(Arrahmah.com) – Ada kisah unik tentang Imam an-Nasai bersama guru beliau Haris bin Miskin rahimahumallah. Haris bin Miskin adalah seorang ahli hadits Mesir dan qadhi di sana kala itu. Biasanya ahli hadits kalau meriwayatkan dari gurunya menggunakan lafadz akhbarona (أخبرنا: dia mengabarkan kepada kami) atau haddatsana (حدثنا: dia menyampaikan pada kami), tapi riwayat an-Nasai dari Haris bin Miskin dalam kitabnya Sunan as-Sughra memiliki lafadz berbeda. An-Nasai menggunakan lafadz:
أخبرنا الحارث بن مسكين قراءة عليه وأنا أسمع
“Harits bin Miskin mengabarkan pada kami suatu teks yang dibacakan padanya dan saat itu aku mendengar.”
Atau dengan lafadz:
قال الحارث بن مسكين قراءة عليه وأنا أسمع
“Harits bin Miskin berkata tentang suatu teks yang dibacakan padanya dan aku mendengarnya.”
Mengapa an-Nasai tidak cukup mengatakan “Dia menyampaikan hadits kepada kami”? Tapi beliau sertakan “Harits bin Miskin berkata, aku mendengar ucapannya”?
Gaya Bahasa Ahli Hadits
Ulama-ulama hadits memiliki ungkapan khas saat menyampaikan hadits yang mereka riwayatkan. Hal itu tergantung metode transformasi yang mereka tempuh. Ada delapan metode yang ditempuh ulama ahli hadits dalam meriwayatkan hadits. Dua di antranya adalah:
Pertama: Metode as-Sima’. Yaitu seorang ahli hadits menyampaikan hadits dari hafalan atau dari catatannya. Murid-muridnya mendengar langsung darinya. Dengan metode seperti ini, murid-murid tersebut akan menyampaikan hadits dengan lafadz:
سمعت أو أخبرنا أو حدثنا
“Aku mendengar, atau dia mengabarkan padaku, atau dia menyampaikan padaku.”
Metode seperti ini adalah cara yang sah dan dibenarkan. Berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyampaikan hadits. Kemudian didengarkan oleh para sahabat.
Kedua: Metode al-‘Ardh. Yaitu seorang murid membacakan hadits pada gurunya. Sang guru mendengar apa yang disampaikan. Saat murid-murid menyampaikan lagi hadits setelah mendapatkannya dengan metode seperti ini, mereka akan mengatakan,
أخبرنا أو حدثنا أو أنبأنا أو قال قراءة عليه وأنا أسمع
“Dia mengabarkan padaku, atau dia menyampaikan padaku, atau dia berkata dengan bacaan yang dibacakan padanya dan aku mendengarnya.”
Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang panjang, dialog antara Rasulullah dengan Dhammam bin Ts’alabah. Di antara isi dialog tersebut adalah:
, قَالَ : فَأَنْشُدُكَ اللَّهَ إِلَهَكَ ، وَإِلَهَ مَنْ كَانَ قَبْلَكَ ، وَإِلَهَ مَنْ هُوَ كَائِنٌ بَعْدَكَ ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تَأْمُرَنَا أَنْ نَعْبُدَهُ وَحْدَهُ ، لَا نُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَأَنْ نَخْلَعَ هَذِهِ الْأَنْدَادَ الَّتِي كَانَتْ آبَاؤُنَا يَعْبُدُونَ مَعَهُ ؟ قَالَ : ” اللَّهُمَّ نَعَم ” , قَالَ : فَأَنْشُدُكَ اللَّهَ إِلَهَكَ ، وَإِلَهَ مَنْ كَانَ قَبْلَكَ ، وَإِلَهَ مَنْ هُوَ كَائِنٌ بَعْدَكَ ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ نُصَلِّيَ هَذِهِ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ ؟ قَالَ : ” اللَّهُمَّ نَعَمْ”
Dhammam bertanya kepada Nabi, “Demi Allah yang merupakan sembahanmu, sembahan orang sebelummu, dan sembahan siapa saja yang datang sesudahmu, apakah Allah memerintahkanmu agar menyuruh kami untuk menyembah-Nya semata tidak ada sesuatupun sekutu bagi-Nya? Dan memerintah agar kami berlepas dari tandingan-tandingan yang dulu leluhur kami menyembahnya bersamaan dengan menyembah Allah?” Nabi menjawab, “Demi Allah, iya.” Dhammam bertanya lagi, “Demi Allah yang merupakan sembahanmu, sembahan orang sebelummu, dan sembahan siapa saja yang datang sesudahmu, apakah Allah memerintahkanmu agar mengerjakan shalat lima waktu?” Nabi menjawab, “Demi Allah, iya.” (Musnad Imam Ahmad 2289).
Dalam hadits ini, seorang sahabat yang namanya Dhammam bin Tsa’labah saat dia belum memeluk Islam, dia menyebutkan kebenaran yang sudah dia ketahui. Sementara Nabi meng-iyakannya.
Metode inilah yang ditempuh Imam an-Nasai rahimahullah saat meriwayatkan hadits dari gurunya, al-Harits bin Miskin rahimahullah. Sehingga saat ia menyampaikan hadits yang ia peroleh dari al-Harits bin Miskin ia sampaikan dengan ungkapan:
أخبرنا الحارث ابن مسكين قراءة عليه وأنا أسمع
“al-Harits bin Miskin mengabarkan kepada kami suatu riwayat yang dibacakan padanya, saat itu aku mendengarnya.”
