(Arrahmah.com) – Kita acap kali tidak adil dalam memberi perhatian terhadap urusan dunia dan urusan akhirat. Seringkali seluruh perhatian dan potensi dikerahkan untuk urusan dunia, sedangkan akhirat seperlunya saja. Padahal dunia dan akhirat sangat tidak sebanding. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut dalam Kitab-Nya bahwa Akhirat lebih baik dari dunia. “Wal akhiratu khairun laka minal ula; dan akhirat lebih baik bagimu dari kehidupan yang pertama (dunia)”, kata Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Adh-Dhuha. Bahkan akhirat tidak hanya lebih baik dari dunia. Ia juga lebih kekal. “Wal akhiratu khairun Wa abqa; dan akhirat lebih baik serta lebih kekal”, kata Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat lain.
Olehnya, tidak selayaknya kita mengerahkan seluruh perhatian dan potensi untuk dunia yang sementara lalu mengabaikan akhirat yang kekal dan lebih baik. Seharusnya perhatian dan kesungguhan kita terhadap dunia sekadar dengan singkatnya kita berdiam di sini. Demikian pula dengan akhirat, perhatian kita kepadanya hendaknya seukur dengan lamanya tinggal di sana, sebagaimana diwasiatkan Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah. “Bekerjalah untuk duniamu seukur berapa lamanya kau akan tinggal di bumi. Dan bekerjalah untuk akhiratmu, seukur berapa lamanya kau akan hidup di sana”.
Dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kita sebagai hambaNya, “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanya permainan, senda gurau yang melalaikan, perhiasan, saling berbangga diri di antara kalian dan saling berlomba untuk memperbanyak harta dan anak ” (QS: al-Hadid: 20).
Saat melewati sebuah pasar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya menemukan bangkai seekor anak kambing yang kecil telinganya. Beliau memegang telinga bangkai itu lalu mengangkatnya. Sambil menoleh beliau bertanya, “Siapakah diantara kalian yang mau membayar bangkai ini seharga satu dirham?” Dengan wajah heran para sahabat menjawab, “Bagi kami ia tidak ada nilainya sedikitpun. Apa yang dapat kami lakukan terhadap bangkai yang hina itu?” Beliau menambahkan lagi, “Bagaimana kalau bangkai ini diberikan (cuma-cuma) pada kalian?” Serentak mereka menimpali, “Demi Allah, seandainya-pun masih hidup kami tidak bakal tertarik. Ia adalah hewan cacat karena telinganya kecil, apalagi dengan kondisi sekarang yang telah menjadi bangkai?!, sudah tentu kami lebih tidak tertarik lagi”. Sambil tersenyum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, sungguh dunia di sisi Allah jauh lebih hina ketimbang bangkai anak kambing ini“ (HR. Bukhari).
Dalam kesempatan lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Andai dunia ini sepadan dengan sayap seekor nyamuk di sisi Allah, maka orang-orang kafir tidak bakal mendapat minum walau seteguk air“ (HR. Tirmidzi).
Inilah hakekat dunia sebenarnya. Sebuah kenyataan yang mengajak kita sadar. Jangan sampai gemerlap dan tipu dayanya menjadikan kita budak. Atau bahkan hamba baginya. Sebab, penghambaan terhadap dunia merupakan sumber segala kerusakan. Lihatlah kefajiran yang banyak dibuat anak Adam, dahulu hingga kini, hampir seluruhnya disebabkan cinta dunia.
Dalam menyikapi kehidupan dunia dan tujuan akhirat yang dituju, anak adam terbagi menjadi dua:
Golongan pertama, mereka yang mengingkari kehidupan akhirat setelah alam dunia ini berakhir. Tentang mereka, Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan“. (QS: Yunus : 7).
Golongan kedua, mereka yang meyakini adanya hari pembalasan pasca kehidupan dunia. Golongan ini mengakui para Rasul serta membenarkan risalahnya. Kendati kondisi mereka bertingkat, seperti disinggung dalam firman-Nya, “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar” (QS. Fathir : 32).
Berdasarkan ayat di atas, golongan kedua ini Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi mereka ke dalam beberapa kelompok, yaitu :
Pertama, zaalimun linafsihi. Yakni, orang yang menzalimi diri sendiri. Dalam kehidupan ini mereka banyak terjebak dalam perkara-perkara haram. Sebab bagi mereka, dunia adalah segalanya. Wala’ (kecenderungan)-nya pun sepenuhnya diserahkan pada dunia. Makanya, mereka dikatakan menzalimi diri sendiri. Karena sikap mereka itu sedikitpun tidak memberi mudharat bagi Allah Ta’ala. Akan tetapi, akibat dari perbuatan mereka itu kembali pada diri sendiri. Gerak hidup mereka kebanyakan didominasi kepentingan hawa nafsu dan pemuasan syahwat hewani.
Kedua, muqtashid. Yakni, golongan pertengahan. Mereka menikmati kehidupan dunia dari arah yang dibolehkan, disamping melaksanakan seluruh kewajiban yang dibebankan syari’at. Golongan ini tidak tercela. Hanya saja derajat mereka di sisi Allah Ta’ala tidaklah istimewa. Diriwayatkan, Umar bin al-Khattab t berkata, “Seandainya bukan karena takut derajatku di surga akan berkurang, sudah pasti aku akan mendahului kalian dalam hal kehidupan dunia. Saya mendengar Allah Ta’ala mencela suatu kaum melalui firman-Nya, “Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya“ (QS: al-Ahqaf : 20).
