BAGHDAD (Arrahmah.id) — Resolusi Dewan Keamanan PBB yang diadopsi pada Selasa (21/2/2022), memastikan Irak telah memenuhi kewajiban internasional, dan tidak lagi perlu mendepositokan sejumlah persen keuntungan dari ekspor minyak dan gas alam ke dalam dana kompensasi, demikian kutipan naskah resolusi.
Irak awalnya diwajibkan menyisakan lima persen dari hasil ekspor minyaknya, untuk mengganti kerugian perang yang dialami penduduk Kuwait sejak 1991. Mandat tersebut sekarang dianggap telah selesai dan tidak ada lagi klaim yang bisa dibuat kepada komisi, lanjut DK PBB.
Michael Gaffey, Presiden Komisi Kompensasi PBB, mengatakan bahwa Irak sejauh ini sudah membayarkan sekitar 15 persen dari total klaim uang ganti rugi yang diminta.
“Sebanyak 2,7 juta klaim diajukan kepada komisi dengan nilai kompensasi sebesar 352 miliar dollar AS,” kata dia, dikutip dari Al Arabiya (23/2/2022).
Komisi Kompensasi dibentuk DK PBB untuk memeriksa klaim ganti rugi terhadap pemerintah Irak.
Dalam mandatnya, Komisi Kompensasi mendahulukan klaim yang dibuat oleh mereka yang terusir dari Irak atau Kuwait, korban yang mengalami luka atau anggota keluarga korban yang meninggal dunia. Selain itu, warga yang mengalami kerugian hingga 100.000 dollar AS juga diberikan prioritas utama untuk mendapat kompensasi.
Salah satu penerima dana kompensasi terbesar adalah perusahaan minyak negara, Kuwait Petroleum Corp, yang sukses mengeklaim 14,7 miliar dollar AS dari Irak. Jumlah tersebut mengganti kerugian akibat terhentinya produksi dan kerusakan pada infrastruktur minyak akibat invasi Irak.
Menteri Luar Negeri Irak Fuad Hussein mengatakan, negaranya sudah menebus dosa warisan bekas Diktator Saddam Hussein itu selama 30 tahun, dan kini membuka bab baru dalam perjalanan politik, ekonomi dan diplomasi, di dunia internasional.
“Ini akan menjadi masa bagi peran internasional dan regional Irak yang lebih kuat, dengan bobot kultural dan historis Irak di kawasan dan di dunia, sebuah era di mana Irak akan menjadi anggota aktif yang berkomitmen terhadap dunia internasional,” pungkasnya.
Invasi Irak terhadap Kuwait dimulai pada 2 Agustus 1990 dan berlangsung selama hampir tujuh bulan. Saat itu, Saddam Hussein menggunakan strategi bumi hangus dan meratakan infrastruktur kunci milik Kuwait, termasuk istana kerajaan.
Kedua negara bersekutu dalam perang melawan Iran pada 1980-an. Kedekatan itu memudar seiring percekcokan seputar utang senilai 13 miliar dollar AS yang dipinjam Irak dari Kuwait untuk membiayai perang.
Sebab itu resolusi DK PBB yang membebaskan Irak dari dosa masa lalu dianggap sebagai pencapaian historis, oleh Duta Besar Kuwait di Baghdad Mansour al-Otaibi.
“Kami sangat sadar bahwa tujuan dana kompensasi ini bukan untuk menghukum si agresor, melainkan memastikan pertanggungjawaban, serta memulihkan kepercayaan individu atau lembaga negara yang menjadi korban,” kata dia.
Menurutnya, dana kompensasi dan menanggulangi dampak perang adalah kunci untuk membangun kepercayaan, rekonsiliasi dan membersihkan masalah masa lalu yang mungkin akan berdampak untuk masa depan dalam hubungan antarnegara. (hanoum/arrahmah.id)