JAKARTA (Arrahmah.com) – Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengatakan, desakan mundur kepada Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden, memiliki makna penting sebagai ekspresi protes kegagalan kepemimpinanya.
Jokowi dinilai gagal memimpin Indonesia di periode keduanya ini. Tidak heran, banyak rakyat, mahasiswa, buruh, petani, nelayan, pebisnis, cendekiawan dan lainnya kecewa dengan kepemimpinan Jokowi.
Kekecewaan tersebut tentu memiliki argumentasi, di antaranya korupsi merajalela (ratusan triliun dikorupsi), demokrasi yang memburuk (indeks demokrasinya terburuk dalam 14 tahun terakhir), pelanggaran HAM bertambah (kasus lama tak tertangani justru menambah kasus baru), gagal membangun harmoni sosial antar warga negara, angka kemiskinan dan pengangguran yang terus bertambah.
“Selain itu juga pertumbuhan ekonomi yang tak kunjung pulih dan korban kematian akibat Covid hingga mencapai lebih dari 61 ribu warga negara,” ujar Ubedilah Badrun, Selasa (6/7/2021), lansir Harian Terbit.
Ubedilah mengatakan, ada dua kemungkinan Jokowi untuk lengser. Pertama, ia menyatakan mundur sebagaimana dicontohkan oleh Soeharto. Secara kesatria menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Presiden.
Kedua, diberhentikan oleh MPR melalui usulan DPR yang disetujui MK (Mahkamah Konstitusi) dengan alasan karena melakukan perbuatan tercela seperti banyak berbohong di depan rakyat dan perbuatan tercela mengutamakan ekonomi dibanding nyawa rakyat.
“Di antaranya ada rakyat yang meninggal karena tidak mendapatkan oksigen. Itu artinya pemerintah tidak membuat antisipasi atas situasi darurat Covid-19 yang berakibat fatal terhadap kematian warga negara,” tegasnya.
Ubedilah menyitir pasal 7A UUD 1945 yang berbunyi “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
“Jadi, selain karena berkhianat pada negara, korupsi, dan kejahatan lainya, bisa saja Presiden diberhentikan karena perbuatan tercela dan karena terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden untuk memimpin negara saat ini,” paparnya.
Saat ini desakan Jokowi mundur sebagai Presiden disampaikan sejumlah pihak. Di antaranya, dilakukan oleh Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA). Bahkan mereka menggugat Jokowi melalui pengadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada Jumat (30/4/2021).. Gugatan itu terdaftar dengan nomor 266/Pdt.G/2021/PN Jkt.Pst, dengan Penggugat Muhidin Jalih dan Tergugat Presiden Jokowi.
Koordinator Advokat TPUA, Ahmad Khozinudin, mengatakan gugatan ini merupakan bentuk keprihatinan masyarakat terhadap kondisi bangsa Indonesia saat ini. Baginya, di era kepemimpinan Jokowi penegakan hukum dan perekonomian Indonesia menjadi karut-marut.
Selain itu juga serangkaian pembohongan publik; melahirkan regulasi nasional yang tidak patut atau tidak layak dan tercela berdasarkan agama apa pun di Indonesia. Selain itu, Ahmad juga mengatakan kepemimpinan Jokowi membuat gaduh (sesama anak bangsa dipotensikan bertikai) di negeri ini.
(ameera/arrahmah.com)
JAKARTA (Arrahmah.com) – Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengatakan, desakan mundur kepada Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden, memiliki makna penting sebagai ekspresi protes kegagalan kepemimpinanya.
Jokowi dinilai gagal memimpin Indonesia di periode keduanya ini. Tidak heran, banyak rakyat, mahasiswa, buruh, petani, nelayan, pebisnis, cendekiawan dan lainnya kecewa dengan kepemimpinan Jokowi.
Kekecewaan tersebut tentu memiliki argumentasi, di antaranya korupsi merajalela (ratusan triliun dikorupsi), demokrasi yang memburuk (indeks demokrasinya terburuk dalam 14 tahun terakhir), pelanggaran HAM bertambah (kasus lama tak tertangani justru menambah kasus baru), gagal membangun harmoni sosial antar warga negara, angka kemiskinan dan pengangguran yang terus bertambah.
“Selain itu juga pertumbuhan ekonomi yang tak kunjung pulih dan korban kematian akibat Covid hingga mencapai lebih dari 61 ribu warga negara,” ujar Ubedilah Badrun, Selasa (6/7/2021), lansir Harian Terbit.
Ubedilah mengatakan, ada dua kemungkinan Jokowi untuk lengser. Pertama, ia menyatakan mundur sebagaimana dicontohkan oleh Soeharto. Secara kesatria menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Presiden.
Kedua, diberhentikan oleh MPR melalui usulan DPR yang disetujui MK (Mahkamah Konstitusi) dengan alasan karena melakukan perbuatan tercela seperti banyak berbohong di depan rakyat dan perbuatan tercela mengutamakan ekonomi dibanding nyawa rakyat.
“Di antaranya ada rakyat yang meninggal karena tidak mendapatkan oksigen. Itu artinya pemerintah tidak membuat antisipasi atas situasi darurat Covid-19 yang berakibat fatal terhadap kematian warga negara,” tegasnya.
Ubedilah menyitir pasal 7A UUD 1945 yang berbunyi “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
“Jadi, selain karena berkhianat pada negara, korupsi, dan kejahatan lainya, bisa saja Presiden diberhentikan karena perbuatan tercela dan karena terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden untuk memimpin negara saat ini,” paparnya.
Saat ini desakan Jokowi mundur sebagai Presiden disampaikan sejumlah pihak. Di antaranya, dilakukan oleh Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA). Bahkan mereka menggugat Jokowi melalui pengadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada Jumat (30/4/2021).. Gugatan itu terdaftar dengan nomor 266/Pdt.G/2021/PN Jkt.Pst, dengan Penggugat Muhidin Jalih dan Tergugat Presiden Jokowi.
Koordinator Advokat TPUA, Ahmad Khozinudin, mengatakan gugatan ini merupakan bentuk keprihatinan masyarakat terhadap kondisi bangsa Indonesia saat ini. Baginya, di era kepemimpinan Jokowi penegakan hukum dan perekonomian Indonesia menjadi karut-marut.
Selain itu juga serangkaian pembohongan publik; melahirkan regulasi nasional yang tidak patut atau tidak layak dan tercela berdasarkan agama apa pun di Indonesia. Selain itu, Ahmad juga mengatakan kepemimpinan Jokowi membuat gaduh (sesama anak bangsa dipotensikan bertikai) di negeri ini.
(ameera/arrahmah.com)