Arrahmah.com – Dalam makalah sebelum ini, kita telah mengkaji hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan untuk mencari lailatu qadar pada malam-malam ganjil dalam sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Hadits-hadits tersebut menjelaskan bahwa lailatul qadar pada zaman Nabi SAW pernah atau sangat mungkin terjadi pada malam 21, 23, 25, 27, atau 29 Ramadhan. Dalam makalah kali ini, kita akan mengjaji hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan untuk mencari lailalatul qadar pada malam-malam genap dalam sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.Jangan kaget! Sangat mungkin lailatul qadar terjadi pada malam-malam yang genap dalam sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Lailatul qadar sangat mungkin terjadi pada malam ke-22, 24, 26, 28, atau 30 Ramadhan. Dengan begitu, kita tidak boleh memburunya pada malam-malam ganjil belaka. Kesungguhan dalam melaksanakan shalat tarawih, witir, tadarus Al-Qur’an, doa, dzikir, istighfar, dan amal-amal shalih lainnya di malam yang genap tetap harus dijaga. Berikut ini dalil-dalil yang menegaskan hal ini.
Hadits Pertama
عَنْ مُعَاوِيَةَ بنِ أَبي سُفيانَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم : «التَمِسُوا لَيْلَةَ القَدْرِ في آخِرِ لَيْلَةٍ»
Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan RA berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Carilah lailatul qadar pada malam terakhir Ramadhan!” (HR. Muhammad bin Nashr Al-Marwazi dalam kitab Ash-Shalat dan Ibnu Khuzaimah no. 2189. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 1471 dan Shahih Jami’ Shaghir no. 1238)
Dalam kitab shahihnya, imam Ibnu Khuzaimah menempatkan hadits ini di bawah judul ‘Bab perintah mencari lailatul qadar pada malam terakhir Ramadhan, karena boleh jadi pada sebagian tahun lailatul qadar terjadi pada malam tersebut’.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Ramadhan terkadang terdiri dari 29 hari dan terkadang 30 hari. Dengan demikian, hari terakhir terkadang adalah hari ke-30. Nabi SAW memerintahkan umatnya untuk mencari lailatul qadar pada malam terakhir Ramadhan. Sehingga, terkadang lailatul qadar terjadi pada malamke-30 Ramadhan.
Hadits Kedua
عَنْ عُيَيْنَةَ بنِ عَبدِالرَّحمنِ قَالَ: حَدَّثَني أَبي قَالَ: «ذُكِرَتْ لَيْلَةُ القَدْرِ عِنْدَ أَبي بَكْرَةَ فَقالَ: مَا أَنا مُلْتَمِسُهَا لِشَيءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم إِلا في الْعَشْرِ الأَواخِرِ فَإِني سَمِعْتُهُ يَقولُ: التَمِسُوهَا في تِسْعٍ يَبْقينَ، أَو في سَبْعٍ يَبْقينَ، أَو في خَمْسٍ يَبْقينَ أَو في ثَلاثٍ، أَو آخِرِ لَيْلَةٍ، قَالَ: وكَانَ أَبُو بَكْرَةَ يُصَلِّي في العِشْرينَ مِنْ رَمَضَانَ كَصَلاتِهِ في سَائِرِ السَّنَةِ فَإِذَا دَخَلَ العَشْرُ اجْتَهَدَ»
Dari Uyainah bin Abdurrahman berkata: Ayahku (Abdurrahman bin Jausyan Al-Ghathafani–edt) bercerita, “Disebutkan kepada Abu Bakrah RA tentang lailatul qadar, maka ia berkata: “Aku tidak akan mencarinya kecuali pada waktu yang aku dengar penjelasannya dari Rasulullah SAW, yaitu pada sepuluh malam terakhir Ramadhan. Aku mendengar beliau SAW bersabda, “Carilah lailatul qadar pada sembilan malam yang tersisa, atau tujuh malam yang tersisa, atau lima malam yang tersisa, atau tiga malam yang tersisa, atau pada malam terakhir!” Pada dua puluh malam pertama bulan Ramadhan, shalat malam Abu Bakrah adalah seperti shalat malamnya pada waktu lain sepanjang tahun. Namun pada sepuluh malam terakhir Ramadhan, ia lebih bersungguh-sungguh lagi dalam beribadah. (HR. Ath-Thayalisi no. 881, Ahmad,5/39, At-Tirmidzi no. 794, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3403, Al-Bazzar no. 3681, dan Ath-Thabarani dalam Musnad Asy-Syamiyyin no. 1119. At-Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan shahih)
Hadits ketiga
Al-Qur’an pertama kali diturunkan dari Lauh Mahfuzh ke langit dunia pada malam lailatul qadar. Nabi SAW menjelaskan bahwa peristiwa itu terjadi pada malam genap, yaitu malam ke-24 Ramadhan.
عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الأَسْقَع رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيم فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَتْ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ ، وَالإِنْجِيلُ لِثَلاثَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَ الْقُرْآنُ لأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ
Dari Watsilah bin Al-Asqa’ RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama Ramadhan, Taurat diturunkan pada malam keenam Ramadhan, Injil diturunkan pada malam ketiga belas Ramadhan, dan Al-Qur’an diturunkan pada malam kedua puluh empat Ramadhan.” (HR. Ahmad no. 16370, Ibnu Jarir Ath-Thabari, Muhammad bin Nashr Al-Marwazi, Ibnu Abi Hatim, Ath-Thabarani, dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
Hadits keempat
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ مِنْ رَمَضَانَ يَلْتَمِسُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ قَبْلَ أَنْ تُبَانَ لَهُ ، فَلَمَّا انْقَضَيْنَ أَمَرَ بِالْبِنَاءِ فَقُوِّضَ ، ثُمَّ أُبِينَتْ لَهُ أَنَّهَا فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَأَمَرَ بِالْبِنَاءِ فَأُعِيدَ ، ثُمَّ خَرَجَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهَا كَانَتْ أُبِينَتْ لِي لَيْلَةُ الْقَدْرِ وَإِنِّي خَرَجْتُ لأُخْبِرَكُمْ بِهَا فَجَاءَ رَجُلانِ يَحْتَقَّانِ مَعَهُمَا الشَّيْطَانُ فَنُسِّيتُهَا ، فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ الْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ .
قَالَ قُلْتُ : يَا أَبَا سَعِيدٍ إِنَّكُمْ أَعْلَمُ بِالْعَدَدِ مِنَّا ، قَالَ : أَجَلْ نَحْنُ أَحَقُّ بِذَلِكَ مِنْكُمْ ، قَالَ قُلْتُ : مَا التَّاسِعَةُ وَالسَّابِعَةُ وَالْخَامِسَةُ ؟
قَالَ : إِذَا مَضَتْ وَاحِدَةٌ وَعِشْرُونَ فَالَّتِي تَلِيهَا ثِنْتَيْنِ وَعِشْرِينَ وَهِيَ التَّاسِعَةُ فَإِذَا مَضَتْ ثَلاثٌ وَعِشْرُونَ فَالَّتِي تَلِيهَا السَّابِعَةُ فَإِذَا مَضَى خَمْسٌ وَعِشْرُونَ فَالَّتِي تَلِيهَا الْخَامِسَةُ )) .
Dari Abu Sa’id Al-Khudri RA berkata: “Rasulullah SAW melakukan I’tikaf pada sepuluh hari pertengahan Ramadhan untuk mencari lailatul qadar sebelum dijelaskan kepada beliau berdasar wahyu. Ketika sepuluh hari pertengahan Ramadhan telah selesai, beliau SAW memerintahkan agar tenda beliau dibongkar, maka tenda itu dibongkar. Lalu dijelaskan kepada beliau (berdasar wahyu) bahwa lailatul qadar terjadi pada sepuluh malam yang terakhir, maka beliau memerintahkan untuk ditegakkan tenda kembali.
Beliau lantas menemui para sahabat dan bersabda, “Wahai orang-orang, sungguh telah dijelaskan kepadaku lailatul qadar dan aku keluar dari tenda untuk memberitahukannya kepada kalian. Namun ada dua orang yang bertengkar disertai oleh setan, sehingga aku terlupakan dari lailatul qadar. Maka carilah lailatl qadar pada sepuluh malam yang terakhir! Carilah ia pada malam ke-9 atau ke-7 atau ke-5!”
