(Arrahmah.com) – Abū ʿAbd Allāh Muḥammad ibn ʿAbd Allāh al-Lawātī al-Ṭanjī ibn Baṭṭūṭah, atau yang lebih dikenal sebagai Ibnu Batutah, adalah salah seorang petualang terbesar dalam sejarah penjelajahan manusia mengelilingi dunia. Ada pula yang melabelinya sebagai petualang terhebat di Abad Pertengahan.
Lahir di Tangier (Maroko), pada 24 Februari 1304, Ibnu Batutah sepanjang hidupnya telah menempuh perjalanan sejauh 75.000 mil, yang setara dengan 120.000 km, suatu jarak yang amat jauh mengingat keterbatasan sarana transportasi di zaman itu. Jarak ini setara dengan tiga kali lipat jarak yang ditempuh pengembara ternama Italia, Marco Polo. Ada pula pengamat yang memperhitungkan bahwa bila ditimbang dengan situasi geografi di masa kini, maka sepanjang hidupnya Ibnu Batutah telah singgah ke 44 negara.
Perjalanan jauh pertama yang dilakukan Ibnu Batutah adalah ke Mekkah. Ia ke sana dalam rangka naik haji kala ia baru berumur 21 tahun. Tak mau berhenti di Mekkah, ia meneruskan perjalanannya ke pusat-pusat studi Islam di Dunia Arab, termasuk Mesir dan Suriah. Selepas dari sana, pengembaraannya menyentuh tempat-tempat yang bahkan lebih jauh lagi di Afrika dan Asia.
Rute perjalanan yang Ibnu Batutah tempuh tidak linear arahnya dan juga tidak dilakukan dalam satu waktu, namun cakupannya jelas sangat luas bahkan untuk ukuran sekarang. Dari rekonstruksi para sejarawan, diketahui bahwa setidaknya ada empat rute yang ia lewati dalam empat periode berbeda. Rute pertama antara lain mencakup Tangier, Algiers, Alexandria, Kairo, Yerusalem, Damaskus, Madinah, Mekkah, Baghdad dan Esfahan.
Rute kedua antara lain mencakup Aden, Mogadishu, Mombasa dan Kilwa. Rute ketiga, yang merupakan rute terpanjang, antara lain mencakup Konstantinopel (Istanbul), Astrakhan, Samarkand, Delhi, Calicut, Chitagong, Sumatra, Singapura, dan Quanzhou. Rute terakhir mencakup Marrakech, Timbuktu, dan Bamako. Ia menghabiskan waktu selama 30 tahun untuk melewati tempat-tempat itu, tepatnya antara tahun 1325 hingga 1355.
Perjalanan yang jauh itu tak hanya menjadi pengalaman pribadi bagi dirinya sendiri, tapi juga dibagikannya kepada khalayak lewat buku perjalanannya yang sangat terkenal, Tuḥfat al-nuẓẓār fī gharāʾib al-amṣār wa-ʿajāʾib al-asfār, yang umumnya dikenal dengan judul Rihlah (dalam bahasa Inggris: Travels).
Buku Rihlah pada dasarnya disusun oleh Ibnu Batutah berdasarkan ingatannya tentang perjalanan yang ia lakukan. Ini sempat menyebabkan munculnya kritik atas akurasi dari memori Ibnu Batutah. Sebenarnya ada penulis lainnya di belakang layar, yang membantu Ibnu Batutah. Namanya Ibnu Juzayy. Kombinasi inilah yang membawa Rihlah pada eksistensinya, berisi informasi yang luas, rinci, dan beragam tentang kota-kota penting Asia dan Afrika.
Ibnu Batutah mendiktekan ingatannya tentang perjalanan yang ia lakukan pada Ibnu Juzayy, yang merupakan seorang penulis istana, di Fez, Maroko. Penulisan ini dilakukan atas perintah raja Dinasti Marinid di Maroko, Sultan Abu ‘Inan.
Di dalam Rihlah, Ibnu Batutah berkisah soal berbagai fenomena sosial, budaya, dan politik yang ia temui di kota yang dilaluinya. Ibnu Batutah tertarik dengan bagaimana para raja memerintah dan bagaimana masyarakat biasa hidup sehari-hari. Lantaran perjalannya sebagian besar dilakukan di wilayah-wilayah Dunia Islam, maka buku catatan Ibnu Batutah ini pada hakikatnya berisi gambaran perihal proses Islamisasi yang tengah berlangsung di berbagai tempat di Asia dan Afrika.
Ibnu Batutah berkawan dengan para penguasa maupun para ulama setempat, dari siapa ia mendapat informasi untuk bukunya. Di Rihlah ia menerangkan raja atau ulama di wilayah mana yang cerdas dan dermawan, atau sebaliknya, pada petualang seperti dirinya. Sebagian raja atau ulama memang baik padanya, namun ada juga yang kikir dalam memberikan bantuan. Ia pernah menyebut qadi Mekkah sebagai orang yang baik, sementara anak seorang kalifah di India sebagai sosok yang pelit. Mengingat pengetahuannya yang luas soal geografi dan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah, ada pula penguasa lokal yang secara sengaja mendekati Ibnu Batutah demi mengetahui cerita-cerita menarik tentang petualangannya.
Tapi, kekayaan informasi yang ada di Rihlah tidak senantiasa mudah didapatkan. Pejalanannya berkali-kali terinterupsi oleh cuaca buruk, kapal tenggelam hingga perompakan. Tak hanya itu, sebagaimana ia utarakan dalam Rihlah, ada kalanya ia merasa kesepian di dalam perjalanan, terutama di lokasi yang baru pertama kali ia datangi. Bertemu dengan orang baru yang ramahlah yang kemudian membuatnya bisa kembali ceria dan bisa melanjutkan perjalanannya.
Pembaca kitab Rihlah ini tak hanya di kampung halaman Ibnu Batutah saja, melainkan juga di Dunia Barat. Terjemahan pertama Rihlah yang utuh dibuat dalam bahasa Perancis antara tahun 1853 dan 1858. Adalah C. Defremery dan B.R. Sanguinetti, di bawah pengawasan Societe Asiatique, yang menerjemahkan dan menerbitkannya. Versi bahasa Inggrisnya, khususnya untuk bagian penjelasan tentang Bengal (India) dan Cina, diterjemahkan oleh Sir Henry Yule, dan diterbitkan oleh Hakluyt Society pada tahun 1866.
Terjemahan volume-volume lainnya dalam bahasa Inggris terbit dalam beberapa dekade kemudian, mulai dari antara tahun 1958 dan 1971, tahun 1994 dan tahun 2000. Kitab ini diakui oleh banyak pihak tak hanya sebagai dokumentasi pribadi penulisnya ke tempat-tempat baru yang ia datangi. Lebih jauh dari itu, para pembaca bisa menemukan banyak cerita tentang manusia, budaya dan dinamika sosial-politik yang unik di berbagai wilayah di Dunia Islam, mulai dari Afrika Utara, Dunia Arab, Asia Tengah, hingga Asia Tenggara.
Oleh: Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 1 Tahun 2019
(*/Arrahmah.com)