Oleh: Ustadz Budi Ashari, Lc.
(Arrahmah.com) – Dalam Kitab Al Majruhin karya Imam Ibnu Hibban rahimahullah dikisahkan bahwa, Yahya bin Ma’in datang ke Affan untuk mendengarkan kitab-kitabnya Hammad bin Salamah.
Affan bertanya: Tidakah kamu mendengarnya dari orang lain? Hammad menjawab: Ya, saya mendengar dari 17 orang yang mendengar dari Hammad bin Salamah. Affan: Demi Allah, saya tidak mau meriwayatkannya kepadamu. Yahya berkata: Aku hanya punya satu Dirham dan aku akan pergi ke Bashroh untuk mendengar riwayat dari At Tabudzaki. Affan berkata: Silakan.
Maka ia pun pergi ke Bashroh, datanglah Musa bin Ismail.
Musa berkata: Apakah kamu belum mendengarnya dari orang lain? Yahya menjawab: Aku telah mendengarnya dari 17 orang dan anda orang ke 18. Musa bertanya: Untuk apa kamu lakukan ini?
Yahya menjawab: Hammad bin Salamah bisa salah. Maka saya ingin membedakan apakah kesalahan ini dari beliau atau dari murid-muridnya (yang menukilnya). Kalau ternyata seluruh muridnya sepakat sama, maka saya tahu kesalahan dari Hammad. Tapi jika mereka sepakat, dan ada satu yang berbeda, maka saya tahu kesalahan dari satu orang itu bukan dari Hammad. Maka saya bisa membedakan kesalahan dari beliau atau dari orang lain.
Ini bukan satu-satunya kisah para ulama hadits mengajari kita untuk tidak menyimpulkan kecuali setelah mendengarkan, membaca, mengumpulkan, mengulangi sekian banyaknya. Ini telah menjadi kaidah yang sama antar semua ulama hadits.
Yahya bin Ma’in berkata: Kalau kami belum menulis hadits dari 30 jalur, maka kami belum memahaminya. (Al Majruhin, Ibnu Hibban)
Abu Hatim Ar Razi berkata: Kalau kami belum menulis hadits dari 60 jalur riwayat, maka kami belum memahaminya (Fathul Mughits, As Sakhowi)
Hammad bin Zaid dan Syu’bah keduanya adalah ulama besar hadits. Tapi Hammad berkata: Kalau Syu’bah berbeda dengan saya, saya ikuti dia. Kemudian ada yang bertanya: Mengapa? Hammad menjawab: Syu’bah mendengar, mengulangi dan memunculkan. Sementara saya hanya mendengar sekali. (Syarh ‘Ilal Tirmidzi, Ibnu Rojab)
Kini mohon maaf, izinkan saya (terpaksa) harus bercerita kenangan saya saat berguru sebagai salah satu siswa di Fak. Hadits di Univ. Islam Madinah.
Saya pernah mendengarkan ceramah DR. Anis Thohir Al Indunisi salah satu syekh kami hafidzahullah, melalui kaset yang berjudul (ضوابط حسنة في فهم السنة) yang sekarang dijelaskan ulang setelah dituliskan dalam sebuah risalah. Kaidah-kaidah baik dalam memahami sunnah. Berikut di antara kaidah tersebut:
جمع أحاديث الباب الواحد في مكان واحد
(Mengumpulkan hadits-hadits satu bab di satu tempat)
Contoh: Imam Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram mengumpulkan hadits-hadits tentang buang air 22 riwayat kemudian baru bisa disimpulkan mana yang paling shahih, sehingga bisa didapat dengan lengkap berbagai hukum seperti adab buang air dan sebagainya.
Begitulah…
Maka siapapun yang berlama-lama dalam ilmu hadits, seharusnya mengalir deras dalam dirinya ruh ini. Tidak gegabah menyimpulkan sesuatu hanya berdasarkan satu atau dua hadits shahih, satu atau dua buku saja. Kumpulkan selengkap dan sebanyak mungkin, analisa dengan ilmiah, baru bisa disimpulkan.
Agar seperti yang dipesankan ahli ilmu: Jangan mengatakan sesuatu, yang perlu meminta maaf setelah itu.
Begitulah hari-hari kami bersama para masyayikh di ilmu hadits. Hafidzohumulloh……
(*/Arrahmah.com)