TUNIS (Arrahmah.com) – Presiden Tunisia Kais Saied kemarin (14/10/2021) menyatakan ketidakpuasan negaranya dengan diskusi Kongres AS tentang demokrasi di negara Afrika Utara itu.
Dalam pertemuan dengan Duta Besar AS untuk Tunisia, Donald Blom, di Istana Carthage, Saied “memberi tahu duta besar AS tentang ketidakpuasannya dengan dimasukkannya situasi Tunisia dalam agenda Kongres AS.”
“Presiden telah mengindikasikan bahwa hubungan antara kedua negara akan tetap kuat, terlepas dari kenyataan bahwa sejumlah warga Tunisia berusaha untuk mendistorsi apa yang terjadi di Tunisia dan berusaha mencari orang untuk mendengarkan mereka di luar negeri,” tambah pernyataan Tunisia.
Pada Selasa (13/10), Amerika Serikat, melalui juru bicara Departemen Luar Negeri Edward Price, memberi selamat kepada Tunisia atas pembentukan pemerintahan baru, mengungkapkan harapannya bahwa ini akan “membentuk jalan inklusif untuk kembalinya tatanan konstitusional dengan cepat.”
Namun Subkomite Urusan Luar Negeri Kongres AS di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Kontraterorisme Global mengatakan demokrasi di Tunisia dalam bahaya menyusul serangkaian perintah eksekutif yang dikeluarkan oleh Saied.
Pada tanggal 25 Juli, Presiden Tunisia Kais Saied mengutip Pasal 80 konstitusi untuk memberhentikan Perdana Menteri Hicham Mechichi, membekukan kerja parlemen selama 30 hari, mencabut kekebalan para menteri, dan mengangkat dirinya sebagai kepala otoritas eksekutif sampai pembentukan sebuah pemerintahan baru.
Ini terjadi setelah protes keras pecah di beberapa kota Tunisia yang mengkritik penanganan pemerintah terhadap ekonomi dan virus corona. Demonstran menyerukan agar parlemen dibubarkan.
Mayoritas partai politik negara itu mengecam langkah itu sebagai “kudeta terhadap konstitusi” dan pencapaian revolusi 2011.
Saied diangkat sebagai perdana menteri pada 29 September, pemerintahan baru telah dibentuk. (Althaf/arrahmah.com)