(Arrahmah.com) – Salah satu adab yang harus ditanamkan kepada para peserta didik adalah sifat mujahadah fi thalabil ‘ilmi. Mujahadah artinya bersungguh-sungguh. Mujahadah fi thalabil ‘ilmi artinya bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu.
Sifat inilah yang menjadi kunci kesuksesan para ulama terdahulu.
Di setiap waktu, mereka selalu berperang melawan hawa nafsu. Siang dan malam selalu lekat dengan buku. Tak kenal lelah, tak kenal jemu. Aktivitas ilmiah seperti membaca, menulis, menghafal, berdiskusi, sudah menjadi rutinitas sehari-hari.
Semua itu ditekuni dengan penuh kesabaran. Hasilnya, berkah dari keikhlasan dan ketabahan mereka, buah dari jerih payah dan perjuangan yang panjang, lahirlah karya-karya gemilang yang sangat bermanfaat.
Namun, sangat disayangkan, para penuntut ilmu di jaman sekarang seakan lupa bahwa ilmu hanya bisa didapat dengan pengorbanan. Hari ini, kebanyakan mereka terjebak dalam berbagai hal yang melalaikan. Tujuan utama untuk meraih pelajaran, hikmah dan faidah sebanyak mungkin, justru tersingkirkan karena terlalu larut dalam keasyikan dan kesenangan.
Maka dari itu, tulisan ini akan membahas sifat mujahadah yang harus selalu diperbaharui. Kemudian, akan dijelaskan juga hakikat dari toxic dopamine yang dapat membunuh sifat mujahadah, dan bagaimana cara menghadapinya agar sifat itu senantiasa terpelihara dan tidak mudah hilang.
Teladan Sifat Mujahadah dalam Menuntut Ilmu
Allah sangat mencintai orang yang mempunyai sifat mujahadah di dalam jiwanya. Hal ini sebagaimana firman-Nya yang berbunyi,
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69)
Syaikh Abu Bakar al-Jazairy menjelaskan, “Di dalam ayat ini, terdapat kabar gembira dan janji yang benar lagi mulia. Demikian itu karena orang yang bersungguh-sungguh berada di jalan Allah, karena mencari ridha Allah dengan berusaha untuk meninggikan kalimat-Nya.” (Aysar at-Tafasir li kalam al- ‘Aly al-Kabir, 4/153)
Selain itu, berbicara tentang sifat mujahadah (kesungguh-sungguhan dan keseriusan dalam menuntut ilmu), tidak afdhal rasanya jika tidak mengutip sebuah syair dari Imam Syaf’i yang sangat terkenal:
أَخِي لَنْ تَنَالَ العِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَاٍ بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَدِرْهَمٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَان
“Saudaraku, ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan rinciannya: (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) bersungguh-sungguh, (4) dirham (kesediaan uang), (5) bersahabat dengan ustadz, dan (6) waktu yang panjang.” (Diwan asy-Syafi’i, 116)
Imam Asy-Syafi’i sendiri menceritakan bahwa saat hendak mencari ilmu, ia bahkan tidak mempunyai bekal yang cukup seperti alat tulis.
Ia berkata,
“Saya seorang yatim yang tinggal bersama ibu saya. Ia menyerahkan saya ke kuttab (sekolah yang ada di masjid). Dia tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada sang pengajar sebagai upahnya mengajari saya. Saya mendengar hadits atau pelajaran dari sang pengajar, kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih, saya mengambilnya dan menulis di atasnya. Apabila sudah penuh tulisannya, saya menaruhnya di dalam botol yang sudah tua.” (Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhilihi, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/98)
Demikianlah. Meski tidak memiliki fasilitas yang memadai, asy-Syafi’i tetap bersemangat dan tidak mudah menyerah.
Untuk menumbuhkan sifat mujahadah, penting juga menyimak kutipan-kutipan dari para sahabat, tabi’in, dan ulama-ulama setelah mereka.
Seperti perkataan Abu ad-Darda radhiallahu ’anhu berikut ini,
“Seandainya saya mendapatkan satu ayat dari al–Quran yang tidak saya pahami dan tidak ada seorang pun yang bisa mengajarkannya kecuali orang yang berada di Barkul Ghamad (yang jaraknya 5 malam perjalanan dari Mekkah), niscaya aku akan menjumpainya.”
Ungkapan tersebut menunjukkan kecintaan dan keseriusan dalam memburu ilmu.
