JAKARTA (Arrahmah.com) – Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan menyoroti sikap Kejaksaan Agung yang tidak menahan dua polisi yang menjadi terdakwa pembunuhan di luar hukum (unlawful killing) terhadap sejumlah laskar FPI.
Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan menyoroti sikap Kejaksaan Agung yang tidak menahan dua polisi yang menjadi terdakwa pembunuhan di luar hukum (unlawful killing) terhadap sejumlah laskar FPI.
Kedua terdakwa pembunuh laskar FPI itu ialah Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella.
Keduanya merupakan anggota Polda Metro Jaya.
Dalam pendapat hukumnya, Chandra menyampaikan tiga catatan.
Pertama, berdasarkan Pasal 21 Ayat 4 KUHAP yang mengatur mengenai alasan objektif penahanan, disebutkan bahwa penahanan bisa dilakukan apabila pelaku tindak pidana diancam penjara lima tahun atau lebih.
Sementara dalam perkara pembunuhan empat laskar FPI itu, katanya, terdakwa dikenakan Pasal 338 KUHP Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 351 Ayat (3) KUHP Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP yang secara keseluruhan pidana penjaranya lima tahun atau lebih.
Kedua, lanjutnya, mengingat perbuatan yang diduga dilakukan oleh terdakwa adalah menghilangkan nyawa orang lain, terlebih lagi keduanya merupakan aparatur negara. Semestinya terdakwa dilakukan penahanan sejak penetapan sebagai tersangka.
Dia menilai ada perbedaan perlakuan aparat penegak hukum terhadap kedua oknum polisi yang didakwa pembunuh laskar FPI itu dengan kasus pidana mengenai masyarakat sipil, misalnya, tersangka UU ITE biasanya langsung dilakukan penahanan.
“Sepanjang pendampingan yang kerap dilakukan, LBH Pelita Umat terkadang sulit memperoleh penangguhan penahanan baik di tingkat kepolisian maupun kejaksaan,” ungkapnya.
“Ketiga, tindakan tidak melakukan penahanan terhadap terdakwa dikhawatirkan berpotensi menghilangkan barang bukti. Terlebih lagi, yang bersangkutan memiliki latar belakang sebagai aparat keamanan,” pungkas Chandra, lansir JPNN.