Arrahmah.com – Secara hukum fiqih, shaum kita dianggap sah apabila kita telah memenuhi syarat dan rukun shaum, serta menjauhi hal-hal yang membatalkannya. Meski demikian, agar shaum bisa mengantarkan kita ke tingkatan takwa yang sesungguhnya, ketentuan fiqih tersebut belumlah cukup. Kita juga wajib menjaga adab-adab dan sunah-sunah Ramadhan. Kita harus meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang tidak membawa manfaat di dunia dan akhirat kelak.
Di antara adab-adab yang harus diperhatikan dan kebiasaan-kebiasaan buruk yang harus ditinggalkan adalah pesan-pesan Rasulullah SAW dalam beberapa hadits berikut ini.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ ))
Dari Abu Hurairah RA. berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan dusta, niscaya Allah tidak memerlukan usaha dirinya dalam meninggalkan makanan dan minumannya (shaum).” (HR. Bukhari no. 1903, Abu Daud no. 2015, Tirmidzi no. 641, Ibnu Majah no. 1689, dan Ahmad no. 9529)
Dalam riwayat Abu Hurairah yang lain dengan lafal:
(( مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ ))
“Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dusta, perbuatan dusta, dan (ucapan atau perbuatan) kebodohan, niscaya Allah tidak memerlukan usaha dirinya dalam meninggalkan makanan dan minuman (shaum).” (HR. Bukhari no. 6057, Ibnu Majah no. 1689, dan Ahmad no. 8529)
Dalam riwayat Anas bin Malik dengan lafal:
(( مَنْ لَمْ يَدَعْ الْخَنَا وَالْكَذِب ))
“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan yang kotor dan kedustaan…” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, para perawinya tsiqah)
Hadits-hadits di atas mewajibkan orang yang shaum untuk menjauhi beberapa perbuatan buruk berikut ini:
Pertama, qaul az-zuur
Para ulama menjelaskan bahwa qaul az-zuur adalah al-kadzib, yaitu kebohongan sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Ath-Thabarani dari Anas bin Malik di atas. Kebohongan atau kedustaan adalah mengatakan sesuatu hal yang tidak sesuai dengan realita yang sebenarnya. Asal makna kata az-zuur sendiri adalah melenceng dari kebenaran. Perkataan dusta atau bohong (al-kadzib) disebut az-zuur karena menyimpang dari kebenaran dan realita. (Al-Mufradat fi Gharibil Qur’an, entri zuur)
Orang yang melakukan shaum dituntut untuk senantiasa waspada, berhati-hati, dan menjaga lisannya. Ia tidak boleh sembarangan mengobral ucapan. Ucapan yang tidak membawa manfaat di dunia dan akhirat wajib ditinggalkannya. Apalagi membicarakan hal-hal yang dilarang agama, sudah tentu hukumnya haram. Jangankan menggunjing (ghibah), mengadu domba (an-namimah), atau memfitnah; sekedar bercanda alias melawak pun dilarang apabila mengandung unsur kebohongan. Perkataan orang yang shaum harus senantiasa jujur, benar, dan sesuai realita.
Sekalipun hanya beberapa patah kata, berbohong bisa berakibat fatal; shaumnya tidak mendapat pahala sama sekali! Kok begitu?
Barangkali selama ini kita tidak menganggap besar perkara kebohongan ini. Jika kita mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW, niscaya kita akan mampu memahami betapa besarnya dosa kebohongan. Allah SWT menyetarakan besarnya dosa menyembah berhala (syirik) dengan dosa kebohongan dalam firman-Nya,
“Maka jauhilah oleh kalian (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan yang dusta!” (QS. Al-Hajj (22): 30)
Rasulullah SAW juga memasukkan kebohongan dalam tiga tangga teratas dosa besar, bersama dengan dosa syirik dan durhaka kepada kedua orang tua. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
عن أَبي بكرة نُفَيع بن الحارثَ رضي الله عنه قالَ : قَالَ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم : (( ألا أُنَبِّئُكُمْ بأكْبَرِ الكَبَائِرِ ؟ )) – ثلاثاً – قُلْنَا : بَلَى ، يَا رَسُول الله ، قَالَ :
(( الإشْرَاكُ بالله ، وَعُقُوقُ الوَالِدَيْنِ )) ، وكان مُتَّكِئاً فَجَلَسَ ، فَقَالَ : (( ألاَ وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ )) فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا : لَيْتَهُ سَكَتَ .
