: “Negara Saudi memiliki kalender resmi yang disusun oleh para ulama syariat dan para pakar astronomi. Kalender resmi itu diakui bersama. Kenapa baru sekarang meributkan (hal ini)? Hasil apa yang bisa dipetik dari keributan ini? Kenapa harus membingungkan kaum muslimin?”
Betul. Kalender Saudi disusun sebagai hasil kerjasama para ulama dan pakar astronomi. Dari awal Januari sampai pertengahan Agustus tidak ada satu protes dan kritikan pun terhadapnya, lantas Padahal dalam kalender juga telah ditulis perkiraan awal Ramadhan dan awal Syawal. Kenapa kini tiba-tiba badan astronomi Jedah menggugatnya? Khusus berkenaan dengan hilal Syawal? Kenapa tidak mengkritik perhitungan kalender tersebut sejak awal tahun kalau memang kalender itu keliru? Kenapa badan-badan astronomi propinsi lainnya tidak mengkritiknya?
Kaum muslimin di Saudi tentu saja lebih memegangi pengumuman resmi departemen wakaf, dakwah, dan irsyad yang menyatakan hilal terlihat pada Senin petang sehingga hari Selasa adalah hari idul fithri. Sebab, kaum muslimin di sana mengenal kaedah syariat: qaulul imam yarfa’ul khilaf, yaitu pendapat pemimpin meniadakan perbedaan pendapat. Pakar astronomi Saudi, Khalid Az-Zu’aq menambahkan, “Setelah adanya ru’yah yang benar sesuai syariah dan syarat-syarat telah terpenuhi pada diri saksi, maka tidak ada tempat lagi untuk meributkan hal ini.”
Kelima, perhitungan cermat para pakar astronomi, walau bagaimanapun bersifat subyektif. Ada peluang terjadinya perbedaan perhitungan di antara sesama pakar astronomi sendiri. Contoh nyata, jika badan astronomi Jedah menyatakan secara ilmu astronomi hilal Syawal 1432 H tidak mungkin terlihat. Bukankah pakar dan badan astronomi lainnya menyatakan sebaliknya? Ormas Islam Muhammadiyah di Indonesia menetapkan 1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Selasa juga berdasar ilmu hisab.
Prof. Dr. Sofjan Siregar, MA dari De Nederlandse Raad voor Ifta (Dewan Fatwa Negeri Belanda),sebagaimana ditulis oleh detik.com edisi Selasa, 30 Agustus mengatakan: “”Memperhatikan ketelitian perhitungan astronomi saat ini, kita dapat mengetahui dengan eksak mengenai kapan konjungsi geosentris terjadi dan kapan eksistensi hilal,” terang Sofjan. Konjungsi ini, Senin (29 Ramadan 1432 H) atau 29/8/2011 terjadi di pagi hari. Jadi ada peluang besar untuk melihat hilal pada tempat-tempat berbeda di seluruh dunia. Misalnya di Indonesia, ketinggian hilal kira-kira 2 derajat di atas ufuk (horizon). Itu berarti bahwa di negara-negara sebelah Barat Indonesia posisi hilal lebih besar.
Jadi, secara ilmu astronomi pun, sangat mungkin sekali hilal terlihat di Indonesia. Apalagi di Arab Saudi yang berada ribuan kilometer di sebelah barat Indonesia.
Keenam, dasar beragama kaum muslimin adalah Al-Qur’an dan hadits shahih. Penetapan awal Ramadhan dan awal Syawal adalah masalah ibadah, yang dasarnya bukan perhitungan ilmu astronomi (ilmu falak atau hisab). Dasar penetapannya adalah ru’yah hilal. Ketika terjadi perbedaan pendapat, maka solusinya dikembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah (hadits shahih), bukan kepada ahli/badan astronomi.