Abu Nadhrah (tabi’in perawi hadits) bertanya kepada Abu Sa’id Al-Khudri RA: “Wahai Abu Sa’id, kalian (generasi sahabat) lebih mengetahui bilangan daripada kami (generasi tabi’in).”
Abu Sa’id menjawab, “Tentu saja, kami lebih mengetahuinya daripada kalian.”
Abu Nadhrah bertanya, “Apakah maksud malam ke-9, ke-7, dank e-5 itu?”
Abu Sa’id menjawab, “Jika malam ke-21 telah terjadi, maka malam berikutnya adalah malam ke-22. Itulah maksud dari malam ke-9. Jika malam ke-23 telah terjadi (maka malam berikutnya adalah malam ke-24—edt), itulah maksud dari malam ke-7. Jika malam ke-25 telah terjadi (maka malam berikutnya adalah malam ke-25—edt), ituah maksud dari malam ke-5.” (HR. Muslim no. 1996 dan Ahmad no. 10654)
Inilah penafsiran dari Abu Sa’id Al-Khudri RA bahwa lailatul qadar terjadi pada malam-malam genap. Abu Sa’id Al-Khudri juga merupakan perawi hadits yang menjelaskan lailatul qadar terjadi pada malam ke-21 sebagaimana telah dijelaskan dalam makalah sebelumnya. Hal ini menguatkan kemungkinan bahwa lailatul qadar bisa saja terjadi pada malam genap.
Hadits kelima
(( عن ابْن عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هِيَ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ هِيَ فِي تِسْعٍ يَمْضِينَ أَوْ فِي سَبْعٍ يَبْقَيْنَ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ ؛ وَعَنْ خَالِدٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ : الْتَمِسُوا فِي أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ ))
Dari Ibnu Abbas RA berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Lailatul qadar terjadi pada sepuluh malam yang terakhir, yaitu setelah sembilan malam berlalu atau pada tujuh malam yang tersisa.” Dari Khalid dari Ikrimah dari Ibnu Abbas berkata: “Carilah lailatul qadar pada malam kedua puluh empat!” (HR. Bukhari no. 2024, Abu Daud no. 1173, dan Ahmad no. 1948)
Hadits keenam
عَنْ بِلالٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ
Dari Bilal RA bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Lailatul qadar adalah malam kedua puluh empat.” (HR. Ahmad no. 2765 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 1/360. Imam Al-Haitsami dalam Majmauz Zawaid, 3/176, menyatakan hadits ini hasan)
Hadits ketujuh
(( عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ : صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنْ الشَّهْرِ حَتَّى إِذَا كَانَ لَيْلَةُ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ قَامَ بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى كَادَ أَنْ يَذْهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ، فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الَّتِي تَلِيهَا لَمْ يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا كَانَتْ لَيْلَةُ سِتٍّ وَعِشْرِينَ قَامَ بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى كَادَ أَنْ يَذْهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ ، قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ قَالَ لا إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الَّتِي تَلِيهَا لَمْ يَقُمْ بِنَا ، فَلَمَّا أَنْ كَانَتْ لَيْلَةُ ثَمَانٍ وَعِشْرِينَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَهْلَهُ وَاجْتَمَعَ لَهُ النَّاسُ فَصَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى كَادَ يَفُوتُنَا الْفَلاحُ ، قَالَ قُلْتُ : وَمَا الْفَلاحُ ؟ قَالَ : السُّحُورُ ، ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا يَا ابْنَ أَخِي شَيْئًا مِنْ الشَّهْرِ ))
Dari Jubair bin Nufair dari Abu Dzar Al-Ghifari RA berkata: “Kami melakukan shaum Ramadhan bersama Rasulullah SAW. Sejak awal Ramadhan beliau belum pernah melakukan shalat malam (tarawih dan witir) berjama’ah dengan kami. Pada malam kedua puluh empat, Rasulullah SAW mengimami kami shalat malam sampai hampir sepertiga malam pertama berlalu. Pada malam berikutnya, beliau SAW tidak melakukan shalat malam bersama kami. Pada malam kedua puluh enam, beliau SAW melakukan shalat malam berjama’ah dengan kami sehingga hampir setengah malam berlalu.