حدثنا الحارث بن مسكين قراءة عليه وأنا أسمع
“al-Harits bin Miskin berbicara pada kami tentang riwayat yang dibacakan padanya, saat itu aku mendengarnya.”
أنبأنا الحارث بن مسكين قراءة عليه وأنا أسمع
“al-Harits bin Miskin memberitakan pada kami tentang riwayat yang dibacakan padanya, saat itu aku mendengarnya.”
قال الحارث بن مسكين قراءة عليه وأنا أسمع
“al-Harits bin Miskin berkata tentang riwayat yang dibacakan padanya, dan aku mendengarnya.”
الحارث بن مسكين قراءة عليه وأنا أسمع
“al-Harits bin Miskin mendengar riwayat yang disampaikan padanya dan aku mendengarnya.”
قرئ على الحارث بن مسكين وأنا أسمع
“Dibacakan kepada al-Harits bin Miskin dan aku mendengarnya.”
Diusir Oleh Guru
Gaya bahasa an-Nasai dengan ungkapan “aku mendengarnya” menunjukkan terjadi sesuatu antara ia dengan gurunya, al-Harits bin Miskin. Ia memang hadir di majelis hadits al-Harits dan meriwayatkan hadits darinya. Tapi ia bersembunyi karena diusir oleh al-Harits bin Miskin. Ia pun sembunyi di tempat yang tak terlihat dan tetap mendengar hadits darinya. Dalam at-Taqyid li Ma’rifati Ruwwati as-Sunan wa al-Masanid, Ibnu Nuqthah mengatakan, “Aku menukil dari Abdurrahim bin Muhammad bin al-Muhtar an-Nahwandi, ia berkata, ‘Aku melihat tulisan ad-Dauni, ia berkata, ‘Aku ditanya tentang riwayat an-Nasai dari al-Harits bin Miskin, diaman an-Nasai mengatakan, ‘al-Harits bin Miskin berkata tentang riwayat yang dibacakan padanya dan aku mendengarnya. Mengapa dia tidak menyebut dengan ungkapan akhbarona (أخبرنا: dia mengabarkan kepada kami) atau haddatsana (حدثنا: dia menyampaikan pada kami)?’ Kujawab, ‘Aku mendengar bahwa al-Harits bin Miskin pernah menjabat qadhi (hakim) di Mesir. Dan antara al-Harits dan an-Nasai terdapat masalah yang tidak memungkinkan bagi an-Nasai untuk menghadiri majelisnya. An-Nasai duduk di suatu tempat yang masih bisa mendengar suara tapi tidak terlihat. Karena itulah ia meriwayatkan dengan ungkapan seperti itu’.” (at-Taqyid li Ma’rifati Ruwwati as-Sunan wa al-Masanid, Hal: 143).
Ibnul Atsir menyatakan, “Antara al-Harits bin Miskin dengan Abu Abdurrahman (Imam an-Nasai) terdapat masalah yang membuat an-Nasai tidak mungkin hadir di majelisnya. Sehingga ia bersembunyi. Mendengar di tempat yang tidak terlihat. Karena itulah ia bersikap wara’ (hati-hati). Dan tidak mengatakan, haddatsana (حدثنا: dia menyampaikan pada kami) atau akhbarona (أخبرنا: dia mengabarkan kepada kami).”
Artinya, karena al-Harits bin Miskin tidak bersengaja menyampaikan hadits pada an-Nasai dan an-Nasai pun sadar kalau riwayat tersebut bukan dibacakan untuknya. Ia hanya numpang mendengar. Sehingga sebagai bentuk amanah ilmiah, ia pun menyampaikan “al-Harits bin Miskin berkata tentang riwayat yang dibacakan padanya, dan aku mendengarnya.”
Subhanallah.. Inilah hebatnya ilmu hadits dalam Islam. Sebuah keilmuan yang tidak dimiliki oleh umat-umat selain Islam. Betapa ilmiah kajiannya. Betapa ketatnya seleksinya. Dan betapa jujur periwayat terpercayanya. An-Nasai tidak berani mengucapkan akhbarona (أخبرنا: dia mengabarkan kepada kami) atau haddatsana (حدثنا: dia menyampaikan pada kami). Karena memang realitanya sang guru tidak menghendaki mengabarkan dan menyampaikan padanya.
Sehingga wajar dalam muqoddimah Jami’ al-Ushul, Ibnul Atsir memuji ulama bermadzhab Syafi’i ini sebagai seorang yang wara’ (hati-hati).
Pelajaran:
Pertama: Betapa luar biasa ketatnya ilmu hadits. Seleksi berita dan amanah pewartanya tidak akan ditemui pada ilmu selainnya.
Kedua: Bersabar terhadap guru. Kalau saja Imam an-Nasai berkecil hati dan membawa perasaan (baperan), tentu banyak riwayat yang hilang dari buku haditsnya. Berkuranglah keutamaan yang bisa ia dapatkan.
Ketiga: Kalau guru dituntut untuk bersabar dengan sikap murid, maka murid hendaknya lebih layak lagi untuk bersabar terhadap sikap gurunya. Karena ialah yang memerlukan. Murid diibaratkan berada di posisi meminta, sedangkan guru memberi.
Sumber: Kisahmuslim.com
(*/Arrahmah.com)