JAKARTA (Arrahmah.com) – Tingkat kepercayaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menurun, dari 58,3 persen pada Oktober 2005 menjadi 41,6 persen pada Juni 2011, demikian yang diungkapkan hasil survei dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI).
Peneliti LSI Adjie Alfaraby, mengungkapkan hal tersebut kepada pers di Jakarta, pada Ahad (7/8/2011) dengan menjelaskan bahwa hasil survei persepsi opini publik tersebut menunjukkan bahwa selama enam tahun terakhir terdapat penurunan sekitar 17 persen atas kepercayaan terhadap KPK.
Survei tersebut menggunakan dua metode penelitian yaitu pertama riset kuantitatif yang diawali pengumpulan data pada Juni 2011 menggunakan metode “multistage random sampling”, dengan melakukan wawancara tatap muka dengan kuesioner kepada 1.200 responden dan tingkat kesalahan sekitar 2,9 persen.
Kedua, survei itu menggunakan metode riset kualitatif yaitu wawancara mendalam, dan media analis sejak bulan Juli dan Agustus 2011.
LSI juga menemukan bahwa responden yang puas atas penanganan KPK terhadap kasus korupsi Sesmenpora sebanyak 29,7 persen, sedangkan yang tidak puas mencapai 46,3 persen responden, dan yang tidak menjawab 24,0 persen.
Adjie mengatakan, hasil survei kepercayan publik atas KPK terhadap kasus umum yang tidak berhubungan tokoh atau partai yang berkuasa pada Oktober 2005 mencapai 59,1 persen, atau masih sama dengan hasil survei pada Juni 2011 yaitu 59 persen.
Namun, untuk survei kepercayaan publik atas KPK terhadap kasus yang berhubungan dengan tokoh atau partai yang berkuasa pada Oktober 2005 mencapai 58,3 persen, sedang survei yang sama pada Juni 2011 hanya 41,6 persen.
Adjie berpendapat berdasarkan hasil survey tersebut, ada empat alasan tentang penurunan tingkat kepercayaan atas KPK, pertama adanya penurunan keberanian oleh KPK dalam penanganan korupsi khususnya yang berhubungan dengan penguasa.
Kedua, pimpinan KPK dipandang atau dipersepsikan sudah tersub-ordinasi oleh kekuasaan, sebagai contoh kasus Century, sampai sekarang belum jelas penyelesaiannya.
Ketiga, KPK dipersepsikan diliputi “mafia hukum”, dan alasan keempan yakni pimpinan KPK dipersepsikan “main mata” dengan kelompok tertentu, sehingga penanganan korupsi dinilai responden masih tebang pilih.
Berdasar hasil survei tersebut LSI mengusulkan agar indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan Transparency International (TI) menjadi ukuran jika ingin membubarkan KPK. Indeks persepsi korupsi Indonesia pada 2010 pada angka 2,8 (korupsi masih tinggi), sedang Singapura pada angka 9,3.
Menanggapi hal tersebut KPK menuding LSI telah melakukan survey berdasarkan pesanan. Sehingga hasil survey mereka pun bersifat pesanan.
“Momentum survei bertepatan dengan pernyataan serangan balik koruptor KPK sehingga lembaga survey itu bisa saja dituding melakukan survey atas dasar pesanan,” kata Wakil Ketua KPK M Jasin melalui pesan singkatnya yang diterima wartawan, Senin (8/8).
Menurut Jasin, sejauh ini pihaknya telah dan bekerja secara profesional, independen, dan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. KPK tidak bekerja berdasarkan arahan atau permintaan dari partai politik dan kelompok tertentu.
“Siapapun yang bisa dibuktikan mengarah pada tindak pidana, KPK pasti memprosesnya,” ucapnya.
Jasin menambahkan KPK juga telah bekerja dengan baik memenuhi ekspektasi masyarakat terhadap pemberantasan korupsi. Fakta menunjukkan pimpinan KPK periode II (2007-2011) telah menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR sebanyak 44 orang dari berbagai partai yang dua di antaranya berasal dari partai penguasa. Keduanya juga masih berstatus anggota DPR aktif. Tak hanya anggota DPR, KPK, lanjut Jasin, juga telah menindak dua bupati yang masih aktif.
KPK juga memproses delapan orang menteri, delapan gubernur, enam komisioner dari KPU, KY, dan KPPU. “Dan sebanyak 26 bupati atau walikota, empat orang hakim, empat duta besar, empat konsul jenderal, satu gubernur BI dan empat deputi senior BI. Lalu dua jaksa, dua pengacara, satu kurator, dan banyak Direktur Utama BUMN,” katanya.
“Fakta itu adalah nyata yang menunjukkan KPK bebas dari intervensi manapun,” imbuhnya.
Sementara itu, terkait tudingan tentang survey pesanan yang dituduhkan KPK, LSI membantah apa yang dilakukannya terkait hasil survei terhadap KPK adalah pesanan dari pihak-pihak tertentu.
“Kalau pesanan dari mana? Orang yang menuduh seperti itu mungkin banyak dan punya kepentingan terhadap isu itu. Tapi ini adalah survey rutin dan reguler yang kita lakukan dan banyak juga isu yang kita uji dalam survey itu, tidak hanya soal KPK,”ujar Peneliti Lingkaran Survey Indonesia, Adjie Al Faraby ketika dihubungi wartawan, Senin(8/8).
Adjie juga membantah LSI didanai oleh pihak-pihak yang berkepentingan menjatuhkan KPK.
“Kami danai sendiri dari hasil profit kami, kan kami adalah lembaga survey dapat kontrak-kontrak survey juga tentang pilkada dan lain-lain, dan juga dimintai jasa-jasa konsultan juga, dan memang setiap 6 bulan kita lakukan survey rutin dan reguler. Jadi sebetulnya tidak ada istilah pesanan dalam survey ini karena ini netral,” katanya. (dbs/arrahmah.com)