Pemerintah Irak dan Iran menyatakan ketidaksenangannya atas tindakan militer AS yang menangkap sejumlah warga Iran, termasuk dua diplomatnya. Padahal dua di antara warga Iran yang ditangkap itu datang ke Irak atas undangan Presiden Jalal Talabani.
“Presiden sangat tidak senang. Dia sudah membicarakan persoalan ini dengan pihak AS,” kata Hiwa Othman, hubungan media Presiden Talabani.
Othman mengatakan, dua diplomat Iran itu datang ke Irak atas undangan Presiden Talabani sebagai bagian dari kerangka kerja kesepakatan antara Irak dan Iran untuk mengatasi situasi keamanan di Irak.
Di pihak lain, menurut keterangan seorang pejabat senior AS pada surat kabar New York Times, edisi Senin (25/12), militer AS menangkap sedikitnya empat warga negara Iran termasuk pejabat senior militer Iran. Mereka ditangkap dalam dua kali penyerbuan sepekan yang lalu, meski warga negara Iran itu menunjukkan surat keterangan bahwa mereka mendapat izin bekerja di Irak.
“Kami melakukan operasi terhadap mereka yang mengancam rakyat Irak dan pasukan koalisi. Ini berdasarkan informasi,” dalih pejabat itu.
Sumber pejabat tadi mengklaim menemukan “banyak material” dalam penyerbuan itu, tapi tidak mau menjelaskan “material” apa yang ditemukan. Belum jelas juga bukti apa yang akan disodorkan militer AS atas tuduhan bahwa warga Iran tersebut sedang merencanakan serangan.
Penyerbuan pertama militer AS dilakukan terhadap sebuah mobil yang dikendarai dua diplomat Iran. Mobil tersebut sedang melaju dari kedutaan besar Iran ke arah barat Sungai Tigris. Pejabat Irak mengungkapkan, mobil diplomat tersebut diberhentikan oleh pasukan AS setelah meninggalkan Masjid Buratha.
Penyerban kedua dilakukan di komplek tempat tinggal pemimpin Syiah yang cukup berpengaruh, Abdul Azia al-Hakim yang juga Ketua Supreme Council for Islamic Revolution in Iraq (SCIRI). Sejumlah warga Iran ditangkap dari rumah Hadi al-Ameri yang ada di komplek tersebut.
Al-Ameri adalah ketua Komite Keamanan Parlemen Irak dan pemimpin Organisasi Badar, sayap bersenjata SCIRI yang dituding bertanggung jawab atas sejumlah serangan terhadap warga Sunni.
Sikap Iran
Di Tehran, kementerian luar negeri Iran memanggil duta besar Swiss untuk membicarakan masalah penangkapan itu. Selama ini Kedutaan besar Swiss berperan sebagai perwakilan AS di Iran, sejak hubungan Teheran dan AS terputus usai revolusi Islam pada 1979.
Juru bicara kementerian luar negeri Iran, Muhammad Ali Husseini mengatakan, pemerintah Irak bertanggung jawab untuk membebaskan mereka dan penjajah, berdasarkan aturan internasional, juga harus bertanggung jawab atas penangkapan ini.
“Tindakan penangkapan itu tidak sesuai dengan hukum internasional manapun dan hanya akan menimbulkan dampak yang tidak menyenangkan,” Ali Husseini mengingatkan.
Sementara itu, terjadi simpang siur soal nasib dua diplomat Iran yang ditangkap oleh militer AS. Juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, Gordon D. Johndroe mengatakan, dua diplomat itu awalnya termasuk dalam kelompok warga Iran yang ditangkap. Tapi kemudian diserahkan ke pihak otoritas Irak, lalu dibebaskan. Sedangkan warga Iran lainnya, termasuk pejabat militer Iran, masih ditahan untuk menjalani penyelidikan.
Keterangan berbeda disampaikan penasehat media Presiden Talabani dan seorang pejabat SCIRI, yang mengaku tidak tahu kalau dua diplomat Iran sudah dibebaskan.
“Kami cuma tahu penangkapannya. Saya pikir mereka bukan pejabat militer. Aneh, jika mereka menahan pejabat militer,” kata pejabat SCIRI tadi.
Akar Persoalan
Seorang analis masalah Irak di Damaskus, Fadil al-Rubai mengatakan, penangkapan terhadap warga Iran ini merupakan pesan bagi kelompok-kelompok di Irak yang mendapat dukungan Iran.
Penangkapan ini, menurutnya, terkait dengan pernyataan pemuka Syiah al-Sistani kemarin yang mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan formula yang diusulkan Presiden AS, George W. Bush untuk membuat blok-blok baru bagi kalangan Sunni, Syiah dan kelompok Kurdi. Pembagian itu menurut al-Sistani hanya akan melemahkan penguasa yang ada sekarang.
“Pesan kedua, AS ingin mengatakan pada Iran bahwa AS tidak suka dengan campur tangan Iran dalam masalah dalam negeri Irak, khususnya setelah munculnya informasi pascapenculikan yang terjadi di markas besar Bulan Sabit Merah di Irak. Beberapa tawanan yang dibebaskan mengatakan, para penculik berbicara dalam bahasa Iran,” jelas al-Rubai.
Ia juga mendukung pendapat para analis di Bahrain yang berpendapat bahwa AS ingin mempermalukan pemerintah Irak dan memamerkan kekuatannya dengan melakukan penculikan itu.
Di sisi lain, situasi ini justru menguatkan posisi Iran yang selalu menegaskan bahwa penjajahan AS di Irak adalah akar dari semua persoalan yang muncul di negeri 1001 malam itu.
Menurut al-Rubai, AS dan Iran harus melakukan dialog.”Kita tidak bisa mengira-ngira kapan akan terjadi. Tapi ini harus dilakukan atau akan ada perang, sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan kedua belah pihak.” tukasnya. (ln/iol/aljz/era)