JAKARTA (Arrahmah.com) – Menteri Sosial Tri Rismaharini (Mensos Risma) menuai kritik setelah beredar video yang menunjukkan dia memaksa seorang anak penyandang tunarungu berbicara di ruang publik di Peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2021.
Video tersebut viral dan sempat trending di media sosial.
Dalam video yang ditayangkan di kanal YouTube Kemensos RI, di timecode 1:21:05, Risma meminta seorang anak penyandang tunarungu berbicara di Peringatan Hari Disabilitas Internasional.
Salah satu pria yang juga menyandang tunarungu, Stefanus, memberikan kritik atas tindakan Risma.
“Saya ingin menyampaikan bahwasanya bahasa isyarat itu penting bagi kami, bahasa isyarat itu adalah seperti mata bagi kami, mungkin seperti alat bantu dengar. Kalau alat bantu dengar itu bisa mendengarkan suara, tapi kalau suaranya tidak jelas itu tidak akan bisa terdengar juga,” kata Stefanus yang juga perwakilan dari Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin).
Risma kemudian menjawab kritik itu dan mengaku memaksa penyandang tunarungu bicara agar memaksimalkan pemberian Tuhan.
“Stefan, ibu tidak… ibu tidak mengurangi bahasa isyarat, tapi kamu tahu Tuhan itu memberikan mulut, memberikan telinga, memberikan mata kepada kita. Yang ingin ibu ajarkan kepada kalian terutama anak-anak yang dia menggunakan alat bantu dengar sebetulnya tidak mesti dia bisa, sebetulnya tidak mesti bisu. Jadi karena itu kenapa ibu paksa kalian untuk bicara? Ibu paksa memang, supaya kita bisa memaksimalkan pemberian Tuhan kepada kita, mulut, mata, telinga. Jadi ibu tidak melarang menggunakan bahasa isyarat tapi kalau kamu bisa bicara maka itu akan lebih baik lagi,” ujar Risma, dlam cuplikan video yang ada di media sosial Twitter, pada Kamis (2/12/2021).
Stefanus mengatakan kepada Mensos Risma bahwasanya anak tuli itu memang harus menggunakan alat bantu dengar, tapi tidak untuk dipaksa berbicara. Stefanus juga mengaku dirinya kaget saat melihat Mensos Risma memaksa seorang penyandang disabilitas untuk berbicara.
“Ibu, saya harap ibu sudah mengetahui CRBD bahwasannya anak tuli itu memang harus menggunakan alat bantu dengar, tapi tidak untuk dipaksa berbicara, tadi saya sangat kaget ketika ibu memberikan pernyataan, mohon maaf bu apakah saya salah? perkenalkan nama saya Stefanus,” ujar Stefanus.
Peristiwa itu bermula ketika Risma melihat lukisan pohon yang dibuat seorang anak disabilitas rungu wicara.
Risma kemudian meminta anak tersebut untuk berbicara.
Panji Surya Putra Sahetapy yang merupakan putra dari Ray Sahetapy dan Dewi Yull, angkat bicara mengenai viralnya video Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini yang memaksa seorang anak penyandang disabilitas tunarungu di Hari Disabilitas Internasional.
Surya yang merupakan aktivis Tuli, juru bahasa isyarat yang menyelesaikan pendidikannya di Institut Teknologi Rochester, New York, Amerika Serikat itu mengkritik Risma dan menyatakan bahwa tidak semua anak bisa berbicara.
Surya Sahetapy menyampaikan kritiknya terhadap peristiwa Risma memaksa anak tunarungu bicara itu di akun Instagram @suryasahetapy.
“Tidak semua anak bisa berbicara,” tulis Surya.
Dia kemudian memaparkan sejumlah faktor yang perlu dipenuhi agar penyandang disabilitas tunarungu bisa berbicara.
“Faktor bicara itu berdasarkan tingkat pendengaran mereka, investasi alat bantu dengar yang nilai puluhan-ratusan juta, terapi wicara yang berkesinambungan yang biayanya tidak murah serta waktu orangtua untuk anaknya sendiri juga terutama sedang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” tambahnya.
Ada faktor lain yang menurut Surya tak mendukung bagi seorang anak tunarungu berbicara, yakni sistem pendidikan di tanah air.
“Belum lagi pendidikan luar biasa saat ini belum humanis. Ya ampun,” kata dia gemas.
Surya kemudian menyarankan Risma mengganti pertanyaan untuk penyandang tunarungu, bila ingin berkomunikasi dengan mereka.
“Seharusnya digantikan pertanyaan: Nak, mau sampaikan pakai apa? Boleh tulis boleh bahasa isyarat boleh berbicara dll. Biar ibu yang belajar memahamimu,” tulis Surya.
Menurut Surya, menanyakan cara komunikasi tunarungu dan bukan menentukan komunikasi mereka demi kepuasan kita, akan memahami cara apa yang nyaman bagi penyandang tunarungu.
“Hindari sikap linguicism ya kawan-kawan! Linguicism merupakan pandangan menganggap orang pakai bahasa Indonesia secara lisan lebih pintar daripada orang menggunakan bahasa isyarat. Bahasa isyarat merupakan bahasa ibuku, bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua bukan berarti saya tidak berkompeten sebagai warga negara Indonesia,” kata Surya, lansir TvOne.
Surya mengajak masyarakat untuk merombak sistem sosial dan pendidikan di Indonesia yang menurutnya kejam bagi penyandang disabilitas.
(ameera/arrahmah.com)