BAGHDAD (Arrahmah.id) — Poster raksasa Vladimir Putin bertuliskan “Kami dukung Rusia” terpampang selama beberapa jam di ibu kota Irak, sebelum diturunkan oleh pasukan keamanan. Peraturan kemudian muncul: Semua foto Putin dilarang dipasang di tempat-tempat umum.
Di Libanon, milisi Syiah Hizbullah mengutuk kecaman pemerintah atas serangan Rusia terhadap Ukraina, dan menuntut netralitas pemerintah.
Perselisihan ini menunjukkan perpecahan mendalam terkait perang Ukraina di Timur Tengah, di mana Rusia telah memperkuat pengaruhnya dalam beberapa tahun terakhir, menjalin pertemanan dengan tokoh-tokoh negara dan non-negara sementara pengaruh Amerika Serikat (AS) di kawasan itu memudar.
Elit politik yang bersekutu erat dengan Barat berhati-hati dan tidak ingin mengasingkan Rusia atau AS dan Eropa. Tapi kekuatan lain, mulai dari faksi milisi Syiah di Irak, hingga kelompok Syiah Hizbullah di Libanon dan pemberontak Syiah Houthi di Yaman, dengan lantang menyuarakan dukungan mereka terhadap Rusia melawan Ukraina.
Kelompok-kelompok ini dianggap sebagai pijakan Iran di tanah yang disebut “poros perlawanan” anti-AS. Putin mendapatkan dukungan mereka karena hubungannya yang erat dengan Teheran dan intervensi militer Putin dalam perang saudara di Suriah dan mendukung Presiden Bashar Assad.
Mereka melihat Putin sebagai mitra yang bisa diandalkan yang, tidak seperti AS, tidak pernah menghianati sekutunya. Mereka bahkan punya nama panggilan sayang untuk Putin, “Abu Ali,” nama yang umum di kalangan Syiah dan menggambarkan persahabatan.
Ribuan mahasiswa di Universitas Aleppo, Suriah mendukung Presiden Rusia Vladimir Putin dan invasi Rusia ke Ukraina dalam unjuk rasa di Aleppo, Kamis (10/3/2022).
Sementara itu, pemerintah terus berhati-hati. “Irak menentang perang tapi tidak mengecamnya atau berpihak,” kata analis politik Ihsan Alshamary, yang mengepalai Political Thought Think Tank di Baghdad. Irak harus netral karena mempunyai kepentingan dengan kedua pihak, Rusia dan Barat, ujarnya.
Ia mengatakan sekutu Iran di kawasan tersebut terang-terangan mendukung Rusia “karena mereka anti-AS dan anti-Barat dan percaya bahwa Rusia sekutu mereka.”
Investasi Rusia di di Irak dan di daerah yang dikuasai Kurdi mencapai $14 miliar (sekitar Rp199 mliar), dan sebagian besar fokus pada sektor energi, kata Dubes Rusia Elbrus Kutrashev pada kantor berita Kurdi Irak Rudaw dalam wawancara baru-baru ini.
Beberapa perusahaan minyak besar yang beroperasi di negara itu adalah perusahaan Rusia seperti Lukoil, Gazprom Neft dan Rosneft.
Irak juga menjaga hubungan dekat dengan AS, tapi perusahaan-perusahaan Barat telah merencanakan keluar pelan-pelan dari sektor minyak Irak.
Langkah paling keras Irak sejauh ini adalah bank sentralnya melarang Perdana Menteri Irak untuk menandatangani kontrak dengan perusahaan-perusahaan Rusia atau membayar mereka setelah sanksi dari AS dijatuhkan. Keputusan ini hanya akan berdampak pada investasi baru Rusia di negara tersebut, tidak lebih dari itu, menurut pejabat industri Rusia.
Minggu lalu, Irak merupakan salah satu dari 35 negara yang abstain saat pemungutan suara di PBB yang menuntut Rusia menghentikan serangannya dan menarik pasukannya dari Ukraina. Libanon ikut mengecam, sementara Suriah yang memiliki hubungan erat dengan Rusia, menolak mengecam. Iran juga abstain.
