“Wah. Saya mirip Noordin M Top ya?” saya tanya lagi.
“Gak, Mas. Beda kok. Mukanya tidak sama.”
“Nah, Abang sendiri curiga darimananya kalau begitu?”
“Itu, Mas,” dia menunjukan keluar. “Kok pasang bendera Al Qaida di depan? Kan kami kemaren minta yang dikibarin bendera Merah Putih.”
“Hehehe… Sengaja, Bang.” Saya akhirnya teringat kalau kemarin malah mengibarkan Ar Rayah di tiang bendera. Bukan Merah Putih.
“Lho kok sengaja, Mas?”
“Bosan Bang. Habisnya dari dulu benderanya warnanya itu-itu saja. Kenapa sekali-kali tidak diganti. Biar fleksibel. Lagu sama buah-buahan saja ganti-ganti musim. Masa bendera itu terus.”
“Ya beda dong, Mas. Ini sudah diatur. Lagian ini demi memperingati perjuangan pejuang kita dulu.”
“Nah itu dia Bang. Alasan sebenarnya saya pasang berbeda itu juga untuk memperingati perjuangan pejuang kita dulu. Sekaligus mengingatkan kembali rakyat negeri ini pada bendera mereka yang sebenarnya.”
“Hah? Sejak kapan Indonesia benderanya jadi item begitu?”
“Abang belum tahu kan?!,” saya merasa diatas angin, “Dulu, bendera para pejuang kita itu sebenarnya seperti begitu.” Saya tunjukan telunjuk saya keluar. Ke itu tiang bendera.
“Imam Bonjol, Diponegoro, Fatahillah, dll, semua pakai bendera yang hitam itu,” saya teruskan pembicaraan. “Warna bendera Merah Putih itu ada baru-baru sekarang ini saja. Klaim kalau Merah Putih sudah ada sejak jaman Majapahit, Pajajaran, dan kerajaan-kerajaan dulu sebenarnya kontradiktif. Abang tahu kontradiktif?”
“Alat buat KB?”
“Itu mah kontrasepsi, Bang!”
“Hehehe…”
“Begini Bang. Kalau memang Merah Putih sudah diadopsi banyak kerajaan, kenapa Majapahit dan Pajajaran malah berperang di Bubat. Kenapa juga Mataram perang dengan Kediri. Logikanya kan, kalau benderanya sama maka tidak boleh perang. Benar tidak?”
“Mhmmm..”
“Ada tidak ceritanya The Jak perang dengan The Jak? Tidak ada kan! Yang ada juga The Jak perang sama Viking. Bonek perang dengan Arema. Itu karena bendera mereka berbeda.”
“Ya beda dong, Mas.”
“Betul memang beda Bang. Tapi harusnya kan itu dipikirkan lagi. Setidaknya kan kalau warna bendera sama. Minimal rasa satu kesatuannya pun sama,” kata saya. “Lagian Bang, andai kita bicara teori konspirasi-konspirasian, warna bendera Indonesia itu lebih dekat ke warna bendera Jepang dan pasukan khusus Belanda. Hanya variasi dibentuknya saja. Kalau seperti begitu, biasanya, menurut teori konspirasi-konspirasian, ada udang dibalik bakwan diantara mereka.”
“Ah si Mas ada-ada saja,” Bang Asmin menimpal.
“Bukan ada-ada saja, Bang. Memang adanya begini.”
“Iya tapi bendera yang Mas Begundal pasang itu kan bendera teroris.”
“Memangnya bendera teroris seperti itu ya, Bang? Bukan gambar tengkorak.”
“Gambar tengkorak tuh bajak laut kali!”
“Oh iya,” kata saya. “Terus darimana terorisnya itu bendera? Kan itu tulisan Arab. Kalau mau juga itu yang saya pasang disebut bendera pesantren. Atau bendera pengajian. Kan tulisannya arab gitu. Hehehe…”
“Di TV, pas pemakaman jenazah yang bom bunuh diri, ada tuh pelayat yang bawa bendera seperti yang Mas Begundal pasang.”
“Kalau begitu Muhammad Toha dan Muhammad Ramdhan juga teroris dong,” kata saya.
“Kok bisa? Mereka kan pahlawan.” kata Bang Asmin.
“Lha Muhammad Toha dan Ramdhan kan pelaku aksi bunuh diri juga. Ada loh korban warga Dayeuh Kolot juga. Tapi niat mereka berdua ingin mengusir penjajah. Kalau Toha ingin mengusir Belanda, nah yang Abang anggap teroris kan ingin mengusir Amerika,” jawab saya. “Lagian Bom Marriot itu belum seberapa kalau dibanding sama bom syahidnya Toha cs. Mereka mah satu kota mereka bakar. Bandung jadi lautan api. Yang Marriot, ada Jakarta Lautan Api?”
“Ya kan mereka membela tanah air.”
“Apa karena mereka membawa bendera merah putih lantas mereka tidak pantas disebut teroris? Padahal saya yakin kalau mereka dulunya disebut teroris juga sama Belanda dan Sekutu.”
“Dulu belum ada teroris, Mas.”
“Ya kan teroris itu mah istilah yang diada-ada Bang. Tergantung siapa yang bilang. Kita tidak bisa melihat dari satu sisi saja. Coba Abang pikir. Kalau memang yang membawa bendera seperti yang saya pasang itu teroris, maka Imam Bonjol, Diponegoro, Fatahillah, Para Sunan, semuanya adalah teroris. Soalnya mereka kan bawa bendera itu.”
“Mhmm… Memang bener mereka bawa bendera seperti itu?”
“Benar Bang. Mereka kan berjuang mencontoh Nabi. Nah, Rasulullah ketika berjuang bawanya bendera seperti yang saya pasang itu. Abang berani tidak bilang Rasulullah itu teroris?”
“Ya tidaklah. Masa Rasulullah teroris.”
“Tapi Rasul kan benderanya begitu juga. Maka secara tidak langsung, saya dan Abang pun sebenarnya teroris. Anak buah teroris.”
“Ya nggak lah,” balas dia, “Tapi bener ya itu memang bendera Rasulullah.”
“Benar, Bang. Suer dech.”
“Iya tapi kan ini Indonesia bukan negara Islam.”
“Itu dia. Tadi kan saya sudah bilang. Saya hanya ingin mengembalikan bendera sebenarnya rakyat negeri ini. Bukan masalah negara Islam atau tidak Islam.”
“Oh.”
“Tapi jujur saja nih, Bang. Sebenarnya saya tidak punya bendera Merah Putih. Jadi saya pasang saja bendera itu,” ungkap saya sambil tersenyum manis banget.
“Kenapa nggak bilang dari tadi. Tau gitu saya pinjami punya RT.”
“Ah tidak usah repot-repot Bang. Kalau pun punya, tetap tidak akan saya pasang. Saya pasang yang itu saja. Kan ceritanya menghormati para pejuang dulu. Hehehe…”
“Ada-ada aja si Mas ini.”
Sambil tersenyum-senyum simpul, saya persilahkan Bang Asmin meminum air yang sudah saya siapkan dari tadi. Biar suasana menjadi cooling down pikir saya. Biar usus banjir. Biar airnya tidak diserobot jin yang lewat.
Source: Bendera, Begundal Militia, 2010, Cetakan 1