Jika ada para saksi mata yang bersaksi dan bersumpah di hadapan para ulama bahwa mereka telah melihat hilal. Lalu ada orang-orang (badan astronomi atau astronom atau siapa pun orangnya) menyatakan mereka tidak melihat hilal. Pendapat manakah yang diambil? Bertanyalah kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Maka Al-Qur’an menjawab, “Barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan, maka hendaklah ia berpuasa…” (QS. Al-Baqarah (2): 185)
Maka hadits Nabi SAW memberi panduan:
Dari Ibnu Abbas RA bahwasanya ada seorang Arab badui datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Sesungguhnya aku telah melihat hilal.” Nabi SAW bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah?” Ia menjawab, “Ya.” Nabi SAW bertanya lagi, “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Maka Nabi SAW bersabda, “Wahai Bilal, umumkanlah kepada masyarakat bahwa mereka harus berpuasa besok hari.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah. Dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Lihatlah! Seorang Arab badui bersaksi meihat hilal, setelah diklarifikasi dan terbukti ia seorang muslim yang berakal sehat, telah baligh, dan shalih tidak fasik, maka Nabi SAW menerima kesaksiannya.
Dari sini imam Abu Tsaur dan Ibnu Hazm Azh-Zhahiri menyatakan kesaksian seorang saksi yang beragama Islam, berakal sehat, berusia baligh dan shalih tidak fasik sudah sah untuk menetapkan awal Ramadhan dan awal Syawal.
Adapun mayoritas ulama termasuk imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad menyatakan khusus untuk penetapan awal Syawal harus minimal dua saksi yang muslim, berakal sehat, usia baligh, dan shalih, serta adil. Berdasar hadits dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) maka berpuasalah kalian, dan jika kalian melihat hilal (Syawwal) maka berbukalah! Dan jika hilal tertutup oleh awan, maka sempurnakanlah bilangan (Sya’ban atau Ramadhan) tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Al-Qur’an dan As-sunnah sudah jelaslah sikap yang harus diambil oleh kaum muslimin. Banyak saksi mata dari kalangan ulama, pakar astronomi, dan masyarakat yang melihat dengan mata kepala mereka hilal Syawal pada hari Senin petang di Arab Saudi bagian tengah. Mereka bersaksi dan kesaksian mereka diterima oleh departemen wakaf, dakwah, dan irsyad; mahkamah syari’ah, dan haiah kibaril ulama (majelis ulama senior). Maka kesaksian mereka diterima dan pengumuman resmi lembaga-lembaga resmi Saudi juga diterima oleh kaum muslimin.
Dengan contoh nyata dari Nabi SAW dalam hadits di atas, maka jelas bahwa kesaksian para saksi muslim yang berakal sehat, baligh, dan shalih tidak fasiq tersebut wajib diterima. Setelah itu tidak ada ruang lagi untuk berdebat dan melemparkan tuduhan-tuduhan.
Ketujuh, cerita yang berdasar ‘konon’ bahwa pemerintah Saudi membayar kafarat sebesar 1 milyar real atas ‘kesalahan’ penetapan 1 Syawal 1432 H. Syariat Islam memerintahkan umatnya (QS. Al-Hujurat : 6) untuk melakukan klarifikasi sebelum menerima atau menolak berita yang dibawa oleh orang yang tidak jelas. Hadits shahih juga melarang kita menerima berita yang berdasar qiila wa qaala (konon katanya). Bila kita mengikuti berita di berbagai media massa di Saudi, maka bisa dipastikan cerita ‘konon’ versi Kompasiana di atas seratus persen bohong. Bukan saja pemerintah Saudi tidak membayar kafarah 1 miliar real, bahkan pernyataan resmi lembaga-lembaga resmi Saudi menolak pernyataan badan astronomi Jedah.
