KAIRO (Arrahmah.com) – Pemerintah Mesir dan media pro pemerintah meluncurkan kampanye melawan ulama Salafi Mesir terkenal. Selain itu, pemerintah Mesir pun mulai melakukan pelarangan bagi mereka untuk dapat berkhutbah di masjid, lapor The Monitor (8/7/2021).
Pada tanggal 28 Juni, Kementerian Wakaf Agama Mesir melarang Alaa Muhammad Hussein Yaqoub, putra ulama Salafi terkemuka Muhammad Hussein Yaqoub, untuk berkhutbah di masjid. Keputusan itu diambil setelah sang ayah bersaksi dalam kasus pengadilan yang melibatkan 12 orang yang dituduh terlibat dalam serangan terhadap pasukan keamanan di Greater Cairo.
Beberapa terdakwa dalam kasus tersebut mengatakan bahwa mereka dipengaruhi oleh ide-ide ulama Salafi, termasuk Muhammad Hussein Yaqoub. Namun Yaqoub menyangkal memiliki hubungan dengan para terdakwa dan menyerang mereka dalam kesaksiannya di pengadilan 15 Juni.
“Tidak ada perbedaan antara Salafisme dan Ikhwan [IM-Mesir], karena mereka memiliki pikiran dan penalaran yang sama,” klaim Ibrahim Eissa, salah satu jurnalis Mesir.
Bahkan, menurutnya, Salafisme lebih berbahaya daripada Ikhwan,
Pada salah satu program di MBC Mesir pada 19 Juni, Amr Adib, seorang tokoh media Mesir, mengecam dukungan ulama Salafi untuk mantan Presiden Mohammed Morsi dan pemerintahan Ikhwanul Muslimin. Adib berkata, “Ulama Salafi, seperti Sheikh Muhammad Hassan dan Muhammad Hussein Yaqoub, setia kepada kelompok-kelompok Islam di bawah pemerintahan Morsi, bukan pada tanah air.”
Muhammad Hussein Yaqoub dan ulama Salafi mulai ramai diikuti jamaah sejak tahun 1980-an. Mereka banyak menyedot massa untuk secara teratur datang ke masjid. Ceramah mereka banyak direkam ke kaset dan sangat populer.
Banyak ulama Salafi terkemuka, termasuk Hassan, menentang demonstrasi yang menuntut penggulingan Mursi pada 30 Juni 2013.
Mereka menjadi mediator antara Menteri Pertahanan saat itu Abdel Fattah al Sisi dan para pemimpin Ikhwanul Muslimin selama aksi duduk di Lapangan Rabia al Adawiya di Kairo setelah penggulingan Morsi.
Pada tahun 2016, Hassan mengonfirmasi bahwa ia telah bertemu dengan Sisi pada Agustus 2013 dan sepakat untuk menghindari pembubaran paksa para pengunjuk rasa. Namun para pemimpin Ikhwanul Muslimin menentang hal ini dan menolak pertemuan dengan Sisi.
Ratusan orang kemudian terbunuh pada 14 Agustus 2013, ketika protes Rabia al Adawiya dibubarkan oleh pasukan keamanan.
Selain, rezim dan media Mesir yang mencoba memarjinalkan mereka, parlemen Mesir pun ikut kampanye melawan ulama Salafi. Pada 20 Juni, parlemen membahas RUU yang melibatkan hukuman berat, termasuk hukuman penjara dan denda, terhadap mereka yang tidak memiliki wewenang untuk mengeluarkan fatwa.
Selain itu, sejumlah pengacara pun ikut serta dalam kampanye tersebut. Pada 22 Juni, pengacara Mesir Samir Sabry mengajukan tuntutan meminta agar Hassan ditambahkan ke daftar terorisme dan dilarang bepergian. Pada tanggal 15 Juni, pengacara Mesir Hani Sameh juga mengajukan tuntutan terhadap Muhammad Hussein Yaqoub atas tuduhan berkhutbah dan mengeluarkan fatwa yang dinilai ekstrem.
Maher Fargali, seorang penulis dan pakar urusan kelompok Islam, mengatakan kepada Al Monitor, “Kampanye melawan para ulama Salafi, sengaja dilakukan untuk melemahkan gerakan mereka dan membatasi penyebaran ide-ide Salafi di Mesir.”
Dia menambahkan, “Kampanye ini untuk melayani kepentingan negara, karena di Mesir baik Salafi atau Ikhwanul Muslimin dicap memusuhi negara. Islam yang populer akan selalu dicap negatif.”
“Ulama Salafi berperan dalam mempengaruhi dan membentuk pikiran sebagian besar ekstremis dan teroris. Misalnya, jihadi Adel Habara, yang melakukan serangaian serangan terhadap angkatan bersenjata dan polisi,” tambahnya.
Dia berkata, “Negara sangat menyadari bahwa gerakan [Salafi] memiliki posisi yang berlawanan, meskipun menahan diri untuk tidak menyuarakannya. Itulah sebabnya [negara] ingin melemahkan pengaruh mereka di jalan.” (hanoum/arrahmah.com)