Dari Abu Bakrah Nufai’ bin Harits RA berkata Rasulullah SAW bertanya sebanyak tiga kali, “Maukah apabila aku beritahukan kepada kalian dosa besar yang paling besar?” Kami menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau SAW bersabda, “Yaitu menyekutukan Allah dengan selain-Nya (syirik) dan durhaka kepada kedua orang tua.” Saat itu beliau SAW sedang bersandar, maka beliau lantas duduk dan meneruskan sabdanya, “Juga perkataan dusta dan kesaksian dusta.” Beliau terus-menerus mengulang sabdanya (yang terakhir) sampai-sampai kami berkomentar, “Alangkah baiknya apabila beliau diam.” (HR. Bukhari no. 2654 dan Muslim no. 87)
Kedua, al-‘amal biz-zuur
Al-‘amal biz-zuur adalah melakukan tindakan dusta, yaitu melakukan perbuatan yang didasarkan atas manipulasi dan kebohongan. Misal, seorang anak berpamitan kepada orang tuanya untuk berangkat ke sekolah, namun ia justru jalan-jalan cuci mata di supermarket. Dengan alasan rapat guru, seorang guru tidak mengajar di dalam kelas dan justru ngrumpi atau membaca koran di kantor. Dengan alasan kelancaran kerja, pejabat menggunakan uang negara untuk memperoleh mobil dinas yang baru, padahal sebenarnya ia ingin menikmati kemewahan secara gratis. Contoh perbuatan dusta di tengah kehidupan masyarakat kita sangatlah banyak. Walau seringkali dianggap biasa dan lumrah, tetap saja perbuatan dusta adalah dosa besar yang bisa mengakibatkan gugurnya pahala shaum.
Ketiga, al-jahl
Keempat, al-‘amal bil jahl
Dalam riwayat Al-Bukhari (no. 6057), teks hadits menyebutkan; qaulaaz zuur, al-‘amal bihi, dan al-jahl (perkataan dusta, tindakan dusta, dan kebodohan). Adapun riwayat Ibnu Majah (no. 1689), teks hadits menyebutkan: qaulaz zuur, al-jahl, dan al-‘amal bih (perkataan dusta, ucapan bodoh, dan tindakan bodoh). Apabila kedua riwayat ini dipadukan, maka bisa disimpulkan bahwa Nabi SAW melarang empat hal dalam hadits tersebut, yaitu perkataan dusta, tindakan dusta, ucapan yang bodoh dan tindakan yang bodoh. Khusus tentang ucapan yang bodoh dan tindakan yang bodoh, kita telah membahasnya dalam makalah Ramadhan #4, silahkan membacanya kembali. Untuk meringkas, di sini tidak akan kita tulis ulang.
Ada satu hal penting yang diingatkan oleh para ulama berkenaan dengan tindakan yang bodoh. Dalam Kifayatul Hajah fi Syarh Sunan Ibni Majah (2/170), imam Muhammad bin Hayat As-Sindi menulis: “Seluruh perbuatan maksiat merupakan tindakan yang bodoh.”
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menulis, “Kebodohan itu ada dua jenis; (1) tidak mengetahui ilmu yang bermanfaat dan (2) tidak mengamalkan konskuensi ilmu yang bermanfaat. Keduanya disebut kebodohan menurut pengertian bahasa, budaya, syariat, dan realita. Sebagaimana disebutkan oleh firman Allah SWT,
Musa menjawab: “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang bodoh.” (QS Al-Baqarah (2): 67)
Yusuf berkata: “Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku (untuk berzina). Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf: 33)
Tidak mengamalkan ilmu tentang kebenaran disebut kebodohan, karena ia tidak mengambil manfaat dari ilmunya sehingga posisinya disetarakan dengan orang yang bodoh. Atau karena ia tidak mengerti akibat negatif dari perbuatan buruknya kelak.” (Madarijus Salikin fi Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, 1/469-470)
Imam Syihabuddin Mahmud Al-Alusi menulis, “Para shahabat Nabi SAW menyatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan yang buruk, maka sejatinya ia adalah orang yang bodoh, meskipun ia mengetahui perbuatannya tersebut bertolak belakang dengan kebenaran.” (DR. Ali Al-Jundi, Fi Tarikh Al-Adab Al-Jahili, hlm. 8).
Dari penjelasan para ulama di atas bisa disimpulkan…
Sesungguhnya semua bentuk maksiat wajib kita jauhi selama melaksanakan shaum, yang besar maupun kecil, yang terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, karena ia merupakan tindakan yang bodoh. Semuanya demi kesempurnaan pahala dan manfaat shaum kita.
Akibat Tidak Mengindahkan Petuah Nabi SAW
Bagaimana jika kita melakukan shaum, namun kita tidak menjauhi perbuatan-perbuatan buruk di atas? Rasulullah SAW telah menerangkan akibat buruknya dengan sabda beliau:
فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Niscaya Allah tidak memerlukan usaha dirinya dalam meninggalkan makanan dan minumannya (shaum).” (HR. Bukhari no. 1903, Abu Daud no. 2015, Tirmidzi no. 641, Ibnu Majah no. 1689, dan Ahmad no. 9529)
Apa maksud dari sabda Nabi SAW di atas?
Mari kita simak penjelaskan para ulama berikut ini:
Imam Ibnu Bathal Al-Maliki mengatakan, “Maksudnya bukanlah ia diperintahkan untuk tidak melakukan shaum. Namun maksudnya adalah peringatan agar ia meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan buruk lainnya yang disebutkan dalam hadits ini.”
