Pro Kontra RUU Pornografi terus bergulir. Selasa (23/09) delegasi Forum Umat Islam yang dipimpin oleh Sekjen, KH. Muhammad Al Khaththath mendatangi DPR RI untuk membicarakan soal RUU Pornografi.
Para pimpinan ormas yang berjumlah sekitar 40 orang itu diterima oleh Ketua Pansus, Ds. H. Balkan Kaplale dan anggota Pansus, Ali Mochtar Ngabalin. FUI meminta kepada pansus agar kembali kepada rumusan RUU Anti Pornografi dan Pornokasi sesuai fatwa MUI.
Tokoh dari FUI yang hadir di antaranya Shobri Lubis (Sekjen FPI), Fikri Bareno MA (sekjen DPP al-ittihadiyah), Nurdiakti atma (ketua FORSAP), Carum Widodo (Sekjen GPMI), Zaky Robby (Sekjen GPI), Rosyid Emily (Pengurus KAHMI), Muhammad Haekal (LPPD Khairul ummah), Alfian Tanjung (Ketua Taruna Muslim) dan lainnya.
FUI meminta Pansus RUU Pornografi serius bekerja dan menghasilkan UU yang maksimal. Sejauh ini, mereka nilai Pansus belum bekerja maksimal, karenanya FUI mengusulkan sejumlah tambahan materi RUU Pornografi.
FUI menuntut tiga hal dalam pertemuan itu. Salah satunya, meminta RUU Pornografi diformat ulang. ”Sehingga, yang disahkan adalah UU Antipornografi dan Pornoaksi yang betul-betul efektif mencegah dan memberantas,” kata Sekjen FUI, Muhammad Al Khaththath.
Sementara itu ketua Pansus RUU Pornografi, Balkan Kaplale, mengatakan, usulan perubahan itu akan dibahas di rapat pansus dalam waktu dekat. Indonesia, tegasnya, tetap memerlukan UU Pornografi.
Ia membandingkan sikap liberal AS yang ternyata masalah pornografi justru diurusi dua departemen, yakni Depkum dan HAM serta Deplu. Bahkan, katanya, di Deplu, ada Ditjen Pornografi. Sementara, 48 negara bagian di AS telah memiliki UU Pornografi.
Balkan mengungkapkan, pansus juga menerima kritikan dari sejumlah negara, seperti Australia, Denmark, Swedia, dan LSM asing. Mereka heran pada sikap Pemerintah Indonesia yang longgar terhadap industri pornografi.
‘Mereka menyatakan Indonesia adalah negara paling gampang untuk berbisnis pornografi. Bagaimana ini?” katanya.
Mengenai protes pekerja seni, Balkan menegaskan bahwa produk hukumnya justru melindungi para seniman. ”Kami tidak mau melihat artis-artis itu masuk di kamera tersembunyi saat sedang ganti baju. Lantas rekamannya dijual menghasilkan bermiliar-miliar rupiah,” katanya. (Hanin Mazaya/SI)