KHARTOUM (Arrahmah.com) — Pasukan keamanan Sudan menembak mati dua orang selama unjuk rasa massal menentang kudeta militer, menurut ikatan dokter negara Sudan, pada Sabtu (30/10/2021).
Komite, yang merupakan bagian dari Asosiasi Profesional Sudan, mengatakan pasukan keamanan menggunakan peluru tajam terhadap pengunjuk rasa di Omdurman dan tempat-tempat lain di ibu kota. Sejumlah pengunjuk rasa juga disebut terluka.
Penembakan terjadi meskipun Barat berulang kali meminta penguasa militer baru Sudan untuk menahan diri dan mengizinkan unjuk rasa damai.
Dilansir Al Jazeera (30/10), ribuan orang Sudan turun ke jalan, di mana peluit dan genderang mengiringi nyanyian “revolusi, revolusi” sebagai protes atas kudeta pekan ini, yang mengancam akan menggagalkan transisi negara itu menuju demokrasi.
Kelompok-kelompok pro-demokrasi menyerukan unjuk rasa di seluruh negeri, menuntut dikembalikannya pemerintahan yang digulingkan dan membebaskan tokoh-tokoh politik senior yang ditangkap.
AS dan PBB memperingatkan orang kuat Sudan, Jenderal Abdel-Fattah Burhan untuk menahan diri dan menganggap unjuk rasa sebagai ujian.
Burhan mengklaim transisi menuju demokrasi akan terus berlanjut meskipun militer mengambil alih kekuasaan.
Burhan berjanji akan segera mengangkat pemerintahan teknokrat baru.
Gerakan pro-demokrasi khawatir militer tidak mengurangi cengkeramannya, dan akan menunjuk politisi yang dapat dikontrolnya.
Unjuk rasa Sabtu dapat meningkatkan tekanan pada para jenderal yang menghadapi kecaman dari AS dan negara-negara Barat lainnya untuk memulihkan pemerintahan sipil.
Demonstrasi diserukan Asosiasi Profesional Sudan dan yang disebut Komite Perlawanan. Keduanya berada di garis depan pemberontakan yang menggulingkan otokrat lama Omar al Bashir dan pemerintah Islamnya pada 2019.
Mereka menuntut pembubaran dewan militer yang sekarang berkuasa, dipimpin oleh Burhan, dan penyerahan pemerintah kepada warga sipil.
Mereka juga menuntut pembubaran kelompok paramiliter dan penataan kembali badan-badan militer, intelijen, dan keamanan. Mereka ingin para perwira yang setia kepada al Bashir disingkirkan.
Di tempat lain pada Sabtu, pasukan keamanan menembakkan gas air mata ke pengunjuk rasa ketika mereka berusaha menyeberangi Jembatan Manshia di atas Sungai Nil untuk mencapai pusat kota Khartoum, juru bicara asosiasi profesional, Mohammed Yousef al-Mustafa.
“Tidak ada lagi mediasi pembagian kekuasaan dengan dewan militer,” jelasnya, dikutip dari Al Arabiya, Ahad (31/10).
“Mereka (para jenderal) telah gagal dalam transisi dan melakukan kudeta.”
Sebelum unjuk rasa, pasukan keamanan menutup jalan-jalan utama dan jembatan yang menghubungkan lingkungan Khartoum.
Keamanan ketat diberlakukan di pusat kota dan di luar markas militer, lokasi unjuk rasa utama dalam pemberontakan 2019.
Sejak kudeta militer, terjadi demo di jalanan setiap hari. Dengan penembakan fatal pada Sabtu, jumlah keseluruhan orang yang terbunuh oleh pasukan keamanan sejak kudeta meningkat menjadi 11, menurut Komite Dokter dan aktivis Sudan.
Setidaknya 170 lainnya terluka, menurut PBB.
Ada kekhawatiran pasukan keamanan akan kembali menggunakan kekerasan untuk membubarkan pengunjuk rasa.
Sejak Senin, pasukan keamanan menembakkan peluru tajam, peluru karet dan gas air mata ke arah demonstran anti-kudeta. Mereka juga memukuli pengunjuk rasa dengan tongkat dan cambuk. (hanoum/arrahmah.com)