Oleh: Dian Puspita Sari
Member AMK
Beberapa tahun terakhir ini, kita dibuat prihatin dengan semakin maraknya angka bunuh diri di kalangan pelajar. Bunuh diri merupakan ekspresi putus asa manusia atas persoalan hidup yang mereka hadapi.
Keputusasaan mereka disebabkan banyak faktor. Dari masalah ekonomi, putus cinta, gagal lolos masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN), hingga sebab-sebab lainnya.
Seperti yang menimpa seorang siswi. Dia dikabarkan bunuh diri karena gagal lolos di PTN idamannya. Sebut saja namanya Dena. Dia meninggal dunia akibat menenggak alkohol dan over dosis obat yang diberikan oleh psikiater.
Berawal dari kiriman di akun Twitter @utbkfess. Sang pemilik akun menyampaikan bahwa adiknya yang saat itu sedang menunggu pengumuman kelulusan masuk perguruan tinggi, memiliki nazar jika ia benar diterima di PTN impiannya ia akan memberi santunan untuk anak yatim.
Sebaliknya, jika tidak diterima, ia juga memiliki nazar lain, yakni “suicide” (bunuh diri).
Si kakak mengetahui nazar itu. Dia sangat mengkhawatirkan hasil pengumuman yang menyatakan kegagalan adiknya untuk lolos masuk PTN. Dan benar saja, adiknya melaksanakan nazar tidak pada tempatnya tersebut. (www.hops.id, 13/7/2022)
Dua tahun sebelumnya, seorang mahasiswa berinisial BH juga ditemukan gantung diri. Berdasarkan keterangan polisi yang diperoleh dari kakak angkat BH, yang bersangkutan sempat berkeluh kesah soal kuliahnya selama 7 tahun yang tak kunjung selesai.
“Dia diajak ngomong baru nyambung. Katanya kuliah 7 tahun enggak lulus-lulus. Ngajukan skripsi ditolak terus sama dosennya. Sehingga dia diduga stres akhirnya bunuh diri,” tutur Kanit Reskrim Polsek Sungai Pinang, Iptu Fahrudi. (regional.kompas.com, 15/7/2020)
Kasus bunuh diri di kalangan pelajar dan mahasiswa ini ibarat gunung es. Hanya beberapa yang tampak di permukaan. Yang di bawah permukaan lebih banyak lagi.
Ada apa di balik maraknya bunuh diri pelajar?
Bunuh Diri Pelajar, Buah Pendidikan sekuler
Tak dipungkiri aturan hidup sekuler yang sudah kurang lebih seabad diterapkan di dunia, termasuk di negeri ini, ikut andil dalam membuat banyak orang mengakhiri hidupnya karena beratnya tekanan hidup yang mereka rasakan.
WHO Global Health Estimates 2017 mengeluarkan data bahwa kematian global tertinggi akibat bunuh diri di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah adalah pada umur 20 tahun.
Menurut Dr Indria Laksmi Gamayanti M.Si.,Psikolog, sekaligus Ketua Umum Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia, bunuh diri merupakan permasalahan yang tak bisa diabaikan. Pasalnya, masalah ini bagaikan fenomena gunung es – yang kelihatannya sedikit tapi sebenarnya angka kejadiannya tinggi.
“Bunuh diri perlu mendapatkan perhatian, sebab hal ini termasuk fenomena gunung es, di mana kejadian yang terlihat jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah kasus sebenarnya,” ujarnya.
Menurut Asosiasi Internasional untuk Pencegahan Bunuh Diri, setiap 40 detik, seseorang melakukan bunuh diri di seluruh dunia. Hal ini berarti sekitar 800.000 kejadian bunuh diri setiap tahunnya.
Menurut Kementerian Kesehatan RI, berdasarkan data Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza (P2MKJN) 2019, di Indonesia sendiri terdapat lebih dari 16.000 kasus bunuh diri setiap tahunnya.
Ini artinya, pada tahun tersebut, terdapat 2,6 kasus bunuh diri per 100.000 orang. Tingkat bunuh diri pria 3 kali lebih banyak dari wanita. (kompas.com, 12/9/2021)
Banyaknya kasus bunuh diri yang dilakukan kaum terpelajar membuktikan dua hal, yaitu:
– Pendidikan sekuler telah gagal membangun kepribadian kuat pada manusia, termasuk pelajar.