Kemudian, Sa’id bin Al Musayyab juga mengatakan, “Saya terbiasa melakukan rihlah berhari-hari hanya untuk mendapatkan satu hadits.” (Al Bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir, 9/100).
Ibnul Jauzi menceritakan, “Imam Ahmad bin Hambal sudah mengelilingi dunia sebanyak 2 kali hingga ia bisa menulis kitab Al Musnad.” (Al Jarh Wat Ta’dil, Ibnu Abi Hatim).
Imam Baqi bin Makhlad melakukan rihlah dua kali: dari Mesir ke Syam (sekitar Suriah) dan dari Hijaz (sekitar Mekkah) ke Baghdad (Irak) untuk menuntut ilmu syar’i. Rihlah pertama selama 14 tahun dan yang kedua selama 20 tahun berturut-turut. (Tadzkiratul Huffadz, 2/630)
Sebenarnya masih banyak lagi perkataan yang menunjukkan semangat dan kesungguhan ulama salaf dalam menuntut ilmu. Hanya saja, tidak cukup untuk disebutkan satu per satu dalam tulisan sederhana ini.
Bahkan, kesungguhan mereka dalam membaca dan menulis lebih menakjubkan lagi. Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari misalnya. Penghulu para ahli tafsir ini menulis setiap harinya sebanyak 14 halaman.
Belum lagi Ibnu Aqil, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayim, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Imam An-Nawawi, Imam As-Suyuthi, mereka semua menulis banyak karya, berjilid-jilid, dan sampai hari ini ilmu yang mereka tulis masih relevan meski telah berlalu berabad-abad lamanya.
Tentu saja semua itu tidak diwujudkan dengan bersantai-santai. Tetapi dengan sifat mujahadah yang selalu membara di dalam jiwa mereka.
Mengenal Toxic Dopamine dan Pengaruhnya terhadap Sifat Mujahadah dalam Menuntut Ilmu
Menurut keterangan para ahli, dopamine adalah sebuah senyawa kimiawi yang ada di otak. Senyawa ini berperan memengaruhi emosi, rasa senang, motivasi dan rasa sakit. Kadarnya bisa naik dan bisa turun. Oleh sebagian peneliti, dopamine disebut sebagai happy hormone (hormon yang memunculkan rasa bahagia).
Jika seseorang melakukan kegiatan yang menyenangkan, senyawa dopamine bisa meningkat. Salah satu contoh kegiatan yang menyenangkan adalah bermain game, sosial media, mengonsumsi makanan favorit, berselancar di dunia maya, menonton video, film, dan sebagainya.
Dopamine atau hormon kebahagiaan ini jika dilepaskan dalam jumlah besar, akan menyebabkan ketergantungan dan kecanduan (addict) seperti kasus kecanduan menggunakan zat adiktif lainnya.
Contohnya seperti bermain gadget.
Bermain gadget secara terus-menerus ternyata dapat meningkatkan produksi senyawa Dopamine secara berlebihan. Rasa senang dan nyaman bergawai ria akan menyebabkan kecanduan.
Para thalibul ilmi harus tahu, aplikasi sosial media seperti Facebook memang dikonsep menggunakan algoritma dan fitur untuk membangkitkan senyawa dopamine pada diri penggunanya.
“Facebook will continue to do everything they can to keep your eyes glued to the screen as often as possible.”
(Pihak Facebook akan terus berusaha melakukan apa pun agar mata kalian selalu melekat pada layar gadget sesering mungkin).
Demikian tulis Trevor Haynes, seorang peneliti di Departemen Neurologi di Harvard Medical School.
Inilah alasan kenapa seseorang sangat betah bermain game atau bermedia sosial hingga tidak terasa ternyata telah menghabiskan waktu selama berjam-jam.
Tetapi, ketika tiba saatnya membaca buku, walau baru sepuluh menit, rasa suntuk dan bosan langsung datang menyerang. Itulah akibat apabila seseorang selalu membanjiri otaknya dengan dopamine.
Singkat kata, dopamine adalah zat yang harus dikontrol. Jika tidak, ia akan menjadi toxic (dopamine toxicity): racun yang mempunyai daya rusak terhadap otak.
Selain itu, secara kaidah, dopamine seharusnya muncul apabila seseorang benar-benar merasakan kebahagiaan yang nyata. Misalnya seperti berhasil meraih cita-cita, mendapat rezeki yang melimpah, memperoleh beasiswa ke luar negeri, berjodoh dengan sosok yang diidamkan, dan sebagainya.
Namun, kebanyakan orang hari ini bagai penikmat ekstasi, mencari kepuasaan dan kesenangan pada hal-hal yang semu.
