XINJIANG (Arrahmah.com) — Tiga perusahaan raksasa Amerika Serikat (AS) di sektor ritel mencekal produk dari perusahaan Cina karena diduga terlibat pelanggaran HAM terhadap warga Muslim Uighur di Xinjiang.
Dilansir Engadget.com (26/10/2021), produk yang dicekal berasal dari perusahaan spesialis teknologi pengawasan Lorex dan Ezviz setelah ada laporan media dua perusahaan tersebut terlibat dalam pelanggaran HAM di kawasan Xinjiang, Cina, tempat tinggal warga Muslim Uighur dan kelompok minoritas Muslim lainnya.
Menurut TechCrunch dan IPMV, raksasa ritel seperti Best Buy, Home Depot, dan Lowe’s telah menghentikan kontrak dengan Lorex dan Ezviz setelah dua media tersebut mempertanyakan kemitraan mereka.
Dalam emailnya ke VOA Mandarin, Home Depot mengatakan telah menghentikan penjualan produk-produk Lorex dan Ezviz. “Kami berkomitmen untuk menerapkan standar tertinggi dalam etika pengadaan barang kami dan kami langsung berhenti menjual produk-produk ini ketika kami mendapatkan informasi tentang masalah tersebut (pelanggaran HAM di Xinjiang),” jelas Home Depot. Pernyataan ini juga bisa ditemukan di laman resmi perusahaan.
Best Buy, perusahaan ritel AS untuk barang-barang elektronik, mengatakan kepada TechCrunch bahwa mereka telah “menghentikan kerjasama” dengan Lorex dan Ezviz. Sementara itu Lowe’s, ritel peralatan rumah tangga AS, tidak memberikan jawaban.
Namun berdasarkan penelusuran baru-baru ini di website mereka, produk-produk pengawasan Lorex atau Ezviz tidak lagi tersedia.
Lorex adalah anak perusahaan dari Dahua Technology. Sementara Ezviz adalah merek kamera video pengawasan milik Hikvision. Dahua dan Hikvision masuk ke daftar hitam pemerintah AS pada 2019 karena memasok teknologi yang digunakan Beijing untuk mengawasi kelompok etnis.
Namun karena sanksi 2019 hanya mencakup penjualan ke badan-badan pemerintah federal AS, perusahaan Lorex dan Ezviz tetap bebas menjual produk mereka kepada pembeli sektor swasta.
Pertumbuhan perusahaan-perusahaan Cina dalam sektor alat-alat pengintaian menggambarkan ketergantungan Beijing yang semakin besar pada alat-alat teknologi untuk memonitor kehidupan warganya di Xinjiang dan untuk memperluas infrastruktur pengawasan yang sudah luas di seluruh penjuru Cina.
Menurut Human Rights Watch, Biro Keamanan Publik Xinjiang menggunakan apa yang mereka sebut sebagai Platform Operasi Gabungan Terpadu, sebuah sistem yang mengumpulkan data penduduk melalui pemindai iris mata, kamera digital dengan pengenalan wajah, sampel DNA, dan data ponsel.
Dalam Laporan Negara Terkait Praktik Hak-hak Asasi Manusia 2020 di bagian Cina, Deplu AS menyebutkan Hikvision dan perusahaan teknologi lain terlibat dengan pengembangan “alarm Uighur” yang menggunakan sistem kamera pemindai wajah.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa pemerintah Cina melakukan pelanggaran keras hak asasi manusia terhadap etnis Uighur, termasuk “penahanan massal lebih dari satu juta etnis Uighur dan anggota kelompok minoritas Muslim lainnya di kamp-kamp interniran ekstrayudisial dan dua juta orang lainnya yang harus mengikuti pelatihan ‘pendidikan ulang’ yang berlangsung di siang hari.”
Pemerintah Cina, yang menuduh etnis Uighur menjunjung ide-ide ekstremis dan separatis, membantah tuduhan itu, dan mengatakan kamp-kamp di Xinjiang adalah tempat “pendidikan ulang” yang bertujuan untuk memberantas terorisme. (hanoum/arrahmah.com)