Bagaimana tidak gagal? Sekularisme adalah paham yang memisahkan dan menjauhkan manusia dari Rabb dan agama-Nya. Jika manusia terpisah dan jauh dari Rabb dan agama-Nya, jelas ia tidak akan memiliki kepribadian yang kuat.
- Aturan sekuler juga membangun peradaban masyarakat yang hidup dalam kondisi penuh dengan tekanan. Mereka sulit mendapatkan kebutuhan (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan), sulit untuk membayar (cicilan) utang menumpuk, sulit menerima kenyataan pahit dalam hidupnya, dan lain sebagainya.
Ujian hidup, seringan hingga seberat apapun kadarnya, adalah hal yang pasti diberikan Allah pada hamba-hamba-Nya. Allah menjamin, mereka mampu melaluinya jika memiliki keyakinan yang kuat kepada-Nya.
Sebaliknya, dalam kondisi hidup sekuler, bisa kita bayangkan jika banyak orang memiliki iman lemah dan rapuh, niscaya mereka pun goyah dalam menjalani ujian dari-Nya.
Sekularisme telah membunuh banyak harapan hidup umat manusia. Bunuh diri pun bisa jadi jalan pintas yang terlintas dalam pikiran buntu mereka.
Hal yang tak diinginkan ini tentu tidak akan terjadi apabila aturan yang diterapkan oleh negara akan membawa kemaslahatan pada hidup rakyatnya lahir dan batin. Dalam kondisi hidup mereka yang tenang dan tenteram, angka bunuh diri akan mampu diminimalisir bahkan nyaris dihilangkan.
Lantas, bagaimana pandangan Islam tentang hal ini?
Syariat Islam: Satu-satunya Harapan Umat Manusia
Kondisi hidup sekuler yang memprihatinkan ini berbanding terbalik dari aturan hidup Islam. Islam adalah agama yang bagi umatnya adalah jalan hidup sempurna. Islam, apabila diterapkan secara kafah, menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia, bahkan semesta alam.
Islam juga mengajarkan umatnya agar tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah, seberat dan seburuk apapun ujian hidup yang diberikan Allah pada manusia.
Manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di muka bumi, dengan berjuta harapan dalam hidupnya. Selama mereka masih hidup, harapan itu selalu ada. Sesulit apapun ujian hidup, pasti ada solusinya.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannnya..” (QS. Al-Baqarah: 286)
Diharamkan pula manusia dari berputus asa.
“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah’.” (QS. Az-Zumar: 53)
“...dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87)
Islam akan senantiasa:
– Membersamai umatnya dalam menjalankan tugasnya mengemban amanah kepemimpinan sebagai Khalifah di muka bumi.
– Menjadikan akidah Islam sebagai landasan kurikulum pendidikan.
– Menjadikan tujuan pembangunan kepribadian Islam sebagai inti dalam dunia pendidikan.
– Melahirkan generasi Rabbani yang memiliki karakter (kepribadian) yang kuat.
Mereka tidak mudah goyah menghadapi ujian hidup apapun. Keyakinan mereka pada Allah lah yang menguatkan mereka.
Apabila mereka diberikan Allah kesenangan, mereka bersyukur. Jika mereka diuji -Nya dengan kesedihan, mereka bersabar. Mereka selalu berharap pada pertolongan Allah.
– Menjamin akses pendidikan mudah terjangkau oleh seluruh komponen warga negara.
– Menghasilkan masyarakat yang hidup makmur dan sejahtera.
Konsep Islam yang sempurna ini mustahil terwujud tanpa dukungan penuh sistem (aturan hidup) Islam yang diterapkan secara kaffah oleh negara. Negara yang mau taat dan tunduk patuh kepada seruan Allah,
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)
Yang pasti, dengan Islam, manusia tak terkecuali remaja akan menjadi pribadi-pribadi berkarakter kuat yang tak mudah putus asa dalam menjalani kehidupannya di dunia. Tak pernah sedetik pun terlintas dalam benak mereka untuk mengakhiri hidupnya hanya karena ujian dari Allah.
Wallahu a’lam bishawwab.