(Arrahmah.com) – Siapa yang tidak kenal dengan Imam Ghazali, seorang ulama yang sangat gigih dalam menuntut ilmu dan menyebarkannya, Pengarang dari kitab yang menjadi rujukan dalam ilmu tasawuf yaitu Ihya Ulumuddin. Sebuah kitab yang selalu diajarkan di beberapa pesantren di Indonesia.
Nama lengkap beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali Ath-Thusi, lahir pada tahun 1058 M di kota Thus, Khurasan, yang terletak di sebelah timur laut Persia.
Al-Ghazali lahir dari keluarga yang sangat miskin dan buruh kasar. Ayahnya seorang tukang tenun. Meskipun hidup miskin, ketika al-Ghazali lahir, orang tuanya sangat ingin sekali memondokkan anaknya agar sang anak bisa menjadi seorang ulama. Akan tetapi, keinginan ayahnya tak tercapai. Sebab sang ayah lebih dulu meninggal dunia.
Sepeninggal ayahnya, al-Ghazali diasuh dan dididik oleh teman ayahnya. Selanjutnya al-Ghazali disekolahkan di Madrasah Thus. Sekolah di Thus memprioritaskan ilmu-ilmu keagamaan pada jenjang dasar.
Setelah menuntaskan seluruh jenjang pendidikan di Thus, al-Ghazali melanjutkan pengembaraan ilmiahnya ke Madrasah Jurjan. Jurjan berjarak kurang lebih 250 mil dari Thus. Karena Imam Ghazali tidak memilki uang ia harus berangkat bersama dengan kafilah dagang agar terbebas dari perampok.
Suatu ketika saat al-Ghazali ingin pulang ke Thus, ia melakukan perjalanan sendiri tanpa mengikuti kafilah dagang, di tengah perjalanan ia dihadang oleh para perampok. Mereka merampas seluruh barang bawaan al-Ghazali yang tidak seberapa itu. Sampai kantung tempat kertas dan buku-bukunya ikut diambil.
Al-Ghazali membujuk para perampok untuk mengembalikan kantung yang berisi kertas dan buku. Karena itu semua merupakan kertas dan buku yang sekian lama ia gunakan untuk menulis dan belajar. Akan tetapi salah satu dari perampok itu menghardiknya,
“Apa artinya pengetahuan kalau hanya tertulis dalam kertas. Ketika kertasnya hilang, pengetahuan itu ikut raib bersamanya!”
Seketika itu al-Ghazali kaget dan tersadar akan ucapan dari perampok tersebut. Ia terdorong untuk menghafal dan menjaganya. Gara-gara perampok dan kekhawatirannya yang besar terhadap hilangnya kembali kertas dan buku-bukunya itu, al-Ghazali pun menghafal seluruh pelajaran di luar kepala.
Dari kisah Imam al-Ghazali di atas bahwa ilmu itu bukan hanya dipahami tetapi juga dihafal. Seperti ungkapan seorang penyair:
العلم في الصدور وليس في السطور
“Ilmu itu di dalam dada, bukan pada baris-baris tulisan.”
Wallahu a’lam.
Oleh: Rizky Zulkarnain/aktual.com
(*/Arrahmah.com)