Oleh: Ustadz Irfan S Awwas
(Arrahmah.id) – Mantan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu kecewa kepada pihak yang selalu membantah adanya bahaya laten dari kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Mereka bilang enggak ada lagi itu, enggak ada lagi bahaya laten PKI. Eh, sekarang ada lagi. Mungkin jangan-jangan dia kali yang komunis,” ujar Ryamizard dalam acara Silaturahmi Purnawirawan TNI/Polri serta Organisasi Masyarakat Keagamaan dan Kepemudaan di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Jumat, 13 Mei 2016. Dua tahun setelah Jokowi berkuasa (2014).
“Dulu saya sering bilang bahaya laten komunisme. Eh, malah diketawain. Bahaya laten ini ada. Saya enggak mau itu dibilang enggak ada terus. Kalau dianggap begitu terus, bisa bahaya,” tegas Ryamizard.
Peringatan Ryamizard terkait bahaya laten komunis di Indonesia, sepertinya sengaja diabaikan oleh rezim Jokowi. Bahkan kebangkitan PKI, terkesan dipelihara dan difasilitasi penguasa.
Tidak ada pejabat yang bicara lantang tentang bahaya ideologi transnasional komunisme dari Cina; yang datang secara bergelombang di bawah payung TKA besutan Luhut. Yang digembar gemborkan malah ideologi transnasional Timur Tengah. Tidak ada juga yang peduli dengan semakin terbuka keberadaan Yahudi di Indonesia, sehingga bisa bebas bikin Museum Holocaust di Minahasa.
Para pejabat selevel Menkopolhukam, Mahfud MD pun tidak punya perhatian akan bahaya komunis ini. Dia hanya sibuk menyoroti bahaya ideologi khilafah, radikalisme Islam, guna melapangkan jalan bagi penguasa zalim untuk bertindak lebih zalim lagi. Misalnya, membubarkan ormas Islam yang distigma radikal serta menangkap ulama dengan alasan yang sama.
Menhan Prabowo Subianto juga bungkam akan hal ini. Sama seperti bungkamnya terhadap bahaya separatis teroris Papua, yang bertindak brutal membunuh anggota TNI, Polri, menyiksa warga sipil serta membumi hanguskan rumah penduduk dan fasilitas umum. Prabowo malah berasyik masyuk dengan Israel, kemungkinan menormalkan hubungan bilateral dengan negara penjajah Palestina tersebut.
Parahnya lagi, BNPT (Badan Nasional penanggulangan Terorisme) justru menjadi Badan Nasional Propaganda Islamofobia. Ancaman pemetaan Masjid Radikal dan Pesantren Teroris, adalah contohnya. Sekalipun berujung dengan permintaan maaf dari Kepala BNPT Boy Rafly, tapi isu tersebut telah menusuk jantung umat Islam. Dan itu menyakitkan, luka yang diakibatkannya akan sulit disembuhkan.
Akhirnya, opini umum pun terbentuk. Kebaikan dianggap kejahatan. Orang baik dicitrakan sebagai penjahat, dan yang jahat dipuja puji bagai pahlawan. Mengapa? Karena rakyat Indonesia tidak bersama-sama berteriak sekeras- kerasnya, tanpa henti, bahwa merekalah Penjahat dan Pengkhianat bangsa. Merekalah musuh NKR dan anti Pancasila yang sebenarnya.
Misi jahat PKI
Mimpi PKI untuk bangkit dan berkuasa di Indonesia tak pernah pudar.
”Lima Dokumen Penting Politbiro CC PKI” yang diterbitkan pada September 1971 oleh Delegasi CC PKI contohnya. Pada halaman depan sampul buku ada kutipan Program PKI Untuk Demokrasi Rakyat Indonesia :
“Bersatulah Rakjat Indonesia dengan sendjata ditangan madju tak gentar menggulingkan dan menghantjurkan diktatur fasis Suharto – Nasution_
Juga kutipan kata-kata Mao Tjetung:
”Tugas inti-pokok dan bentuk tertinggi dari revolusi jalah merebut kekuasaan politik dengan kekuatan bersendjata, memetjahkan masalah dengan perang”
Keinginan PKI untuk menggulingkan Suharto -meskipun PKI sudah diharamkan di Indonesia-, digaungkan pada peluncuran buku Lima Dokumen Penting Politbiro CC PKI, September 1971.
Dua puluh tujuh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1998, ambisi PKI jadi kenyataan. Era orde baru tumbang, Suharto lengser dan orde reformasi muncul.
Apakah gerombolan dan simpatisan PKI menghentikan ambisi jahatnya untuk mengkomuniskan NKRI? What’s next? Ataukah mereka membentuk lapisan sosial baru menuju cita-cita menjadikan Indonesia sebagai Negara Sosialis komunis, menunggangi proyek ambisius IKN ( Ibu Kota Negara) baru di Penajam, Kaltim? Sebagai era transisi menuju ‘masyarakat komunis‘, sebagaimana auto critic mereka setelah gagal kudeta 1965?
YOGYAKARTA, 8/2/2022
(*/arrahmah.id)