JAYAPURA (Arrahmah.com) – Kinerja intelijen di Papua perlu dievaluasi karena tak bisa memberikan peringatan dini menyakut sejumlah masalah di Papua belakangan ini, demikian yang diungkapkan ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua, Ruben Magai.
“Kinerja sejumlah intelijen perlu dievaluasi, baik itu dari TNI, Polri, Kejaksaan, Kesbangpol atau lembaga terkait lainnya. karena tidak bisa melakukan pendeteksian dini dan memberikan masukan terkait sejumlah kekerasan di Papua belakangan ini,” katanya di Jayapura, Minggu (7/8/2011).
Ia berpendapat, peran intelijen sebagai ujung tombak utama dari suatu lembaga mempunyai peran yang sangat vital.
“Mereka merupakan pencari informasi yang utama bagi para pengguna,” katanya.
Ruben menunjuk kekerasan yang terjadi di Kampung Nafri, Kota Jayapura akhir tahun lalu yang menewaskan seorang korban. Sementara itu awal Agustus ini tiga warga sipil dan satu anggota TNI serta sembilan orang terluka gara-gara kekerasan serupa.
Seperti yang diketahui, awal Agustus ini Nafri diserang, pesawat helikopter milik TNI di Papua diberondong peluru di Puncak Senyum, Puncak Jaya selagi mengevakuasi seorang anggota TNI korban serangan di tempat tugasnya yang tewas tertembus peluru oleh sipil bersenjata.
Meskipun demikian sipil bersenjata tersebut tak pernah disebut-sebut sebagai teroris. Padahal, penyerangan terhadap polisi juga pernah terjadi di Bima dan pelakunya dicap dengan stigma teroris. Sepertinya aparat maupun media seolah sudah mempunyai kategori sendiri terhadap personel maupun kelompok yang disebut teroris. Latah dengan yang dilakukan media barat dan negara-negara sekuler, aparat dan media Indonesia menyebut teroris hanya disematkan pada kaum muslim. Ada apa dibalik opini stigma teroris? Wallohua’lam. (ans/arrahmah.com)