Ketiga, sabiqun bi al-khairaat. Yakni, orang-orang yang bersegera mengerjakan amal-amal kebajikan. Mereka paham hakikat kehidupan dunia ini. Mengerti maksud dan tujuan mengapa mereka diciptakan. Hingga akhirnya mengarahkan mereka mengubah segala gerak dalam hidup sebagai amal dan ibadah kepada Allah Ta’ala. Disamping itu, mereka sadar, bahwa Allah Ta’ala menempatkan segenap hambaNya di bumi untuk menjalani ujian. Hal ini, agar kelihatan siapa yang paling baik amalnya. Paling zuhud terhadap dunia. Dan paling cinta pada negeri akhirat. “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya” (QS: al-Kahfi : 7), demikian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mereka merasa cukup mengambil dunia sekedar bekal menghadapi perjalanan panjang. Karena dunia, menurut mereka, adalah terminal mengisi segala perbekalan yang dibutuhkan. Olehnya, Allah Ta’ala mengingatkan kita akan hal itu: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa“ (QS: al-Baqarah: 97).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa urusanku dengan dunia ini?!, tidaklah aku di dunia melainkan ibarat pejalan kaki yang berlindung di bawah naungan sebatang pohon, istirahat, lalu pergi meninggalkannya“. (HR. Tirmidzi). Artinya, kampung sebenarnya bagi hamba adalah kampung akhirat. Keluarga hakiki baginya adalah keluarga di akhirat. Harta kekayaan sebenarnya adalah harta di akhirat. Merugilah orang-orang yang tega menjual akhiratnya demi mengais secuil kesenangan dunia yang fana. Makanya, tanamkan niat taqwa dalam seluruh aktifitas hidup. Hal mana agar setiap perbuatan kita di muka bumi bernilai pahala di sisi-Nya. Sebab demikianlah maksud keberadaan kita di dunia. Ibadah, dan mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya. Mu’adz bin Jabal t berkata, “Aku mengharapkan pahala dari tidurku, sebagaimana mengharapkan pada waktu terjagaku (shalat malam)”.
Mengapa kita selalu lelah di dunia ini? Sebelum menjawabnya, marilah kita melihat dan merenungi bagaimana al-Qur’an bertutur kepada kita.
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk berdzikir dan mengerjakan shalat, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Wahai orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka berlarilah (bersegeralah) kalian mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. al-Jumu’ah : 9). Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk melakukan kebaikan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan” (QS. al-Baqarah : 148). Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk memohon dan meraih ampunanNya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan bersegeralah kamu menuju ampunan dari Tuhanmu dan menuju surga” (QS. Ali-Imran : 133). Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk kembali dan menuju kepadaNya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Maka berlarilah kembali ta’at kepada Allah” (QS. Adz-Dzaariyat : 50). Seluruh bentuk perintah untuk akhirat di dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkannya dengan kata atau kalimat perintah ; bersegeralah, berlarilah, bergegaslah, dan kata-kata lainnya yang semakna.
Namun, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara tentang dunia dan semua bentuk kenikmatan yang ada di dalamnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan kata atau kalimat dalam bentuk lainnya. Mari kita lihat. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang urusan menjemput rizki (duniawi), Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dialah yang menjadikan bumi mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari RizkiNya” (QS. Al-Mulk : 15). Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menggunakan kata atau kalimat perintah; bersegeralah, berlarilah, bergegaslah, dan kata-kata lainnya yang semakna seperti pada perkara-perkara akhirat di atas. Namun, dalam ayat tersebut, untuk urusan dunia, Allah Subhanahu wa Ta’ala (cukup) menggunakan kata atau kalimat “berjalanlah”.
Jika kita mau merenungi hal ini, semestinya kita bisa memahami, kapan kita perlu berlari, atau menambah kecepatan lari kita, atau bahkan cukup berjalan saja. Jangan-jangan, selama ini kita merasa lelah, karena malah berlari mengejar dunia yang seharusnya cukup dengan berjalan.
Oleh karena itu, sekali lagi, adillah Saudaraku! Adil itu tidak harus sama. Tapi, adil itu ketika kita mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ya, akhirat tempatnya teramat jauh dan tinggi dibandingkan dunia. “Dunia dibanding akhirat tiada lain hanyalah seperti jika seseorang di antara kalian mencelupkan jarinya kelautan, maka hendaklah ia melihat air yang menempel di jarinya setelah ia menariknya” (HR. Muslim), begitu pesan Nabi kita.
Namun, betapapun akhirat menjadi tujuan tertinggi, tentu saja dunia adalah bagian dari kehidupan kita yang tidak dilupakan. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al-Qashas: 77), firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sebuah ayatNya.
Maksudnya yaitu gunakanlah harta yang banyak dan nikmat yang berlimpah yang telah Allah berikan kepadamu di dalam ketaatan kepada Rabmu dan untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya dengan berbagai macam bentuk taqarrub, yang dengannya engkau akan mendapatkan pahala di negeri akhirat. Namun, janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi) yaitu apa- apa yang telah Allah halalkan untukmu di dunia seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan pernikahan, sesungguhnya Rabmu mempunyai hak darimu, dirimu mempunyai hak darimu, keluargamu mempunyai hak darimu, istriu mempunyai hak darimu, maka berikanlah hak kepada setiap pemilik hak (Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6: 253-254).
Wallahu a’lam.
Oleh : Azwar Iskandar/Wahdah
(*/Arrahmah.com)