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Asy-Syafi’i berkata, “Adapun sabda beliau SAW “Allah tidak membutuhkan…” tidak boleh dipahami kebalikannya (jika ia meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk tersebut saat shaum, maka Allah membutuhkan shaumnya—edt). Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan sesuatu pun. Namun makna hadits tersebut adalah Allah tidak menginginkan shaum orang tersebut. Jadi, Nabi SAW menyebutkan ‘kebutuhan’ dalam kedudukan ‘keinginan’. Imam Abu Umar Ibnu Abdil Barr Al-Maliki juga telah menjelaskan pengertian seperti ini.
Imam Ibnu Munayyir mengatakan: “Sabda Nabi SAW “Allah tidak membutuhkan…” merupakan bahasa kiasan bahwa Allah SWT tidak menerima shaumnya. Sebagaimana halnya orang yang meminta orang lain untuk melakukan sesuatu namun orang yang diminta tersebut tidak mau mengerjakannya, maka orang yang meminta tersebut marah dan berkata; “Kalau begitu, aku tidak butuh pekerjaanmu!” Jadi, maksud hadits ini adalah tertolaknya shaum yang dicampuri oleh perkataan dusta dan perbuatan-perbuatan yang dilarang tersebut. Dalil yang semakna dengan hal ini adalah firman Allah SWT,
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj (22):37)
Maksud ayat ini adalah sembelihan kalian tidak akan mendapatkan ridha Allah yang menjadi sebab bagi diterimanya amal kalian.
Imam Abu Bakar Ibnu Al-‘Arabi Al-Maliki mengatakan: “Konskuensi dari hadits ini, shaum orang yang melakukan larangan-larangan tersebut tidak akan diberi pahala. Maksudnya, pahala shaumnya terlalu kecil bila dibandingkan dengan besarnya dosa dari perkataan dusta dan perbuatan-perbuatan buruk tersebut.
Imam Al-Baidhawi Asy-Syafi’i mengatakan: “Tujuan disyariatkannya shaum bukanlah lapar dan dahaga itu sendiri, melainkan dampaknya yaitu meredam nafsu syahwat dan menundukkan nafsu ammarah bis-su’ (jiwa yang selalu mengajak kepada kejahatan) kepada nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang dalam ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya SAW). Jika tujuan ini tidak tercapai, niscaya Allah tidak akan menerima shaumnya. Jadi sabda Nabi SAW “Allah tidak membutuhkan…” merupakan bahasa kiasan bahwa Allah SWT tidak menerima shaumnya. Beliau SAW meniadakan sebab (Allah SAW tidak butuh..edt) namun maksudnya adalah peniadaan akibat (Allah tidak menerima..edt).” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 4/140).
Jika Allah SWT tidak menerima shaum kita…
Jika Allah SWT tidak memberi pahala sedikit pun atas shaum kita…
Jika tarawih, tadarus Al-Qur’an, dan amal-amal shalih kita yang lain juga tidak diterima-Nya…tidak diridhai-Nya…tidak diberi pahala oleh-Nya…
Karena kita masih saja berkata dusta…berbuat dusta…mengucapkan ucapan yang sia-sia…melakukan perbuatan yang sia-sia…melakukan hal-hal yang diharamkan…
Maka sungguh kita adalah orang yang sangat merugi…
Maka sungguh kita adalah orang yang capek bekerja tanpa mendapat apa-apa…
Kita, dengan demikian, termasuk golongan yang difirmankan Allah SWT…
“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka).” (QS. Al-Ghasyiyah (88): 2-4)
Kita, dengan demikian, termasuk golongan yang disabdakan oleh Nabi SAW …
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ ))
Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Betapa banyak orang yang melakukan shaum namun hanya mendapatkan rasa lapar dan haus belaka. Betapa banyak orang yang melakukan qiyam (tarawih dan witir) namun hanya mendapatkan begadang (capek dan kantuk) belaka.” (HR. Ahmad no. 8639, Ibnu Majah no. 1690, Ad-Darimi no. 2604, Abu Ya’la no. 6551. Al-Hafizh Al-Bushiri dalam Zawaid Ibnu Majah menyatakan sanadnya lemah, sedangkan Al-Albani menshahihkan sanadnya dalam Shahih Jami’ Shaghir no. 3488)
Menjelaskan hadits ini, imam Al-Ghazali Asy-Syafi’i mengatakan, “Ada ulama yang menyatakan maksudnya adalah orang yang berbuka puasa dengan makanan yang haram, atau orang yang berbuka puasa dengan menyantap daging manusia lewat ucapan ghibah (menggunjing), atau orang yang tidak menjaga anggota badannya dari perbuatan-perbuatan dosa.”
Ya Allah SWT…bimbinglah kami dan berilah kekuatan kepada kami agar kami mampu menjaga shaum kami dari segala perbuatan dosa dan maksiat…
Ya Allah SWT…terima dan ridhailah shaum kami, qiyam kami, tilawah kami, dan seluruh amal kebajikan kami di bulan Ramadhan ini…
Allahumma Amien.
Risalah Ramadhan Arrahmah.com #5
Oleh: Muhib al-Majdi
http://www.arrahmah.com
filter your mind, get the truth