JAKARTA (Arrahmah.com) – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengklaim bahwa hampir separuh dari 33 provinsi yang ada sekarang menjadi kantong penyebaran ideologi “terorisme”.
“Pemetaan tersebut diperoleh berdasarkan pantauan yang dilakukan sejak beberapa tahun terakhir,” kata Ketua BNPT Ansyaad Mbai di Jakarta, Senin (25/7/2011).
Mbai mengklaim bahwa, “Kantong-kantong tersebut merupakan daerah rawan penyebaran ideologi teroris”.
Selain itu di ajuga mengatakan bahwa pusat aktivitas penyebaran “ideologi terorisme” itu tersebar di sejumlah kota besar di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara. Di Pulau Sumatera, daerah yang rawan penyebaran “ideologi terorisme” adalah di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, dan Lampung.
“Ada pun di Pulau Jawa terkonsentrasi di Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Ada juga di Bali, NTB, dan Kalimantan Timur,” kata Ansyaad.
Namun demikian. ia mengaku tak bisa memastikan seberapa besar jumlah kelompok “teroris” di daerah-daerah tersebut. Begitu pun dengan potensi ancaman mereka terhadap situasi keamanan nasional.
“Tidak ada yang bisa memastikan kekuatan mereka, kelompok radikal bergerak di bawah tanah. Potensi ancaman mereka juga sangat relatif, tergantung situasi,” katanya.
Ansyaad mengungkapkan hingga kini, upaya penindakan berupa penangkapan dan penahanan serta pencarian keterangan telah dilakukan terhadap lebih dari 700 tersangka “terorisme”.
Namun, sebagian diantara mereka telah dilepaskan lantaran tidak cukup bukti.
“Dan di luar itu terdapat terpidana kasus terorisme yang sudah lepas penjara dan kembali lagi melancarkan aksi mereka. Dari jaringan Aceh saja ada sekitar 22 orang,” ujarnya.
Meskipun kerap kali mencekoki opini terkait “ideologi terorisme”, Ansyaad tidak memaparkan secara jelas tentang definisi yang jelas dari ideologi “terorisme’ tersebut. Masyarakat hanya diberikan wacana terkait stigma, lalu membiarkan mereka menerka-nerka. Hingga kemudian yang muncul adalah kecurigaan masyarakat terhadap kelompok yang ‘kerap kali dikaitkan dengan terorisme’ oleh aparat.
Mungkinkah hal tersebut yang diharapkan oleh pemerintah? Membiarkan masyarakat membentuk standar “makna terorisme” berdasarkan “berita kriminalitas atas keberhasilan aparat menangkap oknum yang mereka sebut teroris”? Wallohua’lam. (TI/arrahmah.com)