Aku (Abu Dzar RA) bertanya, “Wahai Rasulullah, apa tidak sebaiknya Anda menghabiskan sisa malam ini dengan shalat malam bersama kami?”
Beliau SAW menjawab, “Tidak perlu. Jika seseorang telah melakukan shalat malam bersama imam sampai imam selesai, maka dicatat baginya telah shalat semalam suntuk.”
Pada malam berikutnya, beliau tidak melakukan shalat malam bersama kami. PAda malam kedua puluh delapan, beliau SAW mengumpulkan seluruh keluarganya dan orang-orang juga berkumpul. Maka pada malam itu beliau kembali melakukan shalat malam (semalam suntuk—edt) sampai kami hampir kehilangan waktu kemenangan.”
Jubair bin Nufair bertanya, “Apakah waktu kemenangan itu?”
Abu Dzar menjawab, “Yaitu makan sahur. Wahai anak saudaraku, setelah itu sampai akhir bulan Ramadhan, beliau tidak melakukan shalat malam bersama kami lagi.”
(HR. Ahmad no. 20450. Sanadnya shahih)
Hadits ini diriwayatkan dengan lafal yang lebih ringkas oleh An-Nasai dan lainnya sebagai berikut,
(( صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ مِنْ الشَّهْرِ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ نَحْوٌ مِنْ ثُلُثِ اللَّيْلِ ، ثُمَّ كَانَتْ سَادِسَةٌ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا ، فَلَمَّا كَانَتْ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ نَحْوٌ مِنْ شَطْرِ اللَّيْلِ ، قُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ ، قَالَ : إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ ، قَالَ ثُمَّ كَانَتْ الرَّابِعَةُ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا ، فَلَمَّا بَقِيَ ثُلاثٌ مِنْ الشَّهْرِ أَرْسَلَ إِلَى بَنَاتِهِ وَنِسَائِهِ وَحَشَدَ النَّاسَ فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلاحُ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنْ الشَّهْرِ ))
“Kami melakukan shaum Ramadhan bersama Rasulullah SAW. Selama itu, beliau SAW tidak mengimami kami shalat malam. Sampai akhirnya tersisa tujuh hari, maka beliau mengimami kami shalat malam sehingga berlalu waktu sepertiga malam. Lalu tersisa enam hari, namun beliau tidak mengimami kami shalat malam. Ketika malam kelima dari malam yang terakhir, beliau mengimami kami shalat sehingga berlalu setengah waktu malam. Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya Anda mengimami kami semalam suntuk pada malam ini?” Beliau menjawab, “Jika seseorang melakukan shalat malam bersama imam sampai imam selesai, maka telah dicatat baginya shalat satu malam suntuk.”
Lalu datanglah malam keempat dari malam yang terakhir, beliau tidak mengimami kami shalat malam. Ketika tiba tiga malam terakhir, beliau menyuruh anak-anak perempuan dan istri-istri beliau (untuk berkumpul shalat malam). Beliau juga mengerahkan masyarakat (untuk shalat malam). Maka beliau mengimami kami shalat malam sampai kami khawatir luput dari kemenangan (makan sahur). Setelah itu sampai akhir bulan, beliau tidak mengimami shalat malam lagi.” (HR. An-Nasai no. 1347, At-Tirmidzi no. 734, Abu Daud no. 1167, Ibnu Majah no. 1317, dan Ad-Darimi no. 1713. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasai)
Kesungguhan Rasulullah SAW mengimami shalat tarawih dan witir sampai sepertiga malam (pada malam ke-24), setengah malam (pada malam ke-26), dan semalam suntuk (pada malam ke-28) dengan mengumpulkan anak, istri, dan masyarakat ini merupakan sebuah isyarat bahwa pada malam-malam tersebut sangat mungkin terjadi lailatul qadar.
Jadi, tidak ada alasan untuk bersantai dan libur dari melakukan amal shalih di malam-malam genap. Siapa tahu, lailatul qadar mala mini justru terjadi di malam genap yang kita remehkan?
Wallahu a’lam bish-shawab
Ramadhan & Lailatul Qadar #3
Oleh: Muhib al-Majdi
http://www.arrahmah.com
filter your mind, get the truth