Mufti Kerajaan Saudi Arabia, syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh dalam tulisannya di Koran Al-Madenah menegaskan: “Sesungguhnya orang-orang yang membuat keragu-raguan tentang kebenaran telah masuknya Idul fithri adalah para pendusta dan pembuat kebohongan atas sunnah Al-Mushtafa (Nabi Muhammad) SAW.” Ia juga menegaskan kekeliruan klaim badan astronomi Jedah dengan mengatakan, “Sesungguhnya perkataan ini dengan sifat seperti ini menyelisihi hukum Allah dan hukum Rasul-Nya yang mulia yang mengajak untuk melakukan shaum bulan Ramadhan yang penuh berkah karena melihat hilal dan berbuka juga karena melihat hilal. Sesungguhnya penetapan telah masuknya idul fithri sudah berdasarkan kesaksian para saksi yang adil (shalih tidak fasik) yang tsiqah (terpercaya) yang telah melihat hilal secara langsung.“
Syaikh Abdullah Al-Mani’, anggota haiah kibaril Ulama Saudi, menegaskan sebagaimana dilansir oleh islamtoday.net, Kamis 1 September 2011, “Jika dua orang saksi yang adil telah datang kepada kita memberi kesaksian bahwa keduanya telah melihat hilal pada hari Senin petang tanggal 29 Ramadhan, maka wajib bagi kita menerima kesaksian keduanya dan mengamalkannya. Karena dua perhitungan telah bersepakat atas kebenaran melihat hilal, yaitu perhitungan falak (astronomi) dan tata cara syariah.” Ia juga menambahkan, “Pendapat yang menyatakan bahwa hilal tidak mungkin bisa dilihat tidak bisa dianggap (dipertimbangkan), karena hal itu berarti membatasi kekuasaan Allah dan karunia-Nya kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya dengan kekuatan pandangan mata.”
Kedelapan, klaim badan astronomi Jedah bahwa apa yang dilihat oleh saksi mata adalah planet saturnus bukan bulan adalah klaim yang menggelikan. Mungkin lelucon ini akan diterima oleh para pemirsa lawak. Namun bagaimana dengan para ulama dan pakar astronomi yang telah berpengalaman puluhan tahun dalam bidang ru’yatul hilal? Apakah mereka tetap tidak bisa membedakan antara bulan dan planet saturnus? Bagaimana pihak yang tidak ada di tempat dan tidak menyaksikan benda yang dilihat oleh pihak-pihak lain dan di tempat lain bisa melakukan lawakan konyol seperti itu?
Cukuplah kita kutip di sini pernyataan Dr. Hasan Bashirah, ketua bidang astronomi Universitas King Abdul Aziz Jedah, yang dimuat oleh alarabiya.net, “Adapun orang-orang yang mengawasi hilal dari kalangan para spesialis yang telah berpengalaman luas, maka mereka memiliki kemampuan handal dalam membedakan antara bulan sabit dengan bulan dan bintang-bintang lainnya. Jarang sekali mereka mengalami kegoncangan atau pencampur adukan.”
Kaum muslimin dan para pembaca budiman…
Inilah beberapa hal yang layak kita cermati dari tulisan saudara Jiddan di Kompasiana di atas. Nampak jelas bahwa tulisan itu tendensius, tidak obyektif, manipulatif, dan —maaf-maaf— memuat kebohongan besar.
Apapun yang terjadi, hari idul Fitri sudah dirayakan di seluruh dunia. Kita semua, kaum muslimin, hari-hari ini masih dalam suasana gembira idul fitri. Di Indonesia sendiri, ormas Islam Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1432 H jatuh para hari Selasa berdasar ilmu hisab (astronomi). Selain itu, lebih dari sepuluh orang saksi mata dari lajnah falakiyah MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) wilayah Jakarta dan FPI Pusat (Front Pembela Islam) telah melihat hilal pada Senin petang di pantai Cakung. Laporan hilal juga terlihat di Jepara. Para saksi dari tempat pengamatan hilal di Cakung telah disumpah di hadapan para ulama dan Depag. Namun Depag akhirnya menolak kesaksian mereka. Apakah karena wakil resmi pemerintah tersebut khawatir dianggap ‘membebek’ kepada organisasi Islam ‘garis keras’? Wallahu a’lam.
Hal yang pasti, sepuluh orang saksi yang muslim, berakal sehat, berusia baligh, tsiqah (bisa dipercaya) dan adil (shalih tidak fasik) sudah lebih dari cukup untuk menetapkan bahwa 1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Selasa. Apalagi, hilal pada hari Senin petang juga terlihat di berbagai negara lain, dan perhitungan ilmu astronomi para pakar di berbagai negara juga mendukungnya. Tidak ada alasan untuk meragukan fakta itu.
Selamat hari raya idul fithri 1432 H, taqabballallahu minna wa minkum, mohon maaf lahir dan batin atas segala kesalahan kami kepada Anda dan segenap kaum muslimin lainnya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Muhib al-Majdi/Arrahmah.com)