JAKARTA (Arrahmah.com) – Jaksa penuntut umum kasus pembunuhan enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) mengungkapkan bahwa terdakwa yang merupakan anggota polisi dari Polda Metro Jaya telah melakukan penembakan jarak dekat yang mematikan, yakni kurang dari satu meter hingga hanya beberapa sentimeter.
Jaksa Zet Tadung Allo dalam dakwaannya yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengatakan beberapa penembakan mematikan itu dilakukan saat polisi dan enam anggota FPI sedang melakukan aksi kejar-kejaran dan saat anggota FPI yang tersisa dibawa ke Polda Metro Jaya tanpa diborgol.
Tembakan mematikan pertama, lanjut Zet, dilakukan oleh Ipda Elwira Priadi Z (almarhum) menggunakan senjata api merk SIG SAUER 58C155749 KAL 9 MM saat mobil Toyota Avanza silver milik polisi sejajar di sekitar Jembatan Badami, Jalan Interchange, Karawang, Jawa Barat.
“Ipda Elwira Priadi Z (almarhum) juga melakukan penembakan terarah dan mematikan,” kata Zet dalam dakwaan yang dibacakan, Senin (19/10/2021), lansir CNN Indonesia.
Mobil FPI kemudian tetap melaju dan berhasil membuat jarak dengan mobil polisi meski ban depannya sudah kempes akibat ditembak Bripka Faisal Khasbi Alaeya.
Saat posisi kedua mobil kembali sejajar, Ipda Mohammad Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan turut serta melakukan penembakan mematikan.
“Saksi Briptu Fikri Ramadhan, turut serta melakukan dengan sengaja merampas nyawa orang lain dengan cara melakukan penembakan tanpa memperkirakan akibatnya bagi orang lain,” tegas Zet.
Selain Elwira (almarhum) dan Fikri, Yusmin juga turut melakukan penembakan hingga beberapa kali.
Tindakan Yusmin ini kembali diikuti oleh Fikri. mereka mengarahkan tembakan ke penumpang jok tengah mobil anggota FPI.
“(Menembak) bagian kiri dengan jarak penembakan yang sangat dekat kurang lebih satu meter,” ungkapnya.
Setelah peristiwa penembakan mematikan itu, dua anggota FPI ditemukan sudah tewas saat mereka berhenti di Rest Area KM 50.
Dua orang itu adalah Andi Oktiawan dan Faiz Akhmad Syukur.
Berdasarkan Visum et Repertum, pada tubuh Andi ditemukan dua buah luka tembak masuk pada dada, satu luka tembak masuk mata kiri, dan dua luka tembak keluar pada punggung, satu luka tembak keluar pada pelipis kiri, patah tulang kepala dan iga, serta robeknya selaput keras dan lunak otak, dan lainnya.
Sementara, pada tubuh Syukur ditemukan luka tembak masuk dada kiri, satu luka tembak masuk lengan bawah sisi depan, satu luka tembak di paha luar, serta dua buah luka tembak keluar pada punggung kiri dan lainnya.
Adapun aksi penembakan jarak dekat selanjutnya adalah saat Elwira, Yusmin, dan Fikri membawa empat anggota FPI yang masih hidup ke Polda Metro Jaya tanpa diborgol.
Saat itu, empat anggota FPI menempati bagian belakang mobil yang joknya telah dilipat, Fikri di tengah, Elwira di depan sebelah kiri, sementara Yusmin mengemudi.
Baru beberapa ratus meter dari KM 50, empat anggota FPI yang tidak diborgol atau diikat itu menyerang, mencekik Fikri dan berupaya merebut senjatanya.
Merespon hal ini, Elwira meminta Yusmin memperlambat laju mobil. Ia lantas melepaskan tembakan mematikan sebanyak empat kali ke dada kiri Luthfil Hakim hingga menembus pintu mobil yang mereka bawa.
Belum berhenti, Elwira kemudian menembakkan timah panas ke dada kiri Ahmad Sofiyan sebanyak dua kali hingga tembus ke kaca bagasi belakang mobil.
“(Elwira) sengaja merampas nyawa orang lain dengan melakukan penembakan tanpa memperkirakan akibatnya,” ujar Zet.
Setelah Luthfil dan Sofiyan sudah tak bernyawa, kondisi Fikri sudah aman.
Dua anggota FPI yang tersisa, Muhammad Suci Khadavi Poetra dan M. Reza tidak lagi melakukan perlawanan.
Namun, tiba-tiba Fikri membalikkan badannya, berlutut di atas jok mobil, dan menembakkan peluru tajam ke dada kiri Reza sebanyak dua kali dalam jarak hanya beberapa sentimeter.
Proyektil peluru itu tembus ke pintu bagasi belakang. Belum berhenti, Fikri kemudian menembak dada kiri Suci sebanyak tiga kali hingga membuatnya tewas.
“Entah apa dalam benak terdakwa tanpa rasa belas kasihan dengan sengaja merampas nyawa orang lain,” kata Zet.
“Sambil berlutut di atas kursi pada jarak hanya beberapa senti meter saja dari M. Reza maupun Muhammad Suci Khadavi Poetera senjata api yang ada di tangannya langsung menembakkan peluru tajam,” lanjutnya.
Zet mengatakan, seharusnya mereka tidak sampai menembak mati anggota FPI yang tersisa.
Saat Fikri diserang, semestinya Yusmin yang kedudukannya berada di atas lainnya menepikan mobilnya dan menghentikan pengeroyokan.
Adapun tindakan yang boleh dilakukan hanyalah membuat para anggota FPI itu lumpuh dan bukan membuat mereka tak bernyawa.
Hal ini sebagaimana pasal 44 ayat (2) Perkap RI nomor 8 tahun 2009 tanggal 22 Juni 2009 tentang Implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tugas Kepolisian RI.
“Bukan membiarkan IPDA Elwira Priadi (almarhum) memanfaatkan senjata apinya dan langsung mengarahkan ke arah Lutfil Hakim kemudian menembak ke sasaran yang mematikan di dada kiri sebanyak 4 kali hingga tembus di pintu mobil,” terang Zet.
Karena tindakannya, Fikri, Elwira, dan Yusmin menjadi tersangka kasus pembunuhan ini. Jaksa lantas mendakwa Yusmin dan Fikri melanggar pasal 338 KUHP tentang pembunuhan secara disengaja juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Selain itu, mereka juga didakwa Pasal 351 ayat 3 juncto Pasal 55 KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian.
Sementara, Elwira dinyatakan meninggal dalam kecelakaan yang terjadi pada Januari lalu. Namun kedua polisi pembunuh anggota FPI itu tidak ditahan sampai hari ini.
(ameera/arrahmah.com)