Oleh: Rina Yulistina
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di seluruh Indonesia saat ini berbondong-bondong menerapkan kampus merdeka yang disahkan oleh Nadiem Makarim pada tanggal 20 Januari 2020 silam.
Terdapat empat kebijakan di dalam kampus merdeka yaitu:
Pertama, sistem akreditasi PT.
Kedua, hak belajar tiga semester yaitu mahasiswa diberikan kebebasan untuk mengambil matakuliah diluar program studi (prodi) dengan PT yang sama atau diprodi yang sama namun di PT yang berbeda. Hal ini bertujuan agar mahasiswa mempunyai pengalaman baru, pertambahan ilmu dan skill.
Ketiga, pembukaan prodi baru. Di dalam kampus merdeka pembukaan prodi baru berpeluang besar. Mendikbud menjelaskan kerjasama dengan organisasi yang akan mencakup penyusunan kurikulum, praktik kerja atau magang, dan penempatan kerja bagi para mahasiswa. Selanjutnya Kemendikbud akan berkerjasama dengan PT dan mitra prodi untuk melakukan pengawasan.
Keempat, kemudahan menjadi PTN-BH, bagi PT yang masih di dalam PTN BLU dan PTN Satker akan dipermudah menjadi PTN BH yaitu PT yang memiliki otonomi penuh dalam pengelolaan keuangan hingga pengajaran.
Sekilas program Kampus merdeka sangat bagus sekali, PT menjadi mandiri dan kreatif, kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar sehingga output yang dihasilkan siap kerja pada akhirnya akan mengurangi pengangguran terdidik. Namun jika kita cermati bersama keberadaan kebijakan kampus merdeka tak seindah yang dibayangkan. Dan kebijakan ini pun tidak terjadi secara tiba-tiba.
Kebijakan tersebut merupakan kepanjangan dari keterlibatan Indonesia dalam perjanjian internasional, yaitu General Agreement on Trade In Service (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, akuntan, pendidikan dan jasa lainnya. Dampaknya persaingan semakin ketat, intervensi dalam pengelolaan PT memunculkan konsep penataan baru dalam PT yaitu Kurikulum Berbasis Ekonomi (KBE).
Sehingga kurikulum dan metode pendidikan harus sesuai dengan iklim bisnis dan industri yang kompetitif dan mengikuti perkembangan teknologi dan informasi dalam kancah revolusi industri 4.0 diberbagai sektor. Sehingga jangan heran ketika Pak Nadim menekankan kerjasama dengan organisasi yang akan mencakup penyusunan kurikulum, praktik kerja atau magang, dan penempatan kerja bagi para mahasiswa. Itu artinya industri sangat mudah sekali memesan kurikulum disesuaikan dengan kepentingan mereka. Contoh kecilnya seperti dibukanya program studi baru, dan matakuliah yang ada di arahkan kepada kewirausahaan atau bisnis.
Sehingga PT menjadi kehilangan jati dirinya, yang seharusnya menjadi tempat “menggodoknya” SDM yang unggul yang menghasilkan output tenaga ahli, namun dengan berbagai intervensi industri dan swasta, kampus menjelma menghasilkan output yang hanya sekedar siap kerja, bahasa kasarnya mencetak buruh untuk kepentingan para kapitalis.
Sedangkan PT hanya dijadikan ajang persaiangan untuk berlomba-lomba menjadi Universitas terbaik, mengejar predikat World Class University. Untuk menuju itu syaratnya PT harus segera menjadi PTN BH, dengan menjadi PTN BH maka kampus mempunyai otonomi penuh dalam mengelola keuangan hingga tenaga pendidik. Otonomi kampus ini sejatinya merupakan bentuk pelepasan tanggungjawab negara pada dunia pendidikan, karena pembiayaan PT berdasarkan UU PT tahun 2012 yaitu menjadi tanggungjawab masyarakat, industri, dan negara. Masyarakat dan industri menjadi tameng untuk pembiayaan pendidikan atas nama otonomi kampus. PT dibiarkan oleh pemerintah untuk mencari dana sendiri. Maka jangan kaget jika biaya kuliah selangit yang dibalut menjadi UKT (Uang Kuliah Tunggal). Dengan biaya yang mahal akhirnya orientasi orangtua dan mahasiswa adalah bekerja demi menghasilkan uang maka sangat klop sekali bertemu dengan kaum kapitalis.
Inilah wajah buruk pendidikan ala kapitalis, alih-alih menyediakan pendidikan berkualitas dan ramah kantong malah sebaliknya, menciptakan pendidikan berorentasi pasar dan sangat mahal.
Bertolak belakang dengan Islam, di dalam sistem Islam negara punya andil besar dalam pendidikan, Islam melarang pendidikan diserahkan kepada pihak swasta mulai dari pembiayaan, kurikulum hingga pendidik. Sehingga di dalam Islam tidak ada ceritanya industri mengintervrensi kurikulum pendidikan.
Kurikulum didalam Islam berbasis aqidah sehingga tercipta output pendidikan yang bersyaksiyah islamiyah yaitu memiliki pemikiran, perasaan, dan tingkah laku Islam sekaligus. Sehingga keilmuan yang diajarkan murni sebagai pengabdian terhadap ilmu pengetahuan sehingga pendidikan orientasinya bukan kepada uang, namun berorientasi pada pahala karena pendidikan merupakan amaliah, sehingga para ilmuan di dalam Islam mengabdikan ilmunya bukan untuk kepentingan kapitalis tapi untuk kepentingan ummat, ilmu untuk mengembangkan peradaban.
Sedangkan pembiayaan pendidikan di dalam Islam semua ditanggung oleh negara, sehingga tidak ada istilah otonomi kampus. Negara wajib memberikan fasilitas pendidikan yang berkualitas dan lengkap mulai dari tinggkat PAUD hingga PT, guru hingga dosen digaji dengan gaji yang tinggi, siswa hingga mahasiswa tidak dipungut biaya alias gratis ini berlaku untuk muslim maupun non muslim, kaya maupun kurang mampu. Pembiayaan ini berasal dari baitul mal berbasis syariah.