Contohnya seperti mendapat like dan komentar di akun sosial media sosial semacam facebook dan instagram, terhibur dengan video-video lucu, atau sekedar menang game online yang tidak berhadiah apa-apa, karena merasa itu permainan yang seru, hati seseorang langsung berbunga-bunga. Padahal semua itu adalah reward palsu.
Nah, apabila seorang penuntut ilmu merasakan hal yang demikian, berarti otaknya harus diistirahatkan. Maksud “diistirahatkan” di sini bukan berarti tidak difungsikan sama sekali. Akan tetapi justru otak itu diberhentikan untuk sementara waktu dari memproduksi dopamine semu.
Tujuan utamanya adalah mengatur ulang definisi kebahagian dan kesenangan. Sehingga fungsi otak kembali berjalan dengan normal.
Adalah masalah jika seorang penuntut ilmu kecanduan konten-konten dan fitur-fitur seperti yang sudah dijelaskan di atas. Karena seorang pelajar, baik itu santri di ma’had atau siswa di sekolah umum, seharusnya kecanduan buku. Bukan malah ketagihan game online, berita gosip, lawakan receh, tayangan yang tidak mendidik dan sebagainya.
Sekali lagi perlu dipertegas, bahwa dalam konteks thalabul ‘ilmi, jika toxic dopamine tidak segera diatasi, virus malas akan semakin mengakar. Atmosfer keilmuan akan hilang. Kultur akademik akan punah. Budaya literasi akan mati. Akibatnya, generasi yang akan datang semakin terjebak dalam kebingungan (confuse).
Lalu, Bagaimana Cara Menanggulangi Toxic Dopamine Agar Tidak Mengikis Sifat Mujahadah
Cukup sederhana sebenarnya, yaitu dengan mengurangi aktivitas di dunia maya dan lebih menyibukkan diri menyelesaikan kerja-kerja di dunia nyata. Kalau pun harus on line dan mengakses internet, jangan biarkan jari-jari tangan mencari ‘kesenangan’ semu.
Bagi para thalibul ilmi yang terlanjur memiliki ketergantungan dengan sosial media di gadget-nya, barangkali dapat menempuh beberapa treatment berikut ini:
Pertama, minta pertolongan Allah subhanahu wata’ala agar disembuhkan dari ‘penyakit’ ketergantungan pada gadget, baik sosial media, video, atau pun game.
Kedua, sadarkan betul diri sendiri bahwa ketergantungan dengan sosial media memiliki dampak buruk—berupa penyakit mental dan perubahan struktur otak bagi diri sendiri—dan orang di sekitar.
Ketiga, Susun jadwal proses pengurangan durasi penggunaan gadget dan maksimalkan pada aktivitas dunia nyata. Jauhkan gadget dari fisik selama jadwal aktivitas untuk dunia nyata: baca kitab, meringkas dan menuliskan faidah ilmu hasil bacaan, diskusi, dan aktivitas keseharian lainnya.
Keempat, jika berinisiatif memanfaatkan gadget untuk sarana belajar seperti membaca kitab versi PDF, mengakses Maktabah Syamilah versi Android, menyimak kajian via Youtube, mendengarkan audio kajian ilmu, dan semisalnya, aktifkan mode mute notification. Jika tidak menggunakan akses internet, nonaktifkan data internet pada gadget.
Kelima, metode lain untuk mengurangi intensitas interaksi dengan sosial media adalah membuat simulasi agar otak kita menjadi tidak begitu suka dengan sosial media. Salah satu caranya, aktifkan mode black-white screen atau mode layar hitam-putih (jika gadget sudah memiliki fitur ini) saat mengakses sosial media.
Dalam artikel berjudul ‘Dopamine, Smartphones & You: A battle for your time’ disebutkan bahwa cara ini dapat mengurangi perhatian seseorang pada gadget.
Keenam, ketika hendak mengakses sosial media, ucapkan ta’awudz dan bismilah. Lalu katakan berulang-ulang pada diri sendiri kalimat ini: ‘Apakah ini benar-benar akan membuat waktu saya lebih berarti?’
Dengan beberapa ikhtiar tersebut, harapannya proses thalabul ‘ilmi akan lebih fokus. Pikiran tenang, segar, semangat dan sifat mujahadah akan hidup kembali. In sya’a Allah, ke depannya, akan lebih produktif.
Oleh: Muhammad Faishal Fadhli/dakwah.id
(*/Arrahmah.com)