Oleh: Ustadz Irfan S. Awwas
(Arrahmah.com) – Dalam buku Badiuzzaman Sa’id Nursi Nazrat al-‘Ammah ‘an Hayatihi wa Atsarihi, terdapat dialog inspiratif, yang di ceritakan sendiri oleh Badiuzzaman Sa’id Nursi, ulama dan pemikir Islam dari Turki; tentang adanya pertanyaan mengapa kebatilan bisa mengalahkan kebenaran? Dan mengapa orang kafir dapat mengalahkan orang Islam?
WAHAI TEMAN! Suatu hari saya ditanya: “Mengapa orang kafir dapat mengalahkan orang Islam, dan mengapa kebenaran terkalahkan oleh kekuatan?”
Jawaban Saya: “Coba simak dengan seksama empat hal berikut ini.
Pertama, tidak setiap cara yang digunakan untuk membela kebenaran adalah benar, sebagaimana tidak setiap cara yang digunakan untuk membela kebatilan adalah batil.
Cara yang tepat, walau untuk membela kebatilan, pasti akan dapat mengalahkan cara yang batil, walau untuk membela kebenaran.
Kebatilan yang didukung oleh cara yang tepat akan tampil sebagai pemenang. Tetapi tidak untuk selamanya, karena kemenangan yang diraih bukan oleh diri kebatilan itu sendiri, sehingga pada akhirnya kemenangan akan berpihak pada kebenaran. Sedangkan kekuatan adalah bagian dari kebenaran dan merupakan rahasia tersimpan di balik sukses yang diraih.
Kedua, sebagaimana seluruh sifat seorang, muslim itu seharusnya tampak identik dengan nama Islam, yaitu selamat. Namun hal ini ternyata tidak selalu tejadi demikian selamanya.
Demikian pula halnya seluruh sifat orang kafir, tidak seharusnya selalu kafir dan bersumber dari kekafirannya.
Begitu juga dengan sifat orang fasik, yang seluruhnya tidak harus fasik dan bersumber dari kefasikannya. Dengan demikian, sifat Muslim yang dimiliki oleh orang kafir pasti akan dapat mengalahkan sifat yang tidak dibenarkan untuk dimiliki oleh orang Islam.
Dengan sarana yang tepat yang digunakan oleh orang kafir pasti ia akan dapat mengalahkan orang Islam yang menggunakan sarana yang tidak tepat.
Sesungguhnya hak hidup di dunia ini adalah universal dan bersifat umum untuk semua manusia.
Kekufuran tidak menjadi perintang bagi hak hidup seseorang di dunia yang nota bene sebagai perwujudan dari rahmat Allah yang bersifat umum dan merupakan rahasia di balik hikmah penciptaan.
Ketiga, Allah Swt mempunyai cara penampakan, sehingga dengannya Allah tampak di depan makhluk, yaitu penampakan yang bersumber dari dua sifat-Nya yang sempurna.
- Takwini atau sunnah kauniyah, yaitu kehendak dan ketentuan Allah yang bersumber dari sifat iradah.
-
Syariah seperti yang sudah dikenal yang bersumber dari sifat kalam.
Sikap manusia terhadap Syariah, ada yang taat dan ada yang durhaka. Terhadap sunnah kauniyah juga, ada yang taat dan ada pula yang durhaka. Umumnya, pahala bagi orang yang taat Syariah dan hukuman bagi yang mendurhakainya, baru akan diterima kelak di akhirat. Sedangkan pahala bagi orang yang taat terhadap sunnah kauniyah dan hukuman bagi yang mendurhakainya langsung diterima di dunia sekarang.
Sebagaimana imbalan sabar itu adalah kemenangan, sedang buah dari menganggur dan malas adalah kehinaan. Begitu juga imbalan giat bekerja pun adalah materi yang melimpah dan imbalan bersikap teguh adalah kemenangan.
Sejalan dengan norma di atas, maka akibat terkena racun adalah terserang sakit, dan dampak dari obat adalah sembuh. Terkadang antara keduanya Bersatu dalam satu kasus. Tetapi masing-masing tetap dalam posisinya.
Keempat, taat terhadap perintah as-sunnah al-kauniyah adalah hak, dan sikap demikian akan membuahkan kemenangan; karena merupakan sikap taat pula kepada perintah Allah, dalam menghadapi pihak yang menyalahinya yang dianggap sebagai sikap durhaka terhadap perintah Allah dan mengikuti yang batil sehingga balasannya pun kekalahan.
Dengan demikian, ketika cara yang tepat (hak) dijadikan sarana untuk membela yang batil, maka ketika itu juga yang hak akan terkalahkan. Ketika yang hak ini menggunakan cara atau sarana yang tidak tepat (batil) dalam membela serangan yang batil, pada saat itu pula tampaklah hasil akhirnya:
“Kebenaran (hak) terkalahkan oleh yang batil! Tetapi kekalahan ini bukan kekalahan pada dzatiyah hak tersebut, melainkan kekalahan pada sarana yang dipergunakannya. Oleh karena itu, kebenaran akan tetap tampil sebagai pemenang dan kemenangan ini akan tampak saat sarana yang tepat menyertainya.”
Kelima, selama kebenaran tersembunyi di balik kekuatan, tidak dapat disaksikan di alam nyata, atau bercampur dengan sesuatu, atau terpedaya, lalu keadaan menuntut agar kebenaran terungkap dan didukung oleh kekuatan baru sehingga tampak jernih dan bersih dari berbagai sekat dan debu. Maka ketika itu juga tampaklah betapa tinggi nila kebenaran tersebut.
Bila yang batil tampil sebagai pemenang di dunia sekarang, pada suatu waktu dan di suatu tempat tertentu, itu tidak berarti ia telah memenangkan seluruh peperangan. Karena kemenangan itu adalah hak orang-orang bertakwa, sebagai Pelabuhan terakhir tempat kebenaran berlabuh.
Pada akhirnya, yang batil pasti menjadi pihak yang kalah, sekalipun secara lahiriah ia tampak sebagai pemenang. Karena dalam kebenaran itu tersimpan rahasia yang akan dapat menyerang yang batil untuk terkalahkan sehingga ia terjerumus dalam siksa dunia atau adzab akhirat. Yang batil itu selalu mengarah pada kehancuran.
Demikianlah eksistensi kebenaran sekalipun secara lahiriah ia tampak sebagai yang terkalahkan.
(Dari buku aslinya, Badiuzzaman Sa’id Nursi Nazrat al-‘Ammah ‘an Hayatihi wa Atsarihi, oleh Ihsan Kasim Salih. Alih bahasa oleh Dr. Nabilah Lubis, Pen. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Maret 2003).
Yogyakarta, 17/6/2021
(ameera/arrahmah.com)