Di Libanon, pernyataan Kementerian Luar Negeri negara tersebut yang blak-blakan, tidak seperti baisanya, mengecam invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan kemarahan Rusia, mendorong menteri luar negeri Lebanon mengklarifikasi bahwa Libanon tidak bermaksud memihak siapapun dan akan tetap netral.
Foto yang disediakan oleh Kementerian Situasi Darurat Rusia menunjukkan kotak-kotak bantuan dari Rusia tiba lewat pesawat kargo Rusia setelah ledakan dahsyat di pelabuhan di Beirut, Libanon, 5 Agustus 2020.
“Mereka menjauhkan diri dan mengklaim netral jika menguntungkan mereka, dan mereka ikut campur dan mengecam jika menguntungkan mereka,” legislator Hizbullah Ibrahim Moussawi mencuit, mengecam Kementerian Luar Negeri Libanon. “Kebijakan luar negeri apa yang diambil oleh Lebanon, dan apa kepentingan Lebanon dalam kebijakan itu? Tolong klarifikasi, pak menteri.”
Hizbullah, yang juga mengirim ribuan tentara ke negara tetangga Suriah untuk mendukung pasukan Assad, memanfaatkan invasi Rusia ke Ukraina dan menggambarkannya sebagai hasil yang tak terhindarkan dari provokasi AS dan pengkhianatan AS terhadap sekutunya – dalam hal ini, Ukraina.
Dalam minggu ini, Papan-papan billboard yang bertuliskan “Kemenangan bagi Rusia” muncul di berbagai daerah di Damaskus, Suriah, di mana ribuan pasukan Rusia masih bertahan. Warga di daerah yang dikuasai oleh oposisi, yang masih menghadapi serangan udara Rusia, berharap serangan mereda jika Rusia terjebak dalam perang di Ukraina.
Di Irak, perang di Ukraina memperjelas perpecahan di negara tersebut yang memang sudah terpecah setelah upaya untuk membentuk pemerintah baru terhenti, lima bulan setelah pemilu parlemen diadakan.
Papan billboard raksasa yang mendukung Putin sempat dipasang di Baghdad yang dikuasai oleh milisi yang didukung oleh Iran. Setelah papan tersebut diturunkan, Kedutaan Besar Rusia di Baghdad mencuit foto papan billboard itu.
“Posternya provokatif, saya tidak suka,” kata Athir Ghorayeb, yang bekerja di kedai kopi di dekatnya. Irak baru saja keluar dari perang dan konflik yang berlangsung selama beberapa dekade, katanya. “Kenapa kita ngotot untuk ikut campur dalam masalah baru?”
Banyak warga Irak yang melihat invasi Rusia ke Ukraina seperti invasi Saddam Hussein ke negara tetangga Kuwait dan sebagai hasilnya harus menanggung sanksi ekonomi bertahun-tahun. Baru beberapa hari lalu Irak berhasil melunasi biaya ganti rugi kepada Kuwait yang mencapai lebih dari $52 miliar (sekitar Rp743 miliar).
Di media sosial, laman Facebook Irak dengan jutaan follower memposting berita terkait apa yang terjadi di Ukraina, dan memberikan pendapat mereka. “Kami bersimpati dengan warga sipil, sebagai warga yang juga pernah merasakan pahitnya perang,” tulis Zahra Obaidi, salah satu pengguna Facebook.
“Kami punya tenda untuk para pengungsi dan pengungsi internal, kalian bisa pakai tenda itu,” tulis Hafidh Salih.
Toby Dodge, seorang profesor Hubungan Internasional di London School of Economics, mengatakan langkah Irak – abstain dari pengambilan suara di PBB meski membatasi kegiatan ekonomi – adalah bijaksana, untuk mengatasi risiko jangka pendek tanpa mengambil sikap ideologis.
Namun jika perang terus berlangsung, sulit untuk bisa mempertahankan strategi ini.
“Irak sangat terpecah secara politik di mana aktor-aktor politik pro-Iran dan yang anti-Iran berupaya menancapkan otonominya. Perang di Ukraina menjadi panggung pertunjukan (politik) lain, contoh lain di mana kedua belah pihak berusaha mendongkrak reputasi mereka,” ujarnya. (hanoum